Bapak Bencana, dan Derita Anak Negeri

(Peringatan agar Eling lan Waspodo)

Ada yang berdesakan berebut apa saja sampai yang seharusnya tidak usah berebut pun, seperti untuk mendapatkan daging qurban, kadang terjadi antrian hingga berdesakan. Ini menandakan banyaknya orang yang menderita secara ekonomi. Hingga untuk meraih hak sebagai mustahiq (orang yang berhak disantuni) kadang harus berebut.

Di negeri ini, orang kalau selamat dalam perebutan, belum tentu selamat pula dalam perjalanan selanjutnya. Misalnya di musim liburan dan semacamnya, untuk mendapatkan tiket kereta, masyarakat harus berebut, main dulu-duluan, dan terlambat sedikit saja hampir senantiasa dibilang, tiket sudah habis.

Kemudian setelah memiliki tiket, dalam perjalanan, kalau lagi bencana ditimpakan oleh Allah Ta’ala, akibat dosa-dosa manusia, tahu-tahu jdaar.. kereta kelas bawah (murah) ditabrak kereta kelas atas (mahal). Mawut. Bukan hanya gerbongnya yang hancur, tetapi sejumlah manusia yang berjubel dalam kereta itu hancur jadi mayat. Seperti berita ini:

Tragedi kecelakaan kereta api (KA) kembali terulang. KA Argo Bromo Anggrek menabrak KA Senja Utama di Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu, 2 Oktober 2010 pukul 03.05 WIB.

Insiden ini adalah kecelakaan kereta yang terbesar selama tahun 2010. Korbannya tak sedikit. Data menyebutkan 36 orang tewas saat KA Argo Bromo Anggrek tabrakan dengan KA Senja Utama yang tengah langsir atau berhenti. (vivanews, SENIN, 4 OKTOBER 2010, 00:19 WIB)

Orang-orang tua dahulu bercerita mengenai penjajah keparat Belanda. Mereka itu penjajah, tetapi kalau mobilnya menabrak ayam di jalan, maka mereka berhenti, menanyakan ayam ini milik siapa, lalu diganti alias ditebus. Jadi penjajah keparat saja masih punya akhlaq, walau di segi-segi lain juga dhalim benar. Ini sekadar perbandingan belaka.

Kembali masalah derita dan perebutan, ada yang sikut menyikut di berbagai tempat sampai lapak jualan hewan qurban yang ditempati setahun sekali pun boleh jadi diperebutkan, dan paling kurang sudah ada tukang “palak”nya (pemungut duit dengan memaksa).

Lebih tragis lagi bila tukang “palak” itu dobel-dobel, ada yang “rasmi” (resmi, asalnya bahasa Arab, rasmi) dan ada yang liar tapi berpayung bendera jadi setengah “rasmi”, sehingga sulit juga dihindarkan apalagi dilawan.

Sedang tukang palak itu ada di sembarang tempat, hingga dari kampong di Jawa Tengah sampai Jakarta, misalnya, penjual sapi dan kambing qurban entah berapa kali kena palak ketika dalam perjalanan. Rangkaian banyaknya tukang palak, baik berbaju “rasmi” maupun setengah “rasmi” menjadikan derita tambahan.

Akibatnya barang dagangan jadi mahal, sedang daya beli menurun. Dalam hal hewan qurban, tahun ini 1431H/2010M kabarnya orang-orang yang berqurban banyak berkurang, sedang penderita yang harus disantuni kemungkinan bertambah. Jadi para tukang palak, baik berbaju “rasmi” maupun bukan, itu adalah musibah tambahan pula.

Walaupun sudah diketahui bahwa negeri ini gara-gara banyaknya tukang palak itu mengakibatkan para investor dari luar negeri sebagian hengkang (lari ngibrit), dan yang baru mau masuk pun hitung-hitung dulu, namun bukannya gejala buruk ini berkurang, justru tumbuh kelompok yang menjadi rahasia umum bahwa mereka identik dengan tukang palak.

Di sisi lain, ada yang berebut dan mengantri untuk jadi babu di luar negeri dan banyak yang di sana disiksa sampai mati, buta, bibir dirobek dan derita aneka macam. Mereka pulang tinggal merasakan derita atau bahkan tinggal nama.

Anehnya, kasus itu sudah sejak zaman Soedomo masih kafir dan mengawali pengiriman babu ke luar negeri tahun 1980-an, menimbulkan aneka berita mengenaskan telah terjadi selama ini, namun sampai sekarang tidak dihentikan.

Barangkali memang bencana dan derita sebagian orang justru dianggap karunia oleh orang-orang durjana yang tak punya belas kasihan. Dan celakanya bila yang banyak mengendalikan suatu negeri terdiri dari orang-orang yang demikian, maka membuktikan masih dipertahankannya pengiriman babu-babu ke luar negeri, sambil sesekali diucapi, bahwa ke depan akan diprioritaskan yang tenaga skill seperti perawat dan sebagainya. Paling pintar memang, mereka itu dalam membuat kilah wal alasan.

Ada yang terkena letusan bencana lalu sebagian mati, yang lain mengungsi namun terancam dimurtadkan gereja dan wadyabalanya.

Ada yang hanya memegang sedikit kuasa di pengungsian saja berani mentang-mentang dan menggunakan kekuasaannya dengan menghalangi pihak yang mendirikan mushalla untuk pengungsi. Saking tidak relanya terhadap berdirinya mushalla darurat untuk pengungsi, maka “penguasa” sementara ini menjadikan mushalla itu sebagai ajang maksiat, di antaranya menggelar dangdutan di mushalla itu.

Astaghfirullah.. padahal pendahulu negeri ini, di antaranya Abi Kusno Cokrosuyoso (keluarga HOS Cokroaminoto), ketika menjadi menteri perhubungan beberapa bulan pada tahun 1946-an, dia berhasil membangun tempat shalat setiap stasiun kereta api. Hingga kini tempat-tempat shalat bahkan masjid peninggalannya itu masih ada di setiap stasiun dan sangat bermanfaat bagi umat Islam.

Ada yang pelesiran ke luar negeri dengan dalih belajar etika (etika merokok?). Seolah dengan ucapan “selamat tinggal” terhadap para korban bencana, padahal duit yang mereka gondol justru diantaranya dari masyarakat yang menderita dan yang kena bencana.

Derita manusia seolah bukan urusan mereka yang hatinya tidak punya belas kasihan. Bahkan bisa jadi aneka bencana justru diharapkan oleh orang-orang yang punya sifat curang; karena dengan adanya derita akibat bencana maka ada bantuan.

Dengan adanya bantuan maka dapat dikentit, diutil, digelapkan. Para penggelap justru berharap adanya bencana. Yang terpeleset soal ini, ketika para pengungsi pulang ke rumah masing-masing, para penggelap pun pulang. Bila nasib lagi apes, mereka ketahuan menggelapkan dana bantuan bencana, maka rumah tahanan pun pintunya menganga.

Hampir setiap ada bencana, kemudian akhirnya ada orang-orang yang kena perkara penggelapan dana bencana. Itu saja yang masuk dalam berita, mungkin yang tidak terdengar atau yang tidak ketahuan ada juga.

Di mana-mana sudah diperkirakan akan timbulnya bencana. Maka dana pun sudah dipersiapkan sebelumnya. Tahu-tahu, seperti yang terjadi di Kota Batu, dana bencana justru untuk menyambut tamu yang paling dihormati di negeri ini.

Keruan saja, orang akan mudah untuk mempertanyakan: kedatangan Bapak Anu disambut dengan duit dana bencana, berarti Bapak Anu itu dianggap bencana?

Hanya saja belum terdengar suara. Kalau dulu ada yang diangkat namanya dengan sebutan Bapak Pembangunan, apakah ada yang berani usul adanya julukan Bapak Bencana.

Kalau ada usulan, maka perlu diadakan penilaian secara seksama. Siapa yang paling “berjasa” dalam memusyrikkan manusia dengan keyakinan batilnya, menyuruh, memfasilitasi untuk diadakan sesaji, tumbal untuk dilarung ke laut, dilabuhkan ke gunung dan sebagainya; itulah Bapak Bencana. Yaitu bencana aqidah. Dan itulah sedahsyat-dahsyatnya bencana.

Karena kalau aqidah (keyakinan) masyarakat ini digempur bencana yakni kemusyrikan dengan aneka upacara sesaji, larung laut, sedekah bumi, labuh sesaji ke gunung, nadzar dengan menyembelih binatang ke kubur-kubur dan sebagainya; itu menghancurkan keimanan orang.

Ketika iman sudah hancur karena dijerumuskan pemimpinnya, gurunya, tokohnya dan sebagainya ke kemusyrikan, maka sudah tidak ada iman lagi. Ketika seseorang mati dalam keadaan imannya sudah berganti dengan kemusyrikan, maka masuk kubur tanpa iman, itu sangat amat celaka.

Di berbagai tempat, ada pemimpin-pemimpin setempat yang menggerakkan kemusyrikan itu, dan bahkan pakai duit anggaran yang tentunya didapat dari umat Islam (karena mayoritas penduduk ini Ummat Islam). Ini berarti dhalim kwadrat.

Dhalim kepada manusia, masih pula dhalim kepada Allah Ta’ala, yakni mengalihkan keyakinan manusia dari Tauhid kepada kemusyrikan, masih pula pakai duit orang yang bertauhid (muslim). Itulah Bapak atau Tokoh Bencana sesungguh-sungguhnya.

***

Beralasan upaya menghindari bencana

Para pemimpin di berbagai daerah yang menjerumuskan masyarakt dengan mengadakan upacara-upacara ritual kemusyrikan itu boleh jadi akan kapok dan berhenti bila ada perintah dari atasan mereka yang mereka patuhi dan taati.

Namun sebaliknya, kemungkinan justru akan lebih mereka giatkan bila mereka memahami bahwa atasan mereka yang mereka takuti justru mersetui. Sehingga para pemimpin di berbagai daerah itu bagai agen-agen penjerumusan yang cukup handal, bagai ujung tombak dalam menyesatkan dan menjerumuskan, namun dengan dalih memohon berkah (kepada Thaghut, sesembahan selain Allah Ta’ala dengan ritual syirik) agar terhindar dari bencana.

Mereka lebih jeli dari orang umum, ke arah mana pemimpin mereka menuju. Dan mereka pun tahu, bahwa yang telah mereka simak adalah praktek-praktek yang beritanya semacam ini:

SBY Bantu Rp 200 Juta untuk Kegiatan Ritual

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan bantuan dana sebesar Rp200juta untuk kegiatan ritual, yakni karya "Ngenteg Linggih dan Padudusan Agung" di Pura Bukit Mentik, Gunung Lebah, Desa Batur Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.

Wakil Ketua Panitia kegiatan ritual tersebut Dr I Ketut Murdjana di Desa Batur, Kintamani sekitar 60 km timur Denpasar, Senin, mengatakan, Presiden SBY memberikan sumbangan untuk kelancaran kegiatan ritual yang digelar umat Hindu setempat.

Kegiatan ritual berskala besar itu melibatkan seluruh lapisan masyarakat Hindu Desa Batur, Kintamani yang terdiri atas 700 kepala keluarga (KK) dengan menghabiskan dana sekitar Rp 750 juta.

"Upacara tersebut dilaksanakan setiap 30 tahun sekali di Pura Bukit Mentik dengan rangkaian kegiatan dari awal hingga puncak acara berlangsung sebulan penuh, 20 September-20 Oktober 2009," tutur Ketut Murdjana.

Kegiatan ritual skala besar itu bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dunia beserta isinya terhindar dari bencana, serta selalu dilimpahkan kesuburan dalam bidang pertanian.

Terkait rangkaian upacara yang berlangsung selama sebulan itu, berbagai prosesi telah dilakukan hingga pada puncaknya nanti diantaranya, "mulang pakelem" dengan menenggelamkan tiga ekor kerbau.

Korban suci itu masing-masing untuk kawah Gunung Batur dua ekor dan Danau Batur seekor.

I Ketut Murdjana menjelaskan, selain dana bantuan dari presiden pihak panitia juga memperoleh bantuan dari sejumlah donatur di Bali yakni gubernur, bupati/walikota serta para dermawan.

Bantuan yang tidak kalah penting lainnya juga berasal dari panitia penyelenggaraan turnamen golf di Jakarta.

"Sementara sumbangan dari masyarakat Batur sebesar Rp 350 juta atau setiap tiap kepala keluarga kena iuran Rp 500.000," ujarnya.

I Ketut Murdjana menambahkan, pelaksanaan upacara akan dipimpin oleh tujuh "sulinggih" atau pendeta diantaranya Ida Pedanda Budha dari Griya Batuan Sukawati dan Ida Pedanda Putra Tembau dari Griya Aan , Kelungkung. (suaraislam.com, Monday, 28 September 2009 11:21 | Written by Jaka).

Praktek lainnya pun bisa disimak seperti berikut ini:

Dalam tulisan berjudul Mengapa Umat, Memilih Antara Liberal-Syirik?

Senin, 22/06/2009 12:46 WIB, eramuslim menyoroti masalah kemusyrikan. Di antaranya ditulis:

..di kota Kediri, tim sukses SBY-Boediono, menggelar acara larungan atau melakukan larung sesaji. Larung sesaji ini dimaksudkan sebuah ritual untuk mendapatkan berkah bagi kemenangan SBY-Boeidono. Larung sesaji ini juga dimaksudkan untuk membuang sial. Pasalnya, di Kediri dalam pemilihan legislative 2009, yang lalu, Partai Demokrat kalah dengan PDIP.

Upara larungan itu, yang dilarung berupa bunga tujuh macam, dupa (kemenyan), dua ekor bebek yang dikalungi postes SBY-Boediono. Kedua bebek itu dimaksudkan melambangkan nomor urut pasangan itu. Upara itu digelar ditanggul sungai Brantas, yang berada di Kelurahan Semampir, Kediri.

Selain itu, puluhan penganut aliran kepercayaan dari Paguyuban Dhulang Projo mengggelar proses ritual, yang acaranya berlangsung di Taman Apsari Surabaya, Selasa (9/6/2009), yang tujuannya untuk mendukung SBY-Boediono. Prosesi itu berupa peletakkan sesaji di patung Joko Dolog. Ketua Paguyuban Dhulang Projo, Ki Sudirman, menyatkan, fihaknya mendukung pasangan SBY-Boeidono. “Kami menilai Pak Boediono sangat mengayomi dan sangat respek dengan kejawen yang merupakan budaya leluhur”, ucapnya.

Tak mau kalah, pasangan Mega-Prabowo, tim suksesnya juga menggelar ritual yang sama. Tim sukses Mega-Prabowo, ketika mendeklarasikannya di Bantar Gembang, Sabtu malam (23/5/2009), juga menggelar ‘sedekah bumi’, yaitu melakukan penyembelihan tiga kerbau bule, yang dagingnya dibagikan kepada pemulung yang ada di kelurahan Cikiwul, Sumur Batu, dan Ciketung Udik.

Kerbau bule itu diyakini sebagai kerbau yang ‘sakti’. Menurut Ates Mulyana, yang menyumbang kerbau bule itu, dimaksudkan untuk kelancaran acara deklarasi di Bantar Gebang. Selanjutnya, usai pemotongan kerbau itu, dilanjutkan dengan pengajian yang dipimpin Habib Ali Alatas, dan dihadiri 500 anggota masyarakat. (Senin, 22/06/2009 12:46 WIB, eramuslim.com).

Tokoh kemusyrikan identik dengan tokoh bencana

Dari berbagai tokoh yang bergelimang dalam ritual kemusyrikan itu, apakah perlu diadakan semacam penilaian, hingga yang memenuhi criteria akan diberi gelar sebagai tokoh kemusyrikan yang identik dengan tokoh bencana?

Bila cara itu akan mujarab bagi perkembangan da’wah dan dalam mencegah kemusyrikan, ya barangkali perlu dibahas. Namun bila justru sia-sia, apalagi mengandung bahaya, maka tidak perlu dicuatkan. Cukup difahami, bahwa diberi julukan atau tidak, yang jelas tidak sulit-sulit amat bila hanya mencari tokoh-tokoh yang menjerumuskan masyarakat ke kemusyrikan.

Tentang memberi julukan buruk atau semacamnya yang makna kandungannya untuk memberikan peringatan kepada manusia agar waspada dan menghindari keburukannya, ternyata telah dicontohi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau menyebut orang yang telah lalu, yang sedang beliau hadapi sewaktu hidupnya, dan yang akan datang.

1. Julukan buruk atau pensifatan buruk kepada orang atau tokoh yang telah lalu, contohnya Nabi SAW bersabda:

رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ عَامِرِ بْنِ لُحَيٍّ الْخُزَاعِيَّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِي النَّارِ، وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِبَ. (أخرجه البخاري)

Aku melihat Amru bin Amir bin Luhayyi Al-Khuza’i menarik-narik ususnya di neraka, dan dia dulunya adalah orang pertama yang membuat saibah-saibah. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah RA).

Karena dia adalah orang pertama yang membuat jalan bagi orang Arab untuk beribadah pada berhala, dan membuat washilah, membuat haam, dan mengharamkan yang halal, dan menciptakan syari’at dan hukum-hukum. (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat).

2. Kepada nabi palsu Musailimah ( di Indonesia biasanya disebut Musailamah), Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjulukinya al-kadzdzab (pendusta), langsung dengan surat jawaban beliau:

بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ

مِنْ مُحَمّدٍ رَسُولِ اللّهِ ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذّابِ :

السّلَامُ عَلَى مَنْ اتّبَعَ الْهُدَى . أَمّا بَعْدُ الْأَرْضُ لِلّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتّقِينَ

بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ

Dari Muhammad utusan Allah.

Ke Musailimah Al-Kadzdzab (sang pendusta).

Semoga keselamatan tercurah kepada siapa yang mengikuti petunjuk.

Amma ba’du.

Bumi adalah milik Allah. Dia akan mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambaNya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa".

(Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, mengutip Raudhatul Anf, al-islam.com juz 4 halaman 378).

3. Julukan kepada orang-orang berbahaya yang akan datang pun telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan. Di antaranya sabda beliau:

وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى كَذَّابُونَ ثَلاَثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِىٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى (أحمد ، ومسلم ، وأبو داود ، والترمذى – حسن صحيح – وابن ماجه ، وأبو عوانة ، وابن حبان عن ثَوْبَانَ)

Sesungguhnya akan ada di umatku penduta-pendusta tiga puluh orang, masing-masing mereka mengaku bahwa ia nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku. (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi –hasan shahih- Ibnu Majah, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban dari Tsauban).

Itulah contoh-contoh julukan atau pensifatan buruk terhadap tokoh-tokoh jahat, baik yang telah lalu, sedang berlangsung, maupun yang akan datang. Dalam kasus yang dibicarakan tulisan ini adalah tokoh buruk yang menyebarkan atau mendukung atau melestarikan kemusyrikan (dosa paling besar, orangnya disebut musyrik, yang apabila mati belum bertaubat maka kekal di neraka) di masyarakat Muslimin.

Dari mereka lah tumbuh suburnya kemusyrikan, hingga kemungkinan lantaran kemusyrikan yangmereka lestarikan dan besarkan itu mengakibatkan derasnya bencana di mana-mana.

Karena Allah Ta’ala telah berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ (42) فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (43) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ [الأنعام/42-44]

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.

Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al-An’am [6] : 42-44).

Imam Ibnu Katsir mengaitkan ayat tersebut dengan ayat ini:

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ [الأنعام/47]

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong, atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?" (QS. Al-An’am [6] : 47). Artinya, sesungguhnya adzab itu hanyalah meliputi orang-orang yang mendhalimi diri-diri mereka sendiri dengan syirik (menyekutukan) kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Maha Mulia dan Maha Agung). (Tafsir Ibnu Katsir , 3/ 258).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan:

هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ [الأنعام/47]

"..maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain dari orang yang zalim?" (QS. Al-An’am [6] : 47), itu bandingannya adalah ayat:

فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ [الأحقاف/35]

"..maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik." (QS. Al-Ahqaf [46] : 35).

Artinya, apakah akan dihancurkan selain karena kemusyrikan kalian. Lafal dhalim di sini artinya kemusyrikan, sebagaimana Luqman berkata kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ [لقمان/13]

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman [31] : 13). (Tafsir Al-Qurthubi 6/ 429).

Penutup

  1. Derita anak negeri terjadi di mana-mana.
  2. Penyebab derita sudah diketahui, yakni kedhaliman. Kedhaliman ini rangkaiannya ada dua: kepada manusia mengakibatkan sengsara. Sedang kedhaliman kepada Allah, yakni kemusyrikan itu mengakibatkan dibinasakannya kaum yang orang-orangnya dhalim (musyrik).
  3. Ketika kedhaliman itu justru dipasarkan di masyarakat, maka yang terjadi adalah:
    • Kedhaliman terhadap manusia, mengakibatkan yang lemah alias yang didhalimi jadi sengsara.
    • Kedhaliman terhadap Allah yakni berbuat kemusyrikan, ketika dipasarkan kepada masyarakat maka terseretlah masyarakat itu ke jurang kemusyrikan.
    • Akibat masyarakat terjerumus ke jurang kemusyrikan, maka adzab Allah Ta’ala pun datang, dan yang terkena justru kadang adalah orang-orang kecil (bukan pembesar), yang telah didhalimi (dijerumuskan ke kemusyrikan, masih pula mungkin dianiaya pula hidupnya).
    • Apabila pembesar-pembesarnya yang dhalim tidak terkena bencana atau adzab, itu pertanda mendapatkan istidraj (diulur, bahasa Jawanya: dilulu) agar dipuas-puaskan kedhalimannya, kelak mereka tinggal mengunduh siksanya.
    • Bukti-bukti telah nyata. Dosa-dosa atas kedhaliman manusia ini sungguh telah tampak nyata. Bencana pun tampak nyata. Bagi orang yang pandai memperhitungkan diri, maka menyadari dosa-dosanya, lalu segera taubat sebelum malaikat maut menjemput. Masih ada kesempatan untuk bertaubat. Bahkan orang yang jelas-jelas mengaku sebagai nabi (padahal palsu) saja kemudian ada yang bertaubat, masuk Islam kembali, dan mati dalam keadaan Islam. Padahal mereka mengaku jadi nabi secara palsu adalah di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kemudian di zaman Abu Bakar Shiddiq, mereka bertaubat. Yakni Thulaihah Al-Asadi طُليحة الأسدي, dan kemudian Sajah At-Tamimiyah (سَجَاح التميمية nabi palsu wanita) (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat).
    • Ada pilihan-pilihan, tinggal mana yang dipilih. Pilih taubat, kemudian memperbaiki diri dan menjauhi kemusyrikan; atau tetap mau mempertahankan, melestarikan, bahkan mengembang suburkan kemusyrikan. Bila yang terakhir ini justru yang jadi pilihannya, berarti bencana yang bertubi-tubi selama ini tidak dijadikan pelajaran baginya. Atau apakah memang lebih suka dikenang dalam sejarah hidupnya sebagai Bapak Bencana atau Tokoh Bencana? Monggo kerso (silahkan). Tetapi kalau kelak di akherat menyesal sejadi-jadinya dan tidak ada kesudahannya, itu resiko yang tidak lagi dapat ditebus sama sekali, apalagi pakai uang sogokan seperti yang ramai sekarang, sama sekali tidak bisa! Kata pepatah: Sesal dahulu, pendapatan. Sesal kemudian, tiada berguna!

*Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Kyai kok Bergelimang Kemusyrikan