Jika Cinta Indonesia, Pakailah Nama “IRIAN” Jangan “Papua”!

permadi-dan-roso-daras
Permadi dan Sejarawan Roso Daras

Eramuslim.com – Posting ini harus saya mulai dengan satu pernyataan yang bersifat personal. Begini… secara pribadi, saya adalah pengagum berat KH Abdurrahman Wahid. Sudahlah… dalam banyak hal, pemikiran-pemikiran Gus Dur klop, menyatu benar dengan apa yang ada di batok kepala saya. Jika saya katakan “dalam banyak hal” itu artinya, karena memang tidak semua pemikiran dan tindakan Gus Dur klop dengan yang ada di benak saya.

Saya sebut satu hal yang benar-benar tidak klop, yaitu keputusannya mengganti nama Irian menjadi Papua. Bukan saja tidak klop, tetapi saya anggap mendiang Gus Dur benar-benar menafikan sejarah. Saya tidak berpikir bahwa Gus Dur tidak tahu sejarah. Dia tahu sejarah tentang Irian Jaya, tetapi demi kepentingan “dukungan politik” dia mengakomodir aspirasi elemen separatis di Papua yang menghendaki pengembalian nama Irian ke Papua.

Persis tanggal 31 Desember 1999, saat berkunjung ke Irian Bara, Presiden Abdurrahman Wahid serta merta menyetujui tuntutan kaum separatis Papua untuk mengubah nama “Irian” menjadi “Papua”. Alasan orang-orang yang menuntut itu, karena katanya “Irian” berkonotasi sangat Indonesia, karena itu adalah singkatan dari kalimat “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Ini sesuatu yang aneh, yang dilakukan oleh orang-orang Irian “murtad”, dari yang semula mengaku orang Indonesia tiba-tiba menuntut sesuatu yang bersifat separatis, dan lebih aneh lagi, hal itu dikabulkan oleh Gus Dur. Tatanan negara pun menjadi terdistorsi, karena persetujuan itu sama sekali belum dirundingkan dalam sidang Kabinet, atau bahkan belum dikonsultasikan dengan DPR RI. Sebab, kebijaksanaan Gus Dur itu tidak sesuai dengan penjelasan Bab VII UUD 1945 yang menyatakan: Kekuasaan Kepala Negara “tidak tak terbatas”.

Tidak berhenti di situ, Gus Dur juga menyetujui pemberian bantuan satu miliar rupiah untuk menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua awal Juni 2000, yang nota bene kongres itu menuntut pemisahan Irian Barat dari NKRI. Dengan mudah, kongres menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid bukan saja menyetujui kongres, tetapi juga menyetujui tuntutan memisahkan diri.

Semula, Gus Dur bermaksud, kongres tersebut mengikut-sertakan juga tokoh-tokoh Irian Barat yang tidak menyetujui pemisahan diri dari wilayah NKRI. Ternyata, hal itu tidak diakomodir oleh penerima bantuan. Sehingga yang berkongres hanya kelompok separatis.

Sikap Gus Dur kemudian coba dikoreksi sendiri dalam Sidang Tahunan MPR 2000. Di situ Gus Dur berstatemen, jika gerakan separatis itu diteruskan, maka akan ditumpas, karena Irian Barat adalah wilayah NKRI yang bukan saja akar sejarahnya menyatakan demikian, tapi masih ditambah dengan berbagai pernyataan golongan-golongan di Irian Barat dalam berbagai kesempatan yang menyatakan pengakuan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, adalah juga proklamasi kemerdekaan Irian Barat dalam wilayah NKRI. Bahkan wilayah itu disahkan PBB sebagai wilayah kesatuan NKRI, yang berarti disahkan juga oleh seluruh dunia.

Nah, kembali ke kepanjangan “IRIAN” yang oleh kelompok separatis diplesetkan menjadi “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”, yang tak lain hanya gosip. “IRIAN” adalah nama yang diusulkan oleh seorang pejuang Papua, Frans Kaisiepo, yang berarti “Sinar yang menghalau kabut”, diambil dari bahasa salah satu suku di Irian.

Di Irian, terdapat 244 suku dengan 93 bahasa lokal. Kata “PAPUA” yang menggantikan “IRIAN” malah justru mempunyai konotasi yang buruk, karena berarti “Daerah hitam tempat perbudakan”. Ironisnya, versi kaum separatis, nama itu lebih disukai karena dianggap memberikan semangat kepada perjuangan kemerdekaan mereka.

Pelurusan sejarah tersebut dilakukan oleh Dr. Subandrio, Wakil Perdana Menteri I dalam Kabinet Presiden/Perdana Menteri Sukarno, dalam bukunya “Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat”, terbitan Yayasan Kepada Bangsaku tahun 2001. Buku ini diberi kata pengantar oleh H. Roeslan Abdulgani. Di dalamnya memuat secara rinci sejarah perjuangan merebut Irian Jaya dari tangan Belanda.(ts/roso daras)