Kesederhanaan Seorang Muhammad Natsir (Tamat)

Muhamad Natsir adalah orang yang besar dan sulit mencari bandingnya di masa sekarang. Ini diakui banyak orang, di antaranya Prof. Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan, ”Saat ini sulit mencari tokoh yang bisa kita sebandingkan dengan Natsir. Natsir bukan pengusaha, bukan orang kaya. M.Natsir tiga kali menjadi menteri penerangan dan sekali menjadi perdana menteri, bukan untuk mencari uang atau memperkaya diri.”

George McTurman Kahin, salah seorang Amerika yang kenal dengan Natsir sempat terheran-heran dengan kesederhanaan seorang Natsir, hingga baju yang dikenakannya saat menjabat sebagai Menteri adalah baju yang penuh dengan tambalan. Dan di saat masa jabatannya habis, Natsir meninggalkan kantor kementriannya pulang menuju rumah dengan mengayuh sepeda. Mobil dinasnya langsung diserahkan saat itu juga kepada negara.      

Selama menjabat sebagai menteri penerangan tiga kali, dan juga menjabat sebagai perdana menteri, kehidupan keluarga Natsir tidaklah banyak berubah. Rumahnya tetap sederhana dan pintunya terbuka bagi siapa saja yang ingin bersilaturahim. Sikap seorang Natsir ini sangat bertolak-belakang dengan orang-orang yang sekarang mengaku tokoh umat, yang setelah menjadi pejabat negara atau pejabat partai bisa mendadak kaya raya, padahal mereka tidak punya usaha lain selain pejabat partai. Dan bukan rahasia umum lagi jika kerjaan partai politik, apa pun ideologinya, tidak jauh-jauh dari jual-beli suara umat, sehingga rakyat banyak menganggap bahwa para elit partai politik sesungguhnya tidak beda dengan para pedagang, yang menjadikan suara umat atau suara rakyat sebagai barang dagangan dengan memberikan janji-janji manis saat pemilu, dan secepatnya melupakan semua itu ketika sudah berkuasa. Natsir jelas bukan tokoh umat yang seperti ini.

Salah satu peristiwa yang menunjukkan kebesaran seorang Natsir adalah saat pertemuan antara Prabowo yang telah menjadi seorang perwira dengan Muhamad Natsir. Saat iklim politik Indonesia sejak tahun 1988 telah mulai kondusif bagi dakwah Islam. Suatu hari, Prabowo, yang saat itu masih menantu Presiden Suharto, diiring sejumlah perwira Muslim hendak bersilaturahim ke kediaman Natsir di Jalan HOS. Cokroaminoto, Jakarta. Natsir yang telah tua menunggu di dalam kamarnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Pabowo Subianto menyempatkan diri untuk melolosi arloji dan cincin emasnya, lalu dititipkan ke ajudannya. Hal ini dilakukan Prabowo karena dia tahu jika Natsir adalah seseorang yang sangat memegang erat kesederhanaan, dan Prabowo pun sangat menghormatinya.

Apa yang dilakukan Natsir sungguh beda dengan kelakuan sebagian orang-orang yang mengklaim sebagai pemimpin umat, yang lebih sering mendatangi rumah penguasa ketimbang berjalan menyusuri pasar becek menyapa kaum mustadh’afin. Natsir tidak punya istana, namun orang-orang istana sering mendatanginya. Bukan sebaliknya. 

Tauhid Yang Benar

Salah seorang sahabat dekat Natsir adalah (alm) Hussein Umar. Suatu hari tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) ini menegaskan kepada penulis jika salah satu pilar yang sangat dipegang Muhammad Natsir adalah keistiqomahan dalam dakwah. Bang Hussein, demikian sebutannya, berkata, “Dakwah itu merupakan sebuah proses yang panjang. Sebab itu sama sekali tidak perlu adanya sikap tergesa-gesa ingin menikmati hasil. Semua perlu proses dan kesabaran. Jangan kita bisa dijebak lagi, karena ingin cepat-cepat menuai hasil, lalu masuk dalam skenario yang justru akan menghancurkan gerakan dakwah itu sendiri.”

Bang Hussein juga mengulangi pesan Natsir kepadanya, “Umat Islam itu diwajibkan berusaha dengan sebaik mungkin, dibatasi oleh kaidah-kaidah syariat, akidah, dan keimanan. Sedangkan hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT, karena Allah-lah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Manusia wajib berusaha, sedangkan hasilnya Allah SWT yang menentukan.”

Hal inilah yang melandasi sikap perjuangan Natsir. Walau secara pribadi dia kenal dan berteman dengan para politikus dari PKI maupun dari partai-partai Kristen, namun di dalam perjuangan politiknya, Natsir tidak pernah memberikan loyalitasnya, walau sedikit pun, kepada mereka. Natsir sangat paham jika hal tersebut, wala wal baro, termasuk dalam pilar-pilar ketauhidan. Hal ini dibuktikan dengan Partai Masyumi yang tidak pernah sekali pun mengangkat calegnya dari kalangan non-Muslim. Sangat beda dan jauh dengan yang ada sekarang.

Sikap Natsir terhadap misi pemurtadan yang dilakukan Gereja sungguh jelas. Dalam satu artikel yang ditulis Natsir (1938), yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”, Natsir membuka dengan tulisan: ”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.” Hal ini dilakukan Natsir untuk menyikapi hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam, 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia.

Menanggapi rencana pemurtadan tersebut, Natsir menghimbau umat Islam agar, ”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan kongres Al-Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara adzan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!” (Pandji Islam, ed. 33-34). Natsir tidak pernah memberi loyalitas perjuangan umat Muslim ini kepada kaum kuffar dengan alasan Islam itu rahmatan lil’alamin.

Terhadap usaha-usaha pemurtadan yang dilancarkan musuh-musuh Islam, Natsir sangat tegas dan tidak kenal takut maupun kompromistis. Sekarang ini, hanya ormas-ormas Islam seperti FPI-lah yang mengikuti jejak Pak Natsir dalam membela Islam dari rongrongan kaum salib maupun kaum liberalis. Sedangkan “tokoh-tokoh Islam” yang sudah keenakan duduk di kursi empuk di DPR maupun DPRD, mereka lebih memilih diam seribu bahasa, lebih memilih aman, ketimbang membela Islam. Bagi orang-orang seperti ini, belanja di Singapura bahkan sampai ke Paris, kongkow di hotel internasional, semuanya jauh lebih nikmat, dan sebab itu harus dipertahankan terus sepanjang hayat dikandung badan, ketimbang ikut berpanas-panas ria di tengah terik matahari di jalanan seperti halnya yang dilakukan para pembela Islam.

Sekarang, sangat sulit mencari sosok pejuang Islam seperti Muhammad Natsir. Sosok seperti ini sekarang hanya bisa ditemukan di masjid-masjid kampung dan di pesantren-pesantren pedalaman. Manusia besar ini berpulang kerahmatullah pada 5 Februari 1993 di Jakarta, meninggalkan berjuta hikmah dan kisah. (Tamat/rd)