Tradisi Megibungan, Ikhtiar Menyatukan Muslim di Bali Sejak Jaman Penjajahan

megibunganEramuslim.com – Saat Bulan Ramadhan tiba, banyak tradisi unik digelar umat Muslim di Indonesia. Salah satunya tradisi Megibungan yang rutin dilakukan masyarakat di Kampung Islam Kepaon, Denpasar, Bali.

Megibungan sendiri merupakan kosa kata bahasa Bali, yang artinya makan bersama-sama dalam satu wadah.

Tradisi ini dilakukan bersamaan dengan waktu berbuka puasa di Masjid Al-Muhajirin yang ada di kampung tersebut. Dilaksanakan tiap kelipatan 10 hari atau tiga kali di Bulan Ramadhan di hari ke 10, ke 20 dan ke 30.

Tokoh masyarakat setempat, H Ishaq Ibrahim menceritakan, tradisi ini bermula ketika agama Islam masuk ke Bali.

Kala itu, banyak umat Muslim Nusantara dari berbagai suku bermukim di Bali. Mulai dari Melayu, Jawa, Madura, Bugis dan Lombok dan daerah lain.

Kata Ishaq, tradisi Megibungan sebenarnya merupakan bagian dari upaya menyatukan pemeluk agama Islam yang berasal dari suku yang berbeda-beda di Bali.

Mereka pun sepakat buat paguyuban, yang salah satu kegiatannya adalah khataman Al Quran tiap Ramadhan. Saat khataman itu biasa dibuat syukuran dengan cara makan bersama.

“Makan bersama itulah yang dinamakan Megibung,” tutur Ishaq saat ditemui di sela pelaksanaan tradisi megibungan, Rabu (15/6).

Kendati awalnya hanya syukuran khataman Al Quran saja, makna Megibungan kemudian meluas terkait dengan kondisi Bali saat itu yang masih jaman penjajahan Belanda.

Tradisi Megibungan pun menjadi cara untuk menyatukan umat Muslim di Bali agar tidak mudah tercerai berai. “Tujuannya supaya kita jangan mau dikalahkan sama Belanda. Dulu dia itu rukun. Kita jangan mau dipecah belah. Kita ini saudara,” kata dia.

Hingga kini, tradisi ini ternyata terus lestari dan bahkan jadi atraksi budaya. Warga yang ikut serta pun semakin banyak, bahkan ada yang datang hanya untuk menyaksikan jalannya tradisi yang sudah terajut lama itu.

Agar tradisi ini terus lestari, Ishaq mengaku tiap Megibung digelar selalu diikutsertakan anak muda dan anak-anak. Jadi dalam satu tempat makan ada orangtua, remaja dan anak-anak.

Soal menu, tidak perlu khawatir. Warga secara sukarela berbondong datang menyumbangkan makanan kepada jamaah Masjid.

Sebelum dimulai, biasanya dibuka dengan berbuka puasa bersama dengan menikmati makanan ringan. Usai Sholat Magrib berjamaah, barulah Magebungan dimulai.

Tanpa dikomando, tua muda sudah duduk melingkar bersama kelompoknya. Satu kelompok berjumlah lima sampai enam orang terdiri dari orangtua, remaja dan anak-anak. Usai membaca doa bersama, santap malam pun dilangsungkan. Semua menu makanan yang terhidang disantap lahap tanpa pandang tua muda.

Seorang remaja bernama Sayuti, mengaku rutin tiap tahun hadir di tradisi Megibungan. Sejak kecil orangtuanya selalu membawanya hadir di kegiatan itu.

Hal senada diutarakan Muhammad Abdullah, bocah yang masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sejak ia menginjak sekolah dasar, Abdullah selalu mengikuti tradisi ini saban tahunnya. “Senang ikut megibung. Sudah dari kelas 1 SD ikutnya,” ujar Abdullah.(ts/aktual)