Tragedi Sistemik Akhir Tahun 2014

jokowiOleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)

Akhir tahun 2014 hampir menjelang. Rentetan peristiwa terjadi silih berganti. Belum usai persoalan demi persoalan dihadapi umat islam. Senantiasa ada PR yang dihadirkan oleh musuh-musuhnya. Naifnya persoalan yang terjadi selalu bernuansa adu domba. Yang senantiasa memunculkan respon pro dan kontra. Antara dukungan dan penolakan terhadap kebijakan. Nampaknya memang dikonstruksi dengan formulasi demikian.

Kesan awalnya bahwa kenyataan itu adalah sesuatu yang alamiah. Tetapi belakangan aroma rekayasa opini media sebagai bagian dari rekayasa sosial politik begitu kental terasa. Fenomena Ahok dan Jokowi seharusnya membelalakkan mata. Bahwa media adalah kekuatan dominan untuk mempengaruhi massa. Media mainstream memainkan peran utama untuk merasionalisasikan beragam kebijakan penguasa sekaligus mengawalnya. Detik.com serta jejaring medianya salah satu contoh bagaimana media memainkan peran strategis. Disokong oleh Tim Cyber yang tidak berhenti bekerja. Untuk membangun komunikasi publik sedemikian sistematis. Yakni branding tanpa cela akan sosok Jokowi dan Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama.Kekuatan itu didukung juga oleh riset yang mendalam dan komprehensif. Tentang konstelasi kekuatan pro kontra terhadap suatu kebijakan.

Diperkuat juga dengan pemetaan dan treatment untuk meredam beragam potensi penolakan terhadap kebijakan. Baik melalui jalur formal maupun operasi intelijen. Ahok dan Jokowi seolah menjadi fenomenal lahirnya sosok alternatif. Yang menerobos figur penguasa selama ini penuh dengan korup dan pencitraan.  Kemudian muncul sosok baru dengan segala sepak terjang yang selalu dikesankan membawa solusi dan terobosan. Meski harus bertabrakan dengan nilai-nilai keagamaan. Tidak penting prinsip-prinsip yang berakar dari keyakinan agama mayoritas bangsa di negeri ini. Yang penting kesan keberpihakan terhadap persoalan masyarakat menjadi nampak.

Kata kuncinya adalah rasionalisasi kebijakan masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat.  Aneh bin ajaib betapa beragam kebijakan menikam rakyat justru diterima sebagai sesuatu yang niscaya. Hanya karena banyak orang merindukan sosok pembawa perubahan baru. Seperti kebanyakan orang yang sudah tertindas dihipnotis penuh dengan khayalan. Tanpa merasakan kondisi penderitaan yang dialaminya hingga kematian menjemputnya. Dan baru sadar saat ajal tiba. Inilah gambaran kecamuk sistemik persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Setidaknya ada beberapa persoalan di penghujung akhir tahun 2014. Persoalan itu mencakup situasi global regional maupun lokal nasional antara lain :

Pertama, persoalan yang menjadi semacam insfrastruktur regional dan internasional diantaranya MEA 2015. Esensi sebenarnya Masyarakat Ekonomi Asean adalah jembatan bagi lapangnya ketergantungan segala bidang terutama bidang ekonomi dan politik terhadap negara-negara maju oleh negara-negara Asean termasuk Indonesia. Karena makna senyatanya hubungan antar negara-negara maju dengan negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah hubungan eksploitatif (menghisap). Bukan hubungan mutualis (saling menguntungkan).

Hal itu nampak pada fakta semakin kokohnya pengelolaan SDA strategis oleh asing. Dan kian menjamurnya korporasi asing yang beroperasi menjadikan Indonesia sebagai daerah pasar yang sangat potensial. Pengelelolaan SDA oleh asing itu berpotensi menyebabkan kerugian negara sangat besar. Beberapa LSM Anti Korupsi menyatakan potensi kerugian SDA di 6 provinsi Rp 201,82 trilyun. Diantaranya penjualan murah gas Tangguh (era Megawati) dengan potensi kerugian Rp 750 trilyun. Termasuk kasus yang lain seperti BLBI (era Megawati) yang menurut BPK potensi kerugiannya Rp 134,8 trilyun. Penjualan murah BCA (era Megawati) potensi kerugiannya Rp 259 trilyun. Di era SBY, Lapindo merugikan negara Rp 7,2 trilyun  dan kasus Century  sekitar Rp 6,7 trilyun. Pada akhirnya bisa dipahami bahwa MEA menjadi infrastruktur penting bagi pasar asing di Indonesia atas nama pasar bebas. Di bidang intelijen dan keamanan, sebagaimana pernah dibahas di forum AFTA (Asia Free Trade Area) sebelumnya maka komitmen untuk memberantas terorisme diantaranya dengan alasan atas nama menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para investor asing.

Kedua, terus senantiasa diletakkan secara kuat kerangka perundang-undangan yang liberalis, menikam rakyat dan berpihak pada kepentingan asing.

Diantaranya adalah :

1) Hidupnya lagi pembahasan tentang RUU Kamnas dan kemungkinan munculnya UU Internal Security Act (ISA) berbarengan dengan kerjasama deradikalisasi aqidah umat oleh BNPT bersama beberapa elemen umat adalah wujud dari intervensi asing dalam konteks war on terrorism.

2) Terealisasinya badan hukum pendidikan tinggi melalui UU Perguruan Tinggi adalah implementasi dari komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

3) Perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah setiap pergantian menteri adalah indikator bahwa pendidikan lebih berbasis pragmatisme (proyek) daripada idealisme. Dengan kata lain tidak memiliki pijakan yang kuat untuk membangun pilar-pilar pengokoh pendidikan.

4) Pengosongan kolom agama pada KTP, doa bukan berdasarkan agama tertentu (apalagi kalau bukan yang dimaksud adalah Islam), menghalalkan pemakaian atribut Natal dengan alasan tradisi dan bisnis, pelegalan nikah beda agama, pelegalan aliran sesat seperti Baha’i dan Ahmadiyah, penghapusan UU yang mengatur penodaan agama, rivisi UU Perkawinan dan lain-lain. Semua itu bukti terjadi rekayasa sistematis liberalisasi agama (berkeyakinan) dan sosial

5) Kebijakan kenaikan BBM dengan beragam dalih yang dibahasakan sebagai pengalihan subsidi adalah bentuk ketidak berdayaan politik penguasa negeri ini terhadap tuntutan pencabutan subsidi atas semua sektor strategis termasuk migas oleh IMF dan World Bank.

6) Berkaitan dengan point 1) masih terus masifnya penangkapan dan penghilangan nyawa atas nama terduga teroris dalam kerangka membangun kesinambungan cerita panjang perburuan war on terorism sekaligus mendorong penguatan pada kerangka legislasinya. Terbaru penangkapan misterius terduga teroris yang diungkap oleh Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriani. Siane mengecam keras penangkapan semena-mena dan tanpa surat pemberitahuan terhadap dua warga Poso atas nama Farid Makruf dan Ahmad Wahyono beberapa waktu lalu oleh Densus 88. Ini adalah sekian dari ratusan ekstra judicial action yang dilakukan oleh Densus 88 bersama dengan BNPT.

7) Larangan jilbab dan berjenggot pegawai BUMN adalah kebijakan stereotipe dan stigmatisasi terhadap Islam sebagai agama mayoritas secara sistematis dan legitimate.

8) Hadirnya beberapa tempat yang disinyalir sebagai pangkalan militer AS serta seringnya merapat kapal induk perang AS ke pelabuhan Indonesia adalah efektif dan optimalnya keberadaan Kedubes AS di Jakarta yang diduga sebagai pusat pengendali intelijen dan militer.

9) Agenda kristenisasi dan demoralisasi terselubung Ahok yang diback up dengan politik pencitraan oleh media mainstream sebagai sosok pembawa terobosan adalah jenis arogansi baru yang potensial melahirkan penguasa represif.

Sederetan persoalan dari sekian banyak lagi persoalan yang lain baik secara global internasional dan lokal nasional di penghujung akhir tahun 2014 itu menyisakan pertanyaan mendasar mau dibawa ke arah mana sebenarnya kapal besar bangsa ini. Tidak cukupkah memahami bahwa rezim penguasa baru yang dicitrakan sebagai sosok pembawa terobosan pemegang kunci kendali bangsa ini -Ahok sebagai DKI Jakarta 1 dan Jokowi sebagai RI 1- telah meletakkan lebih kokoh cengkeraman kepentingan asing, lahirnya banyak kebijakan menikam rakyat, merebaknya liberalisasi kebijakan semua sektor dan lain-lain.

Meski juga diakui berhasil mengokohkan citra pemangkasan terhadap beberapa celah korupsi di organ pemerintahan. Tetapi itu tidak cukup mewujudkan kapasitas keberdayaan bangsa ini sebagai negeri yang berdaulat bebas dari segala bentuk dikte asing. Padahal syarat utama keberhasilan pembangunan segala bidang sangat ditentukan oleh dukungan rezim penguasa yang kuat dan sistem politik yang kompatible. Pendekatan sektoral dan partial dengan mengandalkan sosok pemimpin revolusi mental penuh dengan pencitraan adalah bentuk kekonyolan. Dibutuhkan sosok penguasa yang integrated dengan sistem politiknya berani meniadakan kebijakan menikam rakyat, memutus keberpihakan kepentingan asing, melindungi kedaulatan negara secara faktual bukan sekedar retorika, pro dan melindungi kepentingan bangsa yang mayoritas muslim, berkepribadian bangsa bukan pembela dan propagandis liberalis.

Hal itu semua hanya bisa dilakukan dengan perubahan yang sistematis dan komprehensif. Melalui mekanisme Ganti Rezim dan Ganti Sistem. Tinggal ada 3 opsi patron rezim dan sistem yang berkembang dominan di dunia. Apakah mau berkiblat pada berlakunya rezim dan sistem sosialis komunis seperti di RRC atau USSR yang sudah tumbang. Yang diemban sementara oleh beberapa kekuatan politik di belakang Jokowi tetapi masih menjadi hidden agenda dan hidden power. Ataukah berkiblat pada sistem kapitalis liberalis barat yang diback up oleh mayoritas kelompok penguasa, pengusaha, tokoh-tokoh intelektual, politisi, pakar dan praktisi hukum tetapi masih berlindung atas nama nasionalis. Seraya mencoba memformulasikan dan berupaya mensikronisasikan antara paradigma nasionalisme dengan kapitalisme sekulerisme. Atau berkiblat pada keyakinan mayoritas bangsa ini yakni Islam yang mengajarkan tentang nilai-nilai syariah, dakwah, jihad dan khilafah. Di dalamnya dijelaskan juga bangunan rezim dan sistem paripurna yang bisa diuji secara historis, konseptual, dan yuridis formal.

Akhirnya di penghujung akhir tahun 2014 ini penting direnungkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla dalam Al-Qur’anul Kariim Surat Al Baqarah ayat 256 : “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat . Karena itu siapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Wallahu a’lam bis showab.