Kisah Sebuah Masjid di Anchorage, Alaska

Lima belas tahun yang lalu, di Anchorage hanya ada kurang dari 200 Muslim. Hari ini, komunitas Muslim Anchorage jumlahnya lebih dari 3.000 orang, berasal dari berbagai penjuru negara seperti Albania, Somalia, Pakistan dan Malaysia.

Untuk memenuhi kebutuhan komunitas Muslim, tersedia tiga toko grosir halal dan resto pizza halal. Hanya saja, hingga sekarang komunitas Muslim belum punya masjid sebagai tempat salat berjamaah dan pusat kegiatan serta pertemuan komunitas Muslim di kota yang berada di kawasan Alaska itu.

Bulan Agustus, komunitas Muslim Anchorage mengajukan permohonan izin ke pemerintah kota untuk membangun sebuah Islamic Center, termasuk di dalamnya pembangunan sebuah masjid. Lokasinya di Old Seward Highway dengan pemandangan alam ke arah pegunungan Chugach. Bulan Oktober, pembangunan pondasi masjid dimulai dan dijadwalkan selesai pada tahun 2011. Pembangunan masjid itu dipekirakan menelan biaya sebesar 2,9 juta dollar.

Dari rencana bangunan masjid yang dibuat tiga dimensi, terlihat sebuah masjid berwarna putih kemilau dengan kubah dan menaranya. Panitia pembangunan mengatakan, masjid ini nantinya akan menjadi tempat untuk sarana pendidikan, peribadahan, untuk menggelar acara dan kegiatan komunitas Muslim dan akan dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, taman kanak-kanak dan akan menjadi tempat dialog bagi Muslim dan kalangan non-Muslim masyarakat Alaska.

Tapi saat ini, panitia pembangunan masjid agak berhati-hati membicarakan tentang masjid mereka menyusul kontroversi rencana pembangunan masjid di dekat Ground Zero yang ditentang keras sebagian publik AS.

Komunitas Tanpa “Rumah”

Selama bertahun-tahun komunitas Muslim Anchorage harus meminjam gedung untuk dijadikan sebagai Pusat Komunitas Muslim. Karena meminjam, gedung Pusat Komunitas itu pun kerap berpindah-pindah tempat. Saat ini, mereka menggunakan sebuah bangunan kecil di West International Airport Road, yang diapit oleh toko yang menjual alat kebutuhan pesta dan tempat kursus bahasa Spanyol, untuk keperluan salat berjamaah atau menggelar ceramah-ceramah keagamaan. Gedung kecil itu hanya mampu menampung 200 jamaah.

Untuk acara-acara yang lebih besar, komunitas Muslim Anchorage menyewa aula di pusat rekreasi di Spenard atau di Fairview. Saat menggelar acara makan bersama pada hari raya Idul Adha kemarin, komunitas Muslim menyewa tempat di Asian Alaska Cultural Center, dimana mereka menyajikan aneka ragam makanan mulai dari nasi yang aromanya harum sampai sayur kuah daging kambing.

Melihat kondisi ini, seorang warga Muslim dan pemilik Juba Halal Market di Anchorage Umal Samatar mengatakan, sudah saatnya komunitas Muslim memiliki “rumah” yang permanen. “Sebuah masjid akan membuat masyarakat Muslim di sini merasa seperti di rumah sendiri. Tempat mereka berkumpul dan bercengkerama,” ujarnya.

Menurut Lamin Jobarteh–salah seorang pemuka Muslim dan gigih memperjuangkan pembangunan masjid di Anchorage–masyarakat Alaska cukup toleran dan terbuka menerima kehadiran komunitas Muslim. Ketika kontroversi rencana pembangunan masjid di Ground Zero memanas, banyak warga Alaska yang menelpon ke Pusat Komunitas Muslim dan meninggalkan pesan bahwa mereka tetap mendukung rencana pembangunan masjid di Anchorage, masjid pertama di Alaska. Aparat kepolisian Anchorage juga selalu memastikan bahwa tidak ada gangguan terhadap rencana pembangunan masjid di kota itu.

Sikap Anti-Masjid

Komunitas Muslim di Anchorage selayaknya bahagia karena tidak ada oposisi terhadap rencana pembangunan masjid mereka, karena di banyak tempat di AS, rencana pembangunan masjid terkendala akibat penolakan masyarakat setempat.

Heather L. Weaver, pengacara yang aktif dalam Program Kebebasan Beragama dan Keyakinan lembaga advokasi masyarakat sipil AS, ACLU mengungkapkan, dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini terjadi lebih dari 50 kasus anti-masjid di seluruh AS. Dari Washington sampai Florida, tempat-tempat ibadah umat Islam menjadi target tindakan vandalisme, serangan bom molotov dan menerima banyak ancaman.

“Harus diakui bahwa para pemuka Muslim mengkhawatirkan serangan-serangan seperti ini,” kata Weaver.

Selain itu, juga ada upaya untuk mencegah atau menolak permohonan izin pembangunan masjid dan komunitas center komunitas Muslim Kasus ini misalnya terjadi di Mayfiel. Kelompok yang menentang pembangunan masjid komunitas Muslim Somalia memasang sebuah papan reklame penolakan sehingga bisa dibaca oleh warga setempat.

Dampak lain dari maraknya penolakan terhadap pembangunan masjid dengan cara penyerangan, ancaman dan vandalisme, membuat komunitas Muslim enggan untuk lebih banyak melibatkan diri ke tengah masyarakat..

Maka beruntunglah komunitas Muslim Anchorage yang justru mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitar untuk melanjutkan rencana pembangunan masjid mereka. Panitia pembangunan bahkan sudah membuat video untuk menggalang pengumpulan dana berjudul “Rumah di Surga”. (ln/Mm)