Mengaku Muslim, Tetapi Belum Di Khitan

champaKet.Foto : Bersama Tuk Hakim panggilan untuk tetua kampung orang yang berhak menikahkan pasangan yang akan melangsungkan perkawinan di kampung yang sama di provinsi Phang Rang Vietnam sebelah kiri saya adalah Imam Masjid bernama Haji Yahya melaksanakan syariat Islam, di sebelah kanan adalah Tuk Hakim dari Suku Champa Bani Imam masjid yang hanya shalat jumat saja itu pun hanya dua kali sebulan dan jamaah tak perlu shalat di wakilkan 19 Imam yang diangkat, kedua mereka ini adalah abang beradik kandung.

Hampir tiga pekan lamanya saya dalam perjalanan ke negara – negara tetangga Asean yaitu pada Ahad 22 Nopember 2009 lalu  dari Batam Indonesia, menuju Singapura, dari Singapura melalui Malaysia menjuju Thailand dan berqurban di satu provinsi paling utara disana yaitu provinsi Chiang Rai.

Pada Sabtunya  (5/12)  dengan mini bus dari Phnom Penh saya menuju ke satu provinsi Rattanakiri namanya salah satu provinsi paling utara di Kamboja yang berbatasan langsung dengan Vietnam.

Hampir dua belas jam perjalanan, berangkat pukul 6 pagi tiba di sana menjelang magrib, tak sulit mencari rumah kediamana orang orang suku Champa, dengan memberikan telepon genggam kepada supir bus mini (ven orang disana menyebutnya), tiba di rumah seorang kepala suku champa (orang yang dituakan) Tuk Hakim, panggilan kepada kepala suku champa di situ, dirumah nya malam itu saya menginap.

Di situ pula telah menaunggu ustaz Abdullah pria (32) asal provinsi kampong Champa, dengan dua orang teman nya sebaya dan sesama dai yang di tempat kan di beberapa kampung suku suku bukit masih satu klan dengan suku champa. Di Kamboja ada 36 provinsi.

Banyak hal yang kami bicarakan malam itu diantara nya jalan ke provinsi itu baru saja dapat dilalui dengan bus satu hari seperti sekarang ini. “Sebelum nya untuk mencapai ke mari diperlukan minimal 5 hari perjalanan ” ujar ustaz Abdullah, Tok Hakim tersenyum senyum mendengar nya karena beliau kurang faham bahasa melayu.

Sebagaimana di rencanakan pagi  Ahad (6/12) kami akan kembali ke Phnom Penh -Ibukota negara Kamboja, dengan menyewa taxi sebesar 120 US $, sebelum kembali ke Ibukota Negara yang sekarang sedang bertelakah dengan Thailand ini Duta besar masing masing sudah tidak ada di tempat jadi suasana memang agak memanas.

Kami akan mengunjungi tiga buah kampung, bersama ustaz Abdullah, ustaz muda yang baru berusia 32 tahun ini tinggal di kampung yang sangat terpencil Kampung Song Kat namanya, dari wilayah Rattanakiri dengan taxi yang kami sewa tadi jauh perjalanan di tempuh selama satu jam, arah ke timur dekat perbatasan dengan Vietnam

Ada tiga buah masjid di tiga buah kampung yang berlainan, masjid masjid tersebut sama persis bentuk dan ukuran dan warnanya, karena memang di bangun oleh hartawan dari Kuwait, di ketiga kampung berjarak puluhan kilo meter itu juga di tempat kan dai dai muda oleh Muhammadiyah Internasional, mereka berbaur dan tinggal dengan penduduk asli kampung tersebut.

Di Kamboja terdapat lebih satu juta penduduk muslim dari keturuan Champa, banyak diantara mereka yang hanya mengaku beragama Islam, terutama di daeah utara tadi, dan di beberapa provinsi lainnya, dan yang paling banyak muslim nya berada di provinsi Champa, kalau kita naik bus dari Phnom Penh kurang lebih tiga jam perjalalan.

“Di provinsi Rattanakiri ini hampir semua muslim adalah muhajirin” jelas ustaz Abdullah, maksud nya orang champa yang merantau datang ke kesitu baru sekitar 5 tahun lalu, “Dulu jalan yang kita lalui ini adalah jalanan gajah, oleh penduduk vietnam dan kamboja, karena mereka memang bersaudara” tambah ustaz Abdullah lagi. Dan memang bahasa di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam itu sama belaka.

Jalanan Gajah itu kini sudah mulus, kami masuk ke vietnam dari kamboja, hanya berjalan kaki, tanpa pemeriksaan imigrasi, meskipun disitu terdapat petugas imigrasi dan bea cukai, dia hanya melihat muka dan tentunya ada seorang warga masing masing negara yang menjaminnya, karena muka orang indonesia sama dengan vietnam dan kamboja.

Mereka tak mencurigakan petugas yang berada di border (perbatasan) melihat saya dan membiarkan kami berlalu dari Kamboja ke Vietnam. Padahal sebelum nya Jumat (5/12) dari Chou Doc Vietnam saya masuk ke Phnom Penh dengan ferry harus membayar sebesar 25 US $ sekali masuk meskipun sesama negara asean warga negara indonesia di kenakan visa kunjungan.

Jalanan gajah, tak terbayangkan dulu kawasan itu memang banyak gajah, dan memang terlihat di sepanjang perjalanan pohon bambu memenuhi hutan di kawasan itu, dan hingga sekarang pun hasil hutan dan pertanian lainnya dari provinsi paling utara kamboja yang juga berbatasan dengan negara Laos itu tersedot ke Vietnam , “seluruh sepanjang jalan ini di bangun oleh kerajaan Vietnam” jelas ustaz Abdullah yang dulu pernah belajar di Sei Golok Malaysia itu sehingga dengan fasih dia dapat berbahasa melayu logat Kelantan tentunya.

Islam di Phnom Penh, hampir memenuhi di sepanjang pantai sei Mekong, salah satu sungai terpanjang di dunia itu melalui beberapa negara, sampai ke Kamboja, di sepanjang tepi sungai yang kami lalui banyak terdapat masjid masjid, tetapi sama dengan keberadaan muslim di Vietnam di Kamboja pun ratusan ribu muslim yang mengaku muslim belum dapat sembahyang.

Mereka terkadang untuk mengucapkan syahadat saja pun mereka susah, terlebih ada sebuah kaum yang menyebut kaum nya adalah Islam Sejati semacam Islam Bani kalau di Vietnam , yang seluruh pengikut nya tak perlu sembahyang cukup di wakil kan kepada Imam nya saja, dan para Imam itu pun tak sembahyang (shalat) lima kali sehari semalam, tak berpuasa sebagai mana lazimnya , mereka cukup sebulan dua kali saja.

Di Kamboja terdapat dua mufti Islam , satunya ya itu tadi mufti bagi orang orang suku Champa yang mengaku Islam tetapi tidak shalat. “Tetapi mereka pun tak nak bertukar agama dengan agama yang lain” jelas ustaz Abdullah lagi di sepanjang perjalanan kami menuju Phnom Penh. Karena ada beberapa rumah Ibadah agama non Islam yang terdapat juga di sepanjang perjalanan. Dan yang lebih menarik lagi persis di samping masjid yang sudah di bangun oleh hartawan dari Kuwait tadi , pun berdiri juga rumah ibadah non Islam.

Mereka belum di Khitan

“Mereka masih memelihara babi” ujar ustaz Abdullah lagi, ustaz yang baru di karunia anak satu ini, juga bercerita tak satu pun dari mereka yang berkhitan, hal itu saya tanyakan langsung kepada beberapa penduduk yang berada disitu. Ternyata memang seluruh mereka yang berjumlah ribuan itu belum pun di khitan.

Khitan menanda kan seorang muslim bukan saja tak dilaksanakan di Kambjoa tetapi di Vietnam pun puluhan ribu orang yang mengaku muslim dari suku Champa belum di khitan, dengan tersipu malu malu tuk hakim sebutan untuk ketua orang orang dari suku champa itu ada juga yang belum di khitan.

“Disina tak satu pun ada dokter yang muslim” ujar ustaz Abdullah lagi, itulah salah satu permintaan beliau seandainya ada universitas kedokteran yang mau menerima dan menanggung bea siswa bagi pelajar dari Komboja utuk belajar di Indonesia. “Apakah Muhammadiyah mau menampung pak ” pinta ustaz Abdullah lagi, karena sebagai mana di ketahui oleh ustaz yang berjuang dan berdakwa di daerah terpencil dengan kehidupan seadanya itu tahu kalau Ormas seperti Muhammadiyah banyak memeliki Universitas.

Ustaz Abdullah tahu kalau saya dari Muhammadiyah Batam tetapi dia tak tahu kalau saya adalah anggota biasa saja, yang tak punya akses ke perguruan Muhammadiyah apalagi yang menyangkut bea siswa, tetapi sungguh terharu, melihat anak anak dan keluarga dari suku Champa (chere mereka menyebut nya satu dari bagian dari suku Champa) ini yang tetap mengaku muslim selama hampir 400 tahun kerajaan Champa “hilang” dari muka bumi ini, terdampar di berbagai negara, tinggal di pelosok pelosok di bukit bukit dipinggir pinggir laut di di tepi pantai, nyaris tak terpantau saudara saudara mereka sesama Muslim.

Malam itu menjelang Isya kami sampai di Provinsi Kampong Champa, kerumah ustaz Abdullah dibesarkan oleh orang tuanya yang telah berpulang kerahmatullah sejak ia berusia 12 tahun, rumah kayu berpanggung hampir setinggi 4 meter itu terlihat kusam. Ustaz Abdullah adalah bungsu dari 5 bersaudara, dari satu pondok ke pondok lain dari satu madrasah ke madrasa lain dia belajar agam Islam, tak hanya di Kamboja saja di belajar jauh sampai ke Thailand Selatan di Sei Golok dan juga ke Malaysia.

Malam itu pun kami di jamu makan oleh tetangga ustaz Abdullah, yang kebetulan seorang putra dari sang empunya rumah itu dan 4 orang temann ya akan belajar di Indonesia mendapat bea siswa dari Mahad Said bin Zahid Batam yang terletak di Batu Aji di Komplek Perguruan Muhammadiyah Asean yang baru akhir tahun ini dibuka dan menerima pelajar pelajar khusus ditujukan kepada pelajar dari negara tetangga asean diberikan bea siswa.

Dan memang perjalanan saya kali ini ke beberapa negara tetangga salah satu nya memberitahukan keberadaan Mahad Said bin Zahid di maksud.Dan sengaja pula kedatangan saya ke Provinsi Kampong Champa itu hendak melihat calon pelajar mahad dan bertemu dengan keluarga mereka.

Wassalam

Imbalo Iman Sakti