Sa’ad Laws: Pengalaman Haji Malcolm X Mengantarnya pada Islam

malcolm xIa memilih nama Islam “Sa’ad” ketika memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Terlahir dari keluarga Kristen–ayah Katolik asal Irlandia dan ibu seorang penganut Metodis–ia mengaku keluarganya bukan tergolong penganut agama yang taat. Pergi ke gereja pun hanya jika ada acara-acara khusus. Tak heran jika agama menjadi sesuatu yang asing baginya.

Meski demikian, Sa’ad Laws, dua saudara perempuan dan seorang saudara lelakinya serta kedua orang tuanya hidup rukun. Keluarga kelas menengah itu tinggal di kawasan terpencil di AS bernama Hamlet. Ketika kecil, saat melihat patung Yesus, Sa’ad selalu bertanya-tanya mengapa ia harus berdoa pada orang “nomor dua” dan tidak langsung pada “nomor satu” yaitu Tuhan. Seperti kebanyakan penganut Kristen lainnya yang bingung dengan konsep Trinitas, begitu pula Sa’ad.

Rasa ingin tahu Sa’ad pada Islam berawal ketika ia membaca buku autobiografi Malcom X. Ia membaca buku itu ketika masih duduk di kelas 11–setingkat sekolah menengah atas. “Orang bilang ia adalah pemimpin anti-kulit putih. Tapi semakin saya membaca buku itu, saya ingin terus membaca halaman demi halaman. Kisahnya sangat mengagumkan. Dari bukan siapa-siapa, ia bisa menjadi sosok yang penting,” ujar Sa’ad.

Bagian dari buku itu yang paling mempengaruhi perasaan Sa’ad adalah bab yang berjudul “Mecca”. Dalam bab tersebut, Malcolm X mengisahkan pengalamannya saat menunaikan ibadah haji. Malcolm menulis, kemurahan hati dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin selama ia di tanah suci dan oleh Islam itu sendiri, begitu merasuk ke jiwanya.

“Ketika membaca bab itu dan menemukan kata ‘Muslimin’, saya bertanya dalam hati ‘siapa orang-orang ini?’. Lalu saya pergi ke perpustakaan sekolah dan mulai mencari setiap buku–sebisa saya–yang menyebut soal Islam di dalamnya dan saya sangat takjub dengan apa yang saya baca,” ungkap Sa’ad.

“Di buku-buku itu saya menemukan sebuah konsep keyakinan yang sepaham dengan apa yang saya yakini dalam hati. Buku-buku itu menyebutkan bahwa agama Islam meyakini bahwa Tuhan itu satu dan bahwa Yesus bukan anak Tuhan tapi semata-mata hanya utusan Tuhan, seorang nabi,” sambungnya.

Sa’ad mulai merenungkan apa yang telah dibacanya tentang Islam. Ia mulai berpikir bahwa agama Islamlah yang ia butuhkan dan ia harus menjadi bagian dari agama itu. Lebih jauh, Sa’ad merasa sudah menjadi seorang muslim dan jika saat itu ada orang yang bertanya apa agamanya, maka ia akan mengatakan bahwa agamanya Islam.

“Secara resmi saya belum mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi dalam jiwa saya, saya merasa sebagai muslim. Agak sedikit naif, karena saya tahu bahwa seorang muslim berkewajiban salat, meski saat itu saya belum tahu bagaimana melaksanakan salat, berapa kali dalam sehari dan sebagainya. Saya belum banyak tahu dan saya tidak menemukan orang untuk belajar,” tutur Sa’ad.

Tapi saat selalu dengan bangga mengatakan di hadapan teman-temannya “Hei, aku seorang muslim, selamanya.” Hal itu mengganggu teman-temannya. Mereka mengatakan pada Sa’ad bahwa dirinya bukan muslim karena seorang muslim harus bisa salat. Sejak itu, Sa’ad mulai resah. Ia betul-betul ingin belajar tentang Islam, tapi dimana? Bahkan masjid pun tak ada di lingkungannya.

Sa’ad mulai melakukan pencarian lewat buku telepon dan menemukan nomor telepon sebuah masjid di Washington D.C. yang jika ditempuh dari tempat tinggalnya membutuhkan waktu lebih dari dua setengah jam. Namun Sa’ad tetap menghubungi masjid itu. Ia sangat gugup karena itulah pertama kalinya ia bicara dengan seorang Muslim.

“Mereka sangat senang mendengar antusiasme saya terhadap Islam dan keinginan saya untuk menjadi seroang muslim. Tapi mereka meminta saya datang ke masjid, dan itu artinya bisa menimbulkan masalah buat saya,” ungkap Sa’ad.

“Saya masih di SMU dan masih bergantung pada orang tua, mereka juga mengawasi keberadaan saya terutama sejak saya sudah bisa mengendarai mobil milik keluarga. Peluang saya membawa mobil itu untuk pergi ke D.C sangat tipis. Saya jadi bingung. Kalau saya tidak menjumpai mereka yang muslim, bagaimana saya bisa menjadi seorang muslim?” pikir Sa’ad saat itu.

Ia mencoba meminta kedua orang tuanya mengantarnya ke D.C. tapi mereka menolak. Tekad Sa’ad itu sudah bulat untuk menjadi seorang muslim. Ia tidak bisa berdiam diri dan harus melakukan sesuatu. Sa’ad akhirnya menelpon masjid itu lagi dan meyakinkan seorang lelaki yang menerima teleponnya bahwa ia ingin menjadi seorang muslim dan minta diperbolehkan bersyahadat lewat telepon.

Akhirnya, pada suatu malam, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Jika melihat proses yang dilaluinya untuk menjadi seorang muslim, Sa’ad mengaku sangat bersyukur Allah Swt telah membimbingnya untuk memeluk Islam.

“Saya menyadari bahwa apa yang telah saya alami adalah kehendak Allah dan Dia sendirilah yang telah menunjukkan jalan pada saya. Menjadi seorang muslim adalah karunia terbesar dalam hidup saya,” tandas Sa’ad Laws. (ln/IfT)