Distribusi Kekayaan Ke Desa Melalui Mudik

Setiap tahun terus meningkat jumlah orang yang mudik alias pulang kampung. Lebih dari 20 juta orang yang mudik setiap tahunnnya, saat menjelang Lebaran alias Idul Fitri. Dari Jakarta saja, jumlah orang yang mudik diperkirakan mencapai 8 juta orang.

Belum lagi dari pusat-pusat kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Bali ke kampung halaman mereka, jumlahnya bisa  lebih besar lagi. Bahkan, mereka yang berada di luar negeri pun, setiap setahun sekali mereka perlukan untuk pulang kampung  atau ke desa mereka.

Setiap tahun terus terjadi pola migrasi (perpindahan) penduduk desa ke pusat-pusat kota, yang menjadi pusat ekonomi. Orang desa harus terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka pergi ke kota-kota mencari matapencaharian alias rezeki.

Di desa lapangan kerja semakin menyempit. Mereka mencari pekerjaan di kota-kota. Mereka mengumpulkan uang dan rezeki, yang akan menghidupi diri mereka, dan kemudian sebagian mereka sisihkan bagi keluarga mereka di kampung halaman.

Inilah sebuah mekanisme yang alamiah terjadinya distribusi uang, asset, kekayaan, rezeki ke penduduk desa, yang tidak diatur sama sekali oleh pemerintah. Berapa banyak kalau dipukul rata, misalnya setiap orang yang mudik membawa uang Rp 500.000 – Rp 2 juta rupiah? Jumlahnya bisa mencapai puluhan triliun.

Setiap tahun terjadi distribusi uang, asset, kekayaan, rezeki kepada penduduk desa, tanpa melalui SK Presiden, Instruksi Presiden, Kebijakan Pemerintah, dan Undang-Undang. Semua uang  dalam jumlah yang tidak kecil mengalir ke desa-desa.

Pola pulang mudik alias pulang kampung ini, mempunyai dampak ekonomi, yang secara tetap mengakibatkan terjadinya proses transformasi sosial, secara besar-besaran. Interaksi dan dinamika orang-orang desa yang melakukan migrasi ke pusat-pusat kota itu, mempunyai efek langsung, secara ekonomi, budaya dan agama.

Interaksi orang-orang desa yang sudah melakukan migrasi ke pusat-pusat kota mempunyai pengalaman yang berbeda, dan pasti menularkan pengalaman mereka kepada sanak-famili mereka di kampung  alias desa.

Tidak sedikit mereka yang awalnya hanya terfokus ingin membantu keluarga, sanak famili, dan handai taulannya, kemudian berubah ingin membantu kampung halaman mereka menjadi lebih maju. Karena itu, di pusat-pusat kota muncul organisasi ke daerahan, yang tujuannya bukan hanya menjaga ikatan emosional kedaerahan, tetapi mereka juga mempunyai komitment memperbaiki kehidupan daerah mereka yang masih miskin.

Pola mudik alias pulang kampung itu,  tak begitu saja terjadi, tetapi mempunyai akar sejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam. Akar kehidupan yang bersumber dari ajaran agama Islam itulah, yang kemudian mempunyai pengaruh langsung bagi bangsa Indonesia.

Di Indonesia ikatan yang sangat emosional antara anak dengan orang tua masih sangat kuat. Antara anak dengan ibu dan bapak, tak pernah luntur, dan semakin kokoh. Dari tahun ke tahun ikatan itu semakin nampak, dan tak lekang dengan kehidupan modern. Semuanya itu berawal dari ajaran Islam yang dikenal dengan,  "Birrulwaladain" (berbakti kepada dua orang tua) dan keinginan menjaga "Silaturrahmi" diantara keluarga.

Seorang anak yang merantau ke luar kampung halaman mereka menuju pusat-pusat kota dengan segala pengorbanan, tak lain tujuannya hanya ingin membuat kedua orang tua mereka menjadi bahagia. Mereka ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, dan menjaga ikatan silaturrahmi diantara keluarga.

Tak heran setiap tahun orang-orang yang mudik alias pulang kampung, semakin tidak rasional, jika diukur dengan nalar. Karena mereka dengan penuh pengorbanan, dan terasa sangat nekat,  karena hanya  ingin bisa kembali ke kampung halaman mereka, bertemu dengan ibu dan bapak serta sanak famili, yang sudah mereka tinggalkan.

Mereka menggunakan sarana apa saja. Mobil, kapal laut, pasawat, bajaj,  sampai menggunakan kenderaan bermotor, dan berboncengan dengan isteri dan anak, sekadar ingin kembali ke kampung halaman mereka.

Bahkan, beberapa orang yang tinggal jauh dari pusat kota Jakarta, yaitu Banyuwangi. Mereka pulang ke kampung halamannya ke Banyuwangi dengang menggunakan sepeda motor. Ini sangat tidak bisa dinalar. Panjang jakarta – Banyuwangi berjarak 1.200 kilometer. Tetapi, mereka rela menempuh jarak yang sangat panjang, agar bisa bertemu dengan orang tua, dan sanak famili.

Pola mudik alias pulang kampung, yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu "Birrulwaladain" dan "Silaturrahmi" ini, dalam jangka panjang akan mempunyai nilai positip, menuju sebuah perubahan atau transformasi sosial, dan akan semakin mendekatnya pola hubungan masyarakat antara satu daerah dengan daerahnya lainnya, dan antara kota dan desa.

Ibadah  Shaum Ramadhan selama sebulan bukan hanya bertujuan menjadikan orang-orang mukmin menjadi hamba yang muttaqin, tetapi mempunyai multi efek yang sangat luas, dan tanpa melalui rekayasa sosial dan kebijakan pemerintah, secara alamiah terjadi distribusi uang, asset, kekayaan, dan rezeki kepada keluarga di kampung alias desa.

Tentu, diatas segalanya itu, yang paling penting semakin kuatnya integrasi sosial (ikatan sosial) bangsa Indonesia, yang dilandasi nilai-nilai Islam, melalui puasa di bulan Ramadhan, Idul Fitri, Zakat, dan dilanjutkan dengan "Birrulwalidain" dan "Silatarruhmi".

Kemudian, terciptalah masyarakat Muslim yang berasas "ta’awanu alal birri wat taqwa", yang mendapatkan ridha dari Allah Rabbul Alamin. Wallahu’alam.