Maju Untuk Kalah

Eramuslim.com – Politik adalah cara meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan cara apa pun. Tujuan menghalalkan segala cara. Tokoh paling jujur sepanjang sejarah tentang fakta politik adalah Niccollo Machiaveli dengan karyanya yang termasyhur, Sang Pangeran. Politikus adalah orang yang bermain politik. Namun biasanya, para politikus tidak mau mengakui jika mereka penganut Machiaveli. Biar saja, berbohong pun memang menjadi halal saat kekuasaan bisa diraih dengan jalan itu.

Indonesia saat sekarang merupakan potret yang bagus untuk melihat kenyataan ini. Di permukaan, para politikus yang masing-masing mengendarai partai politik sebagai kendaraan meraih kekuasaannya, saling hujat, saling bertengkar, dan mempertahankan pandangannya yang dibungkus dengan istilah-istilah mulia seperti “Demi rakyat”, “Demi keadilan”, “Demi kesejahteraan orang banyak”, dan kebohongan-kebohongan lainnya.

Di permukaan mereka bagaikan kucing dan anjing. Tapi di sudut-sudut gelap yang jarang diketahui publik, mereka saling berpelukan, berangkulan, tertawa bersama, dan saling berbagi proyek dan proyek dan proyek. Rakyat banyak tidak tahu itu.

buihDemokrasi menjadi mantra sihir paling ajaib: Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Padahal, Bullshit! Sepanjang sejarah tidak ada yang namanya demokrasi. Plato, yang digadang-gadang Yahudi sebagai Bapak Demokrasi pun tidak pernah menerapkan demokrasi. Dia sangat feodal dan memelihara tak kurang dari 40 budak. Athena sebagai kotanya Plato pun tidak pernah menerapkan demokrasi. Pun demikian dengan Revolusi Perancis dengan slogan “Liberte, Egalite, Fraternite”! Bullshit semua. Yang terjadi adalah pergerakannya kaum borjuis dan pemilik modal dalam menghancurkan sistem monarki. Baca buku “Sosialisme Indonesia” karangan Roeslan Abdulgani yang terbit tahun 1960-an jika ingin belajar soal ini.

Sepanjang sejarah, demokrasi adalah mantra sihir, pengelabuan, terhadap OLIGARKI. Yang keluar dari mulut mereka, dari media-media propaganda mereka, adalah demokrasi, tapi yang sesungguhnya berjalan adalah oligarki. Oligarki adalah sistem di mana suatu negeri dikuasai segelintir orang-orang kaya, termasuk polisi, tentara, dan para penegak hukumnya. Mereka menipu rakyat dengan mengatakan jika sistem yang tengah berlaku adalah demokrasi. Rakyat sengaja dibiarkan menjadi bodoh dengan menjadikan sekolah hanya sebagai mesin pencetak robot yang siap masuk pabrik, kantor, dan sistem pemerintahan yang korup. Hanya mereka yang keluar dari sistem yang menjadi tercerahkan. Dan mereka yang kritis dan lurus namun masuk ke dalam sistem, kemungkinan besar akan frustasi melihat kenyataan yang ada di sekitarnya.

Salah satu ciri oligarki bisa dilihat dari praktek hukum: Runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Maling sendal bisa dipenjara bertahun-tahun, tapi malingnya uang rakyat bisa bebas bergentayangan.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti itukah? YA!

Bagaimana dengan kekuatan politik Islam di Indonesia sekarang? Jawab sendiri saja, lalu baca baik-baik hadits Rasul SAW tentang hari akhir di mana umat Islam saat itu hanya mampu bangga terhadap jumlahnya tapi tidak berdaya diombang-ambingkan musuh-musuhnya.

Lantas bagaimana dengan kekuatan partai politik Islam yang cukup besar? Atau partai politik berbasis massa Islam? Bukankah di negeri mayoritas Islam tentunya partai politik Islam akan keluar sebagai pemenang? Belum tentu. Orang ber KTP Islam belum tentu patuh pada al-Qur’an, bahkan diancam Allah Swt dengan ancaman kafir pun, murtad alias keluar dari Islam, mereka yang jahiliyah ini tetap saja mendukung orang-orang yang anti tauhid. Bahkan najisnya, sampai menggelar doa bersama agar orang di luar Islam bisa berkuasa. Mereka telah menjual akidah, agamanya, demi dunia dengan harga teramat murah! Dikiranya mereka hidup abadi, mungkin.

Kekuatan politik Islam jika direpresentasikan dengan adanya partai-partai “Islam” tentu tidak relevan. Ada kesenjangan yang cukup lebar antara para ulama, mubaligh, dan kaum Muslimin dengan politikus-politikus “Islam”. Ingat, mereka politikus! Baca tulisan di awal artikel ini agar lebih memahami siapa politikus itu. Dan mudah-mudahan, mudah-mudahan, mudah-mudahan, politikus yang mengaji tidak sama seperti orang-orang komunis yang menghalalkan segala cara. Kalau sama saja, lantas buat apa anda mengaku Islam?

Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, suara umat Islam lagi-lagi berhasil dipecah oleh musuh-musuh Allah. Caranya tentu tidak langsung, tapi sangat halus. Tokoh cerdas, berani, dan bersih, yang digadang-gadang dan direkomendasikan para ulama Jakarta, para mubaligh, para tokoh agama non-partisan, sama sekali tidak dilirik. Yang dinaikkan malah orang-orang yang secara elektabilitas meragukan, yang kemungkinan besar akan kalah melawan petahana yang dibelakangnya didukung kuat oleh para cukong, taipan, kubu non-Muslim, dan kaum oportunis-pragmatis.

Bisa jadi anggapan banyak orang jika para pemimpin partai ini sudah “kemasukan angin”, diguyur kenikmatan-kenikmatan yang diberikan para cukong, adalah benar adanya. Bisa jadi. Atau jika tidak, mereka diancam akan dibuka kasus-kasus atau aib-aibnya ke depan publik, jika berani menolak keinginan cukong-cukong ini, seperti halnya nyonya besar yang akhirnya tunduk kemarin itu. Maka jadilah, yang tidak mendukung petahana tetap boleh asalkan mengajukan pasangan calon yang lemah dan secara hitung-hitungan matematis tidak bakal menang lawan petahana. Istilahnya: Maju untuk kalah.

Tentu saja, analisa ini akan dibantah habis-habisan dan ditolak mentah-mentah. Tapi lihat saja nanti di tahun 2017. Dan mudah-mudahan saja analisa ini memang salah, sehingga tahun depan Jakarta memiliki Gubernur Muslim yang mencintai rakyat kecil, bukan penguasa selama ini yang lebih mencintai cukong dan menindas wong cilik. Mari kita berjuang! (RD)