Mengapa Perlu Koalisi?

Sekarang, idiom kata yang paling banyak dibicarakan adalah koalisi. Artinya, di dalam sistem politik parlementer, di mana pemerintahan merupakan gabungan partai-partai politik. Partai-partai bekerjsama membentuk pemerintahan, yang disertai dasar-dasar kerjasama yang jelas. Berdasarkan kaidah-kaidah politik. Biasanya, kaidah-kaidah yang menjadi landasan kerjasama adalah lebih banyak kepentingan. Bukan nilai-nilai yang sifatnya universal. Ideologi atau agama.

Maka, belakangan ini banyak yang berbicara tidak perlu lagi ideologi, apalagi agama, yang menjadi kaidah-kaidah dasar dalam membangun kerjasama. Koalisi, hanya semata-mata didasarkan atas kepentingan, yang dibungkus dengan platform atau program. Ideologi tidak lagi menjadi parameter, berkaitan dalam koalisi. Jika, pernah ada wacana ‘The end of ideology’, sekarang ini momentumnya, dan mendapatkan bentuk yang faktual. Partai-partai yang berlain-lainan ideologi, karakter, latarbelakang, kultur, dan sejarah, bisa melakukan koalisi. Karena, tujuannya hanya kepentingan kekuasaan. Tidak ada yang lain.

Banyak rakyat yang bingung. Melihat pola koalisi yang ada. Partai-partai yang satu sama lainnya berlain-lainan ideologi, karakter, latarbelakang, kultur, dan sejarah bisa berkoalisi, dan bekerjasama. Partai yang secara ideologi berbeda sangat diametral dengan partai lainnya bisa berkoalisi. Partai yang mengaku Islamis bisa berkoalisi dengan partai yang berideologi nasionalis. Partai yang sangat Islamis dapat berkoalisi dengan partai Kristen (Katolik). Partai yang berbasis pengikutnya Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Ini terbukti dengan berbagai pilkada yang berlangsung di seluruh wilayah republik Indonesia. Tidak ada lagi sekat ideologi yang ketat. Partai yang nasionalis, yang sekuler, yang Islam, yang Kristen (Katolik), di manapun dapat melakukan koalisi secara bebas. Tak perlu risih.

Fenomena ini hanya menggambarkan batas ideologi sudah berakhir. Faktanya betul apa yang disebut, ‘The end of ideology’, dalam kaitannya dengan pola koalisi yang ada di Indonesia. Ideologi tidak lagi menjadi dasar pertimbangan. Karena, masing-masing yang dituju adalah semata-mata kekuasaan. Maka, ideologi, tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Karena itu, pragamatisme politik, sebuah keniscayaan. Wapres Yusuf Kalla, masih di bulan ramadhan, dalam acara silaturrahim, yang digagas oleh Republika, yang membicarakan antara nasionalisme dan Islam, secara tegas sudah tidak ada lagi dikotomi ideologi di Indonesia. Yusuf Kalla memberikan contoh, seperti, PKS yang berasas Islam, di Palembang berkoalisi dengan PDIP, dan di Makassar berkoalisi dengan Golkar, ujar Wapres Yusuf Kalla. “Kerjasama politik PKS dengan PDIP dan Golkar itu, menggambarkan pragmatis politik”, ujar Kalla.

Benarkah, politik aliran hanya berlangsung di tahun ’50 an, di mana partai dipilah menjadi tiga aliran ideologi, yaitu golongan partai yang mewakili Islam (Masyumi), golongan partai yang mewakili nasionalis (PNI), dan aliran golongan parti yang mewakili anti agama (athies) PKI. Polarisasi aliran ideologi itu, sangat nampak dalam pemilu 1955, di mana partai-partai yang muncul, dan mendapatkan dukungan rakyat, seperti Masyumi, PNI, dan PKI. Inilah arus utama (mainstreams) ideologi partai-partai, yang muncul di pemilu tahun 1955. Polarisasi ini lebih tergambar lagi, ketika menentukan pilihan ideologi, yang diperjuangkan di parlemen (konstituante) oleh partai-partai yang ada. Masyumi dengan partai-partai Islam lainnya, berusaha menjadi Islam sebagai dasar negara, sedangkan partai-partai nasionalis dan sekuler, seperti PNI, PKI, dan lainnya memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.

Sejak peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto, tidak ada lagi perdebatan atau pembahasan tentang ideologi. Soal ideologi sudah selesai. Membicarakan soal ideologi adalah haram. Pancasila menjadi ideologi tunggal. Tidak boleh ada ideologi lain, yang dibolehkan eksis, dan bahkan nyaris Pancasila menjadi agama. Seluruh potensi bangsa hanya diarahkan kepada tujuan pembangunan. Maka, sangat terkenal pernyataan dari almarhum Nurchalis Madjid, yang menyatakan : “Islam Yes. Partai Islam No”. Pernyataan itu dikemukakan diawal Orde Baru, yang memberikan dasar legitimasi pemerintah, yang ingin menciptakan kondisi yang stabil, tanpa ada lagi konflik ideologi.

Tujuan Soeharto yang menjadikan Pancasila  sebagai ideologi negara, tak lain, ia ingin mengebiri Islam dan umat Islam. Soeharto yang menjalankan misi dan kepentingan asing (Barat) atas Indonesia, berusaha dengan keras ‘menghabisi’ kekuatan poliltik Islam, yang berbasis ideologi. Soeharto yang sudah menjadi alat dan sekutu Barat, tidak ingin Islam menjadi kekuatan politik, yang dapat menganggu tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan di Indonesia. Maka, sepanjang pemerintahan Soeharto, pengkerdilan terhadap umat Islam terus dijalankan secara konsisten dan sistematis. Pengkerdilan itu, hanya berhasil melalui penelajangan nilai-nilai Islam dari cita-cita politik. Menghilangkan Islam sebagai sebuah cita-cita politik sebagai langkah strategis, yang harus dijalakannya.

Ketika, Soeharto berkuasa hanya membolehkan tiga kekuatan politik, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Golkar adalah partai pemerintah, yang menjadi alat kekuasaan Soeharto, sedangkan PDI menjadi tempat golongan nasionalis,  dan PPP menjadi tempat golongan Islam. Tapi, hanya Golkar yang dapat eksis, sedangkan kedua partai yang mewakili golongan nasionalis dan Islam, dibonsai oleh Soeharto. Mereka tak diberi kesempatan hidup. Golkar yang menjadi mesin politik Soeharto, dan dengan ideologi Pancasila, dan pragmatisme pembangunan, mengarahkan rakyat menjadi sekuler. Terbebas dari nilai-nilai agama. Agama hanya sebuah ritual, yang tak bermakna apa-apa. Inilah mata rantai sekulerisasi yang dahsyat di Idnonesia.

Soeharto jatuh, pendulum tak bergeser ke golongan Islam. Karena, tak mungkin bisa eksis menjadi sebuah kekuatan politik, karena mereka sudah habis ditukangi oleh Soeharto dengan berbagai cara, yang dapat melemahkan golongan Islam. Golongan Islam hanya akan menjadi satelit golongan nasionalis atau golongan sekuler. Tak heran, ketika Soeharto jatuh, dan pemilu pertama di tahun 1998, yang menggantikan Golkar dan Soeharto, adalah PDI(P) yang dipimpin Megawati, yang nasionalis. Ini sudah dipersiapkan sejak awal. Artinya, Barat ingin tetap perubahan kekuasaan itu, tak mungkin akan dimenangkan golongan Islam. Bahkan, ketika Mega yang berkuasa selama tiga tahun, dan gagal yang muncul adalah tokoh seperti SBY, yang pernah mukim di Amerika.

Tokoh-tokoh Islam dan partai Islam, tak ada yang berani mengambil posisi sebagai alternative. Karena, rata-rata tokoh-tokoh Islam dan partai Islam masih mengidap penyakit ‘masa lalu’, yang tak dapat keluar dari bingkai pengaruh ‘Orde Baru’, yang notabene adalah bagian alat Barat, yang bertujuan menghancurkan Islam.

Sepanjang era reformasi, tak ada tokoh-tokoh atau partai Islam, yang secara original (genuine) berani menampilkan gagasan politik, baik yang berkaitan dengan visi, misi, platform dan program, yang bersumber dari Islam. Mereka hanya merupakan ‘copy paste’ dari pengaruh ideologi dan politik Barat, yang ada di Indonesia.

Maka, sekarang mereka semua menyanyikan lagu yang sama tentang ‘koalisi’, yang tak lain adalah refleksi dari kumpulan orang-orang yang sudah kalah sebelum mereka melakukan ‘perang’. Mereka hanya ingin menjadi ‘satelit’ partai-partai besar (Golkar dan PDIP), yang mestinya sudah menjadi bagian masa lalu sejarah Indonesia, seperti halnya Soeharto.

Mereka semua menyanyikan lagu yang sama, yaitu : “Kami baru akan melakukan koalisi setelah pemilu”, ujar para pemimpin partai Islam. Artinya apa? Tak lain, mereka hanya ingin ‘menjaga kepercayaan  para pengikutnya atau kadernya. Agar mereka lebih bersemangat dalam pemilu nanti. Mereka juga menampilkan kadernya menjadi capres (calon presiden), tapi diujungnya masih tetap dibuka dengan kata : “Tetap akan koalisi”. Karena, alasannya yang baku, tak mungkin mengelola negara sendirian.

Mengapa mereka tidak berani dari awal melakukan koalisi dengan jelas. Siapa yang diajak koalisi? Apa tujuan koalisi? Apa langkah-langkah strategis yang akan mereka lakukan bagi rakyat? Semua harus jelas (clear). Kalau sekarang ini ibaratnya konstituen seperti membeli kucing dalam karung. Ibaratnya, umat Islam yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya membela partai Islam, ternyata usai pemilu, kenyataannya hanya digunakan mendukung partai lainnya, yang bisa saja secara ideologis, berbeda dengan kehendak mayoritas konstituens.

Jika sudah tidak ada lagi ideologi yang menjadi sandaran kerjasama, dan hanya program atau platform, yang menjadi alat pengikat bagi sebuah koalisi, lalu apa yang akan menjadi alat untuk mengukur sebuah koalisi, berhasil atau tidak berhasil? Apakah dengan visi, misi, platform, dan program, bisa menjadi alat ukur. Siapa dan apa yang menentukan baik atau buruk, boleh atau tidak, dilarang atau dibolehkan? Siapa dan apa yang menentukan visi itu salah atau benar? Siapa dan apa yang menentukan program dan platform, bermanfaat atau tidak bagi rakyat?

Pemikiran dan pandangan manusia tetap relative dan lemah, dan tidak memiliki otoritas menentukan segala sesuatunya, secara mutlak. Jika, masing-masing orang, tokoh, partai menentukan sendiri-sendiri, yang terjadi tak pernah bisa menciptakan perbaikan. Pimpinan PDIP bisa mengaku benar pandangannya tentang program pembangunan partainya, pimpinan Golkar bisa mengaku benar pandangannya tentang program pembangunan partainya, partai yang lain juga sama, termasuk partai-partai Islam.

Tentu, yang semakin menarik, peristiwa politik belakangan ini, golongan non Islam, mereka semakin berani menegaskan identitas ideologinya, sementara itu golongan Islam, mereka semakin takut menegaskan jatidirinya sebagai golongan Islam. Mereka kadang-kadang lebih sekuler dibanding dari golongan yang sekuler sekalipun. Di tengah-tengah krisis ekonomi global, yang menandakan berakhirnya sistem materialism global, mestinya para pemimpin Islam dan partai-partai Islam berani menyatakan ideologi, pemikiran, dan konsep-konsep Islam, yang dapat menjadi alternative bagi masa depan bangsa. Bukan justru menampakkan sikapnya yang inferior, yang hanya mampu melagukan nyanyian yang sudah ‘fals’ (sumbang), dan mengikuti irama orang lain.

Lihatlah binatang. Mereka berkelompok sesuai dengan jenisnya. Kerbau berkelompok dengan kerbau. Gajah dengan gajah. Harimau dengan harimau. Kambing dengan kambing. Sapi dengan sapi. Tikus dengan tikus. Ular dengan ular. Keledai dengan keledai. Kucing dengan kucing. Tak mungkin disatukan ular dengan kucing. Juga perhatikan, misalnya, minyak tak pernah bisa bercampur dengan air, meski dikocok berulang kali, pasti akan berpisah antara minyak dengan air. Wallahu ‘alam. (mhi)