Ketika Do’a Kiai Tak Lagi Mustajab

Belum pernah terjadi sebelumnya. Di mana berlangsung istighosah di sebuah pondok pesantren yang dipimpin para ulama dan kiai, mendo’akan tim sepak bola Garuda Indonesia agar menang melawan tim sepak bola Malaysia. Tetapi do’a itu tidak mustajab. Allah Azza Wa Jalla tidak menginstijabahi (mengabulkan) do’a para kiai. Tim Garuda Indonesia kalah.

Di Pondok Pesantren As-Shidiqiyah, berlangsung istighosah, di mana tampil Kiai Nur Iskandar SQ, Yusuf Mansur, dan sejumlah kiai dan ulama lainnya, ikut hadhir dalam acara itu. Ribuan santri dan santriwati, melakukan wirid dan do’a bersama para kiai yang dipimpin Kiai Yusuf Mansur. Mereka membacakan do’a agar tim sepakbola Indonesia menang malawan Malaysia. Sebuah pragmen yang tak pernah terjadi sebelumnya, di mana para kiai mendoakan sepakbola. Acara itu disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi.

Akhir-akhir ini sesudah berbagai bencana menimpa bangsa ini, dan peristiwa politik, serta hukum, yang tak habis-habis, berlangsung kompetisi sepak bola yang merebutkan piala AFF, yang diselenggarakan oleh Suzuki. Sepakbola ini dieksploitir sedemikian rupa, melalui semua media, terutama telivisi. Emosi rakyat yang sudah ambruk akibat berbagai peristiwa ini, di aduk-aduk, sampai menggelegak, dan dikaitkan dengan nasionalisme, saat berlangsung final melawan Malaysia. Sangat luar biasa liputan media telivisi dan media cetak terhadap peristiwa sepak bola ini.

Rakyat yang sudah terhimpit oleh berbagai kepenatan hidup dan bencana, berhasil digiring dan dialihkan kepada sepakbola.

Semua elemen bangsa diarahkan untuk memberikan dukungan kepada tim Garuda Indonesia. Presiden SBY, Ibu Ani, para pejabat negara, anggota legislatif, menteri, dan para kepala lembaga tinggi negara, termasuk Ketua MK Mahfud MD, ikut memberikan dukungan tim sepak bola Indonesia. Setidaknya enam menteri yang ikut menyaksikan langsung  pertandingan final di Malaysia.

Para pemimpin partai politik tak ketinggalan. Ada yang menjamu tim Garuda yang akan berlaga melawan Malaysia. Pemimpin partai ada yang memberikan janji bonus uang, yang tak sedikit, kalau Garuda Indonesia mengalahkan Malaysia.

Sebuah peristiwa olah raga yang mendapatkan dukungan berbagai elemen rakyat, mulai dari Presiden, pejabat negara, menteri, anggota legislatif, pemimpin partai, dan kader-kader partai ikut memberikan dukungan yang tak tanggung-tanggung. Ini sebuah peristiwa yang menjadi petutup akhir tahun. Di mana sebuah kegiatan olah raga, sepakbola, yang dieksploitir menjadi sebuah peristiwa yang sarat dengan bobot emosi dan politik.

Perisitiwa final tim sepak bola Garuda Indonesia melawan Malaysia menutup semua peristiwa besar di penghujung akhir tahun. Seperti konflik antara Presiden SBY dengan Sultan, terkait dengan RUU DIY. Peristiwa hukum yang berkait dengan Gayus, dan dikaitkan dengan isu pajak, yang tak terlepas dari politik, yang juga dikaitkan dengan perusahaan keluarga Aburizal Bakrie, dan sejumlah parisitwa hukum lainnya, yang lebih besar, dan tak tersentuh seperti mega skandal Bank Century. Peristiwa perubahan Undang-Undang Politik (UU Politik), yang sampai sekarang tak kunjung selesai. Keretakan partai koalisi di Setgab, yang semakin meruncing. Semuan peristiwa politik itu ditutup dengan peristiwa sepak bola.

Penderitaan rakyat yang sudah sangat menderita akibat bencana alam, yang bertubi-tubi, yang terjadi di mana-mana, sepertki gempa di Padang, tsunami di Mentawai,  Wasior, meletusnya gunung Merapi, gunung Bromo, serta berbagai musibah banjir dan longsor, semuanya ingin dibuat menjadi lupa oleh peristiwa final sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia.

Peristiwa sepak bola yang berlangsung hari-hari ini, terus diarahkan untuk melupakan penderitaan rakyat, akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Termasuk kenaikan BBM, tarif dasar listrik (TDL), dan sejumlah kenaikan lainnya, yang menggencet kehidupan rakyat kecil. Semuanya ingin dipupus dengan permainan sepak bola.

Tetapi, kenyataan Indonesia yang sudah sangat luar biasa ingin menjdikan ‘proyek final’ sepak bola ini, yang dengan prolog bermacam-macam termasuk adanya ‘istghosah’, tak juga dapat menawarkan harapan baru bagi rakyat. Justeru tim Garuda Indonesia yang bermain di Malaysia, semalam dibikin bertekuk lutut oleh tim Malaysia. Harapan itu luruh. Rakyat kembali menjadi putus asa. Sepak bola yang diinginkan menjadi kaktalisator dan absorber bagi penderitaan rakyat gagal. Karena Indonesia kalah.

Ganyang Malaysia hanya menjadi angan-angan kosong. Hanya menjadi ilusi kosong. Tak dapat diwujudkan.

Malaysia menggayang Indonesia. Bukannya  Indonesia yang mengganyang  Malaysia. Mulai  pulau Sipadan-Ligitan diganyang oleh Malaysia, dan kedua pulau itu sekarang menjadi milik negeri jiran. Kebun-kebun kelapa sawit sepanjang pantai timur Sumatera juga sudah menjadi milik para investor Malaysia. Tapal batas antara Indonesia–Malaysia terus bergeser, dan Indonesia tak mampu berbuat terhadap Malaysia, menghadapi negeri yang hanya berpenduduk 17 juta jiw itu.

Para TKI dan TKW Indonesia diperlakukan oleh majikan Malaysia seenaknya, tanpa Indonesia bisa melakukan apapun. Orang-orang Indonesia di Malaysia disebut sebagai ‘Indon’ alias budak. Ini sebutan yang amat hina bagi orang Indonesia. Sangat ironis.

Kalau nanti main di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, belum tentu tim Garuda Indonesia, bisa memenangkan pertandingan. Karena memang tim Indonesia tidak memiliki mental juara. Malaysia tidak banyak publisitas dan gembar-gembor berhasil menekuk lawannya.

Ternyata do’a kiai Nur Iskandar SQ dan Yusuf Mansur , dan para ulama Indonesia tak mustajab. Wallahu’alam.