Natal, Tahun Baru, dan Krisis

Menjelang Desember sudah mulai nampak suasana natal di plaza-plaza. Para pelayan, cassa, bahkan satpam pun, di sebuah plaza, menggunakan pakaian ala santaklaus. Topi dan baju warna merah dan putih. Sebagian plaza juga sudah memasang pohon natal.

Menjelang perayaan natal, ada  plaza menggelar acara perayaan natal, bertemu dengan santaklaus, khususnya  untuk anak-anak. Tentu, asumsinya para pengunjung menjelang natal, tak lain, mereka para pemeluk agama Kristen. Dengan menggunakan pakaian ala santaklaus itu, pemilik plaza ingin menarik pengunjung sebanyak mungkin, yang mengambil moment menjelang perayaan, sehingga pengunjungnya menjadi  ramai.

Di Jakarta, ketika menjelang natal dan tahun baru, seperti tak nampak lagi, simbol-simbol Islam, di plaza, mall, dan tempat keramaian, atau media massa, iklan dan beritanya, hanyalah yang berkaitan dengan perayaan natal dan tahun baru. Bahkan, perayaan Idul Adha, hari raya Haji, tak mendapatkan liputan yang memadai. Seakan Indonesia sudah bukan negeri yang penduduknya sebagian besar adalah muslim. Islam dan umat Islam secara opini, sepertinya tak nampak lagi keberadaannya.

Perubahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Mau tak mau ini mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap kehidupan umat Islam. Maka, sebenarnya setiap tahun, menjelang perayaan natal dan tahun baru, plaza-plaza, mall, media massa, menjadi sarana efektif mempengaruhi, dan mengarahkan masyarakat, yang nota bene mayoritas muslim ini, yang dapat menjurus pelarutan keyakinan, minimal mereka – umat Islam, tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap agamanya (Islam), dan bila berlangsung terus-menerus, tak tertutup kemungkinan mereka dapat menjadi murtad.

Betapapun, yang bekerja di plaza-plaza atau mall, sebagian besar beragama Islam, dan pembelinya, tidak semuanya beragama Kristen, tapi para pekerjanya harus menyesuaikan dengan suasana perayaan natal, yang akan berlangsung di bulan ini. Ini berulang setiap tahun. Kebetulan umat Islam yang bekerja di plaza-plaza dan mall, mereka yang dalam posisi secara ekonomi lemah, dan mereka harus berkerja di plaza-plaza dan mall, dan setiap tahun merek harus menggunakan pakaian ala santaklaus.

Sebaliknya, mereka orang-orang yang kaya atau mampu, mereka sudah terbiasa dengan pola hidup yang konsumtif, dan sudah menjadi ‘habit’ kebiasaan berbelanja ke plaza-plaza, dan mall, yang sekali belanja mereka dapat menghabiskan uang jutaan. Mereka sudah terbiasa dengan menumpuk barang-barang kebutuhan sekunder atau primer. Barang-barang yang hanya menambahkan kenikmatan dan kenyamanan hidup mereka.

Berbeda dengan kalangan bawah yang mereka berbelanja di pasar-pasar yang tradisional, dan hanya membeli kebutuhan pokok (primer). Pola hidup orang kaya kota yang hedonis, dan orientasinya kenikmatan, dan mereka hanya menghabiskan uangnya berbelanja di plaza-plaza dan mall itu, mereka menikmati suasana natal dan tahun baru. Inilah yang terjadi saat ini.

Padahal, krisis yang terjadi secara global, ikut mendera ekonomi Indonesia. Sebuah media cetak yang terbit di Jakarta, memberikan laporan, yang sangat pahit, betapa akibat krisis ekonomi global ini, sudah berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Dalam sebuah laporannya menyebutkan : “Sentra industri bagai kota mati”. Laporan ini menggambarkan betapa pahitnya, akibat krisis ekonomi yang menghantam rakyat Indonesia, terutama mereka yang dalam posisi ekonominya yang lemah.

Mereka langsung terpuruk dan kehilangan pendapatan. Para buruh pabrik di sentra indusrti manufaktur, yang orientasi eksport, yang langsung bangkrut dan banyak yang tutup, dan melakukan PHK, terhadap para buruh mereka. Padahal, menurut para pengamat ekonomi, krisis di Indonesia baru akan mulai, awal Januari 2009. Di awal tahun baru 2009, rakyat akan menghadapi malapetaka baru, yaitu puluhan ribu orang yang akan kehilangan pekerjaan, akibat dampak krisis ekonomi.

Mengapa kita tidak menyadari krisis yang sekarang menghimpit kehidupan kita? Kita masih memanjakan hawa nafsu kita? Kita masih membiasakan berbuat berlebihan ‘isyraf’, yang dilarang agama, menghabiskan uang di plaza-plaza, mall, toko-toko supermarket, dan pusat perbelanjaan di pusat kota, dan kita sambil melihat saudara muslim yang miskin, dan mereka harus terpaksa menggunakan pakaian ala santaklus.

Kita harus mulai mendidik diri kita menghadapi situasi krisis yang akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Lima tahun, sepuluh tahun, dan mungkin lima belas tahun ke depan. Karena, jangan berprentensi krisis akan segera berakhir. Karena banyak faktor yang akan mempengaruhi recovery ini dapat berhasil atau gagal.

Tapi, setidaknya ada peristiwa politik yang waktu dekat ini akan kita hadapi, yaitu kampanye pemilu legislative, dilanjutkan pemilihan presiden dan wakil presiden, penetapan presiden terpilih, dan penyusunan kabinet, dan baru berakhir di tahun 2010. Itu kalau situasi normal dalam pemilu nanti. Kalau, kondisi politik tidak normal, dari akibat dampak krisis global yang ada, mungkin lebih sulit lagi kondisinya.

Mari kita bersiap-siap menghadapi krisis jangka panjang. Kita tinggalkan semua kebiasaan yang tidak bermanfaat. Kita tingkatkan perhatian kepada saudara kita sesama muslim, yang terkena musibah, akibat krisis ekonomi yang sekarang melanda Indonesia. Wallahu ‘alam.