Halalkah Bekerja di Media Televisi? (Pertanyaan Lanjutan)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah SWT, sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas jawaban pertanyaan yang saya ajukan sebelumnya. Setelah saya membaca, di situ ustadz mengatakan bahwa tidak semua acara di televisi 100% maksiat semua, ok saya setuju dengan pendapat itu. Yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Berarti pendapatan stasiun televisi itu tidak 100% halal semua, begitu juga tidak 100% haram semua?
2. Sementara dari pendapatan stasiun televisi itu di antaranya dipakai untuk membayar gaji karyawannya, bagaimana kita bisa tahu berapa persentase gaji kita yang halal dan berapa persen yang haram?
3. Apakah perlu kita pilah-pilah dengan asumsi persentase seperti saya sebutkan pada pertanyaan no. 2, karena kita ingin menghindari yang haramnya dan berusaha bersikap wara’ misalnya?

Demikian pertanyaan lanjutan dari saya, mohon maaf kalau terlalu kepanjangan, karena saya jadi ikut memikirkan akan kebimbangan kakak saya dalam melangkah ke kehidupan selanjutnya yang jadi agak terhambat dengan adanya masalah ini di antaranya dia jadi ragu-ragu untuk menikah dengan bekerja di stasiun televisi itu.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Mohon pencerahannya.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bersikap wara’ memang baik, tetapi juga harus diimbangi dengan ilmu. Sebab bila tidak, sikap wara’ malah akan menjerumuskan dan membuat kita tidak bisa hidup tenang.

Kalau kita bicara secara ilmu halal dan haram, maka pada dasarnya selam kita tidak terlibat secara langsung dengan transaksi yang haram, maka kita tidak akan terkena keharamannya.

Contoh mudahnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau berjualan dan makan rizqidan mengambil keuntungan bertransaksi dengan orang yahudi. Padahal para yahudi ini makan riba, suka memeras, menipu dan punya sumber-sumber pemasukan yang tidak halal lainnya. Tapi Rasulullah SAW tidak memutuskan kontak bisnis dengan mereka. Bahkan seringkali kita dapati beliau menggadaikan hartanya kepada yahudi.

Kalau kita pakai logika wara’ yang ekstrim, maka seharusnya Rasulullah SAW berlepas diri dari makan rizqikarena berbisnis dengan yahudi, yang terkenal suka makan harta yang haram. Tetapi realitasnya, beliau SAW telah melakukannya. Sementara urusan halal dan haram dalam Islam ditetapkan berdasarkan apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh beliau SAW.

Kami ingin memberi sedikit contoh perbandingan, untuk sekedar memberi ruang buat anda agarmengambil kesimpulan sendiri.

Di negeri kita ini ada jutaan pegawai negeri yang bekerja setiap hari. Ada yang kerja di kantor, ada yang jadi guru, ada yang jadi petugas di kelurahan, kecamatan, bahkan ada juga yang menjadi petugas Kantor Urusan Agama. Menurut anda, kira-kira gaji yang tiap bulan mereka terima itu halal atau tidak?

Sebelum anda menjawab gaji mereka halal atau tidak, mari kita lihat realitanya dulu:

  1. Bukankah negara kita ini menggaji pegawai negeri dari APBN? Dan bukankah APBN kita ini sebagiannya di dalam dari hutang luar negeri? Bukankah sistem pinjamannya menggunakan sistem riba? Berarti kalau menggunakan logika anda, sekian persen dari keuangan negara kita ini ada haramnya. Jadi negara kita menyelenggarakan keuangan yang bersifat ribawi. Padahal seringan-ringannya dosa riba itu sama seperti menikahi ibu kandung sendiri. Apakah anda ingin mengatakan bahwa gaji pegawai negeri itu halal atau haram?
  2. Ditambah lagi, bank-bank konvensional di negeri ini diberikan ‘nafas buatan’ oleh negara. Berarti keuangan negara ini tidak lepas dari sistem ribawi juga kan?
  3. Kemudian, ketika gaji kepada pegawai negeri diberikan, mereka menerimanya lewat bank-bank konvensional.

Sekarang silahkan jawab, apakah gaji pegawai negeri itu haram hukumnya? Atau setengah haram? atau bagaimana?

Mari kita lihat lagi contoh lain dan lebih mudah, bukankah anda tiap hari menggunakan listrik, telepon, air dan lainnya. Bukankah semua itu disediakan oleh perusahaan negara (BUMN) atau swasta yang juga tidak lepas dengan sistem ribawi? Kalau menggunakan logika anda, berarti kita semua ini menikmati fasilitas yang beraroma ribawi juga.

Dan yang terakhir, uang kertas dan logam yang ada di saku kita, bukankah itu dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang menggunakan sistem ribawi? Berarti setiap orang yang memegang uang tunai tidak lepas dari aroma ribawi.

Karena itu, berdasarkan interaksi bisnis Rasulullah SAW dengan orang kafir dan terutama yahudi, ada semacam garis batas antara hasil keringat langsung yang halal, dengan harta milik orang lain tempat kita menimba nafkah. Keduanya tidak bisa dicampur-aduk begitu saja.

Kecuali bila kita bekerja di tempat yang 100% haram, seperti tempat pelacuran, mafia kejahatan, atau industri obat terlarang, minuman keras dan sejenisnya. Dan kondisi itu, barulah hukumnya haram.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.