Terpaksa Harus Memanipulasi Bon Nota, Bagaimana Menyikapinya?

Assalamualikum,

Ustadz, kami saat ini sering berhubungan dengan konsumen dalam hal jual beli (berdagang). Ada pertanyaan mengganjal dan mejadi bingung, ragu akan hal tersebut.

Kasus:
1. Ketika ada orang yang minta dilebihkan (mark up) nominal dan quantity harga dalam penulisan harga barang yang dibeli ke kami.
2. Pembeli yang sudah berlangganan meminta bon/nota fiktif, padahal dia tidak membeli barang dengan kami.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya akan hal tersebut? Sepertinya hal ini sudah membudaya di Indonesia
2. Bagaiamana menyikapi dan memberi penjelasan kepada pembeli/konsumen akan hal tersebut dengan bijak dan tidak menyinggung/menyalahkan mereka.

Terima kasih banyak ustadz, atas penjelasannya yang sangat kami tunggu.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah yang anda tanyakan berputar pada status jual beli. Dalam hal ini yang dipermasalahkan adalah status orang yang minta bon kosong. Tujuannya sudah pasti, bahwa dia ingin mendapatkan keuntungan dari transaksi jual beli antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Posisinya ada di tengah-tengah dan wajar bila dia mendapat untung.

Tinggal dengan cara apa dan pada posisi apa yang dibenarkan dalam syariah, agar dia bisa mendapatkan haknya secara halal. Dalam hal ini ada 3 kemungkinan yang bisa didekati. Pertama, posisinya sebagai pedagang. Kedua, posisinya tenaga marketing pihak penjual (toko). Ketiga, posisinya sebagai pesuruh pihak pembeli tapiingin dapat upah.

Bagaimana hukum masing-masing posisi ini, mari kita bedah satu per satu.

1. Sebagai Pedagang

Kemungkinan pertama, orang ini bisa menempati posisi sebagai pedagang. Ketika ada permintaan dari pihak pembeli untuk dicarikan suatu barang, sejak awal harus ada kepastian dalam masalah posisinya sebagai pedagang.

Misalnya, kantornya membutuhkan 10 unit komputer dan kepadanya diperintahkan untuk mengadakan barang. Maka yang harus dipastikan adalah posisi si karyawan ini. Apakah dalam transaksi ini dia diposisikan sebagai karyawan yang digaji ataukah diposisikan sebaga suplier yang berbisnis dan menjual barang kepada pihak kantornya.

Bila antara si karyawan dan kantor telah terjadi kesepakatan, bahwa posisi si karyawan dalam hal pengadaan 10 unit komputer ini bukan sebagai karyawan atau pesuruh, melainkan sebagai suplier yang berdagang. Itulah yang kami maksud dengan posisi sebagai pedagang.

Kalau pun karyawan ini masih harus mencari dan membelinya brangnya dari suatu toko, tetap saja transaksi jual beli bukan antara pembeli dengan toko, melainkan antara pembeli dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini, masalah bon dikeluarkan oleh si perantara, bukan bon dari toko.

Bila pihak kantornya menyepakati posisi karyawannya dalam transaksi ini sebagai pedagang, maka keuntungan yang didapatnya itu halal.

2. Sebagai Pemasar (Marketing)

Apabila pihak kantor tidak setuju memposisikan si karyawan sebagai pedagang, dia masih bisa menjadi perantara pihak kantor dan penjual/toko.

Dan di dalam dunia perdagangan syariah, kita mengenal marketing fee. Sehingga dari marketing fee ini, memang dibenarkan adanya pihak yang mengambil untung dari sebuah transaksi antara penjal dan pembeli. Jasa ini disebut dalam syariah samsarah, sedangkan pelakunya disebut simsar. Namun ada beberapa persyaratan mendasar dari dibolehkannya praktek simsarah ini.

Yang paling pokok dan amat mendasar adalah harus ada kesepakatan sebelumnya antara pemilik barang (toko) dengan simsar (pemasar/tenaga marketing). Baik yang terkait dengan harga barang maupun keuntungan buat pemasar. Dalam hal ini, dimungkinkan dua bentuk kesepakatan.

Pertama, pemilik barang menetapkan harga jual dan pemasar wajib menjual sesuai dengan harga yang ditetapkan. Sedangkan fee untuk pemasar telah disepakati sebelumnya. Misalnya 30% atau 20% dari harga barang. Bila perjanjiannya seperti ini, maka pemasar tidak boleh mengambi keuntungan lain lagi, dia tidak boleh memark-harga lebih dari yang telah ditetapkan.

Kedua, pemilik barang sudah memastikan harga untuk pemasar, sedangkan berapa harga yang ditawarkan kepada pembeli, tergantung pemasar. Bila dia berhasil meyakinkan pembeli dengan harga yang tinggi, maka keuntungan yang didapat tinggi. Dan begitu juga sebaliknya.

Transaksi jual beli yang terjadi tetap antara toko penjual dengan pembeli yaitu kantor, bukan antara si karyawan dengan dengan kantornya. Jadi bon/nota penualannya harus asli sesuai dengan nota resmi yang dikeluarkan toko. Pihak toko tidak boleh mengeluarkan nota blank/palsu untuk diisi sendiri oleh si karyawan. Demikian juga si karyawan tidak diperkenankan untuk membuat sendiri bon kosong untuk mendapatkan keuntungan.

Sebelumnya, si karyawan harus mendapatkan kesepakatan dari pihak toko bahwa dirinya menjadi marketing yang mendapatkan fee bila berhasil menjualkan barang. Tentu saja posisi karyawan dalam ini sebagai marketing pihak toko, harus tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh kantornya.

3. Posisi sebagai pesuruh murni

Posisi yang paling tidak menguntungkan adalah bila kantornya tidak bersedia menjadikan si karyawan ini sebagai pedagang atau perantara. Semata-mata dia hanya diperintahkan untuk membeli barang sesuai dengan harga aslinya seperti yang tertera di banderolnya. Sebagai imbalannya, sudah dihitung sebelumnya lewat gaji bulanan yang diterimanya. Atau sekedar ongkos naik taksi saja.

Dalam posisi ini, seorang karyawan memang tidak berhak untuk mengambil keuntungan langsung dari transaksi ini. Seandainya dia membuat bon kosong sendiri atau minta bon kosong dari pihak toko, padahal amanat yang diterimanya hanyalah semata-mata pesuruh yang tidak punya hak untuk mengambil keuntungan dari semua pihak, maka haramlah hukumnya.

Kunci dari kehalalan rezki itu ada pada keredhaan masing-masing pihak. Baik penjual, pembali atau pun perantara di tengah-tengahnya. Sebaiknya setiap kita menjaga diri dari mendapatkan harta dari yang tidak diridhai oleh pihak lain.

Khusus pembeli yang meminta nota fiktif padahal dia tidak membeli barang, tentu saja tidak boleh dan haram hukumnya. Meski dia pelanggan setia sekalipun. Sebab yang terjadi bukan sekedar mark-up, melainkan penipuan 100%.

Untuk memberi penjelasan kepada kepada pembeli yang seperti ini, tidak ada salahnya diajak bicara baik-baik. Jelaskanlah ketiga posisi di atas dan silahkan dia pilih mana yang paling halal dan paling memungkinkan bagi dirinya.

Sebagai pemilik toko, tidak ada salahnya bagi anda untuk sekaligus juga menjadi guru agama yang baik. Bahkan pelajaran ini akan menjadi lebih baik, karena langsung bisa dipraktekkan di tempat. Bukan sekedar sekumpulan teori yang tidak dikerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.