Apakah Kutubussittah Sudah Ditakhrij?

Assalamu’alikum wr wb.

Sebelumnya terima kasih pak ustaz, sebenarnya saya juga sudah lama menunggu ulasan atas pertanyaan saya tempo dulu, sepertinya pertanyaan saya hanya omongan belaka. Namun, karena waktu kian laju dan dan tak urung mundur, saya pun berniat untuk menanyakan kembali beberapa pertanyaan saya, khususnya dalam lingkup Hadits. Langsung saja.

Pak ustaz yang saya hormati karena Allah Swt.

1. Apakah benar Kutubussitah sebelumnya telah ditakhrij ataukah belum ditakhrij? Kalau memang benar bahwa Kutubusittah yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Nasa’i, Sunan turmizi, Sunan Abu Dawud dan Ibnu Majah telah ditakhrij oleh para ulama yang telah lama mendahului kita, mengapa ada takhrijan baru yang dikeluarkan versi Syekh Albani, apakah hal itu tidak bertentangan dengan hasil yang telah ditakhrij sebelumnya?

2. Katakanlah kalau seandainya apa yang telah ditakhrij oleh ulama hadist rahimahullah yang telah lama mendahului kita semisal Syekh Imam Bukhari dan Syekh Imam Muslim berbenturan-bertentangan-dengan apa yang telah ditahkrij oleh syekh Albani, pendapat mana yang lebih berkualitas hendaknya dan lebih berbobot kita jadikan sebagai hujjah bagi kita menurut pandangan ustaz?

3. Apa perbedaan bahwa hadist ini ‘derajatnya shahih dan terdapat dalam shahih Imam Bukhari’ dengan ‘rawahu Bukhari atau akhrajahu Bukhari’? Serta bagaimana menurut pandangan ustaz, dengan ungkapan dalam satu hadist yang mengatakan ‘Hassanahu al-Bani’ dalam riwayat Imam Bukhari?

Saya berharap ustaz dapat menjawab beberapa pertanyaan saya ini.
Sekian saja,

wajazakumullahu Khairan.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Istilah Takhrij Hadits

Sebenarnya istilah yang tepat bukan takhrij hadits pada kututussittah, mungkin yang anda maksud adalah al-hukmu ‘alal-hadits. Yaitu memberi status hukum pada hadits yang ada di dalam kitab induk hadits yang enam itu. Status hukumnya bukan halal dan haram, melainkan shahih atau tidak shahih dengan semua variannya.

Sedangkan istilah takhrij hadits sebenarnya lebih tepat untuk digunakan untuk tindakan mencarikan rujukan suatu hadits kepada kitab induknya, misalnya kepada keenam kitab induk itu.

Umpamanya, seorang ulama menulis kitab dengan mencantumkan banyak hadits di dalamnya. Hadits-hadits itu juga ditakhrij oleh penulisnya, yaitu dibuatkan semacam keterangan, misalnya footnote, yang berisi keterangan bahwa hadits itu ada dalam kitab apa, bab apa, jilid berapa, halaman berapa, kitab itu cetakan mana dan tahun berapa. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan itu adalah keenam kitab induk hadits yang anda sebut dengan kutubussittah.

Kemudian termasuk bagian dari takhirjul hadits, bisa juga ditambahkan dengan alhukmu ‘alal-hadits, yaitu pendapat para ulama hadits tentang status hukum hadits itu. Dan boleh jadi, pemberian status hukum atas hadits itu didapat dari kitab hadits lainnya.

Sedangkan terkait dengan al-hukmu ‘alal hadits, adalah memberikan status hukum atas hadits-hadits. Dan kalau anda tanyakan apakah keenam kitab hadits itu sudah diberi status hukum, jawabnya sebagian sudah dan sebagian belum.

Yang sudah mendapat status hukum adalah dua kitab induk, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa hadits-hadits yang ada di dalamnya adala hadits yang sudah berstatus shahih. Paling tidak, hadits-hadits itu telah dishahihkan oleh kedua penulisnya. Dan integritas kedua penulisnya memang sudah sangat diakui oleh dunia ulama hadits.

Kitab Sunan Abu Daud juga oleh para ahli hadits dikatakan banyak mengandung hadits-hadits yang shahih.

Termasuk dalam kitab yang enam itu adalah kitab Sunan At-Tirmizy yang juga oleh penyusunnya, Al-Imam At-Tirmizy, telah diberi status hukum. Perhatikan kalau kita membaca hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, biasanya ada tambahan kalimat wa shahhahu At-Tirmizi, artinya "dan At-Tirmizi menshahihkannya", atau kalimat wa qaalat-tirmizi hasanun shahih, artinya "dan At-Tirmizi mengatakan hadits ini berstatus hasan shahih."

Tinggal 2 kitab lagi yaitu Sunan An-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah. Hadits-hadits yang ada pada keduanya memang belum diberi status hukum oleh penyusunnya. Sehingga masih harus kita cari satu persatu ke dalam kitab-kitab syarah atau kitab yang secara khusus memuat kajian keshahihan suatu hadits.

Sebenarnya hadits itu tidak hanya sebatas pada yang terdapat di dalam keenam kitab induk itu. Di luar yang enam itu, masih banyak lagi hadits-hadits nabawi, bahkan yang shahih tapi belum tercantum di dalamnya pun masih banyak.

Upaya para ulama di abad ini adala membuat ensiklopedi hadits, tidak terbatas pada keenam kitab induk itu saja, juga tidak terbatas pada 9 kitab (kutubut-tis’ah), tetapi ke ribuan kitab hadits yang telah disusun oleh ulama sepanjang 14 abad ini.

Sayangnya, cita-cita yang mulia ini belum kesampaian hingga sekarang ini. Mengingat ternyata jumlah hadits sangat banyak, bisa sampai jutaan butir. Padahal masing-masing hadits itu juga harus diberi status hukum. Dan pekerjaan ini bukan pekerjaan yang ringan.

Beberapa institusi besar dunia Islam telah mempeloporinya, tapi hingga kini kabarnya masih belum menggembirakan.Al-Azhar di Mesir, Jami’ah Islamiyah Madinah, Syeikh Al-Qaradawi dengan lembaganya di Qatar dan beberapa lainnya punya cita-cita mulia. Mungkin sebaiknya mereka bersatu dan saling bersinergi, ketimbang jalan sendiri-sendiri.

2. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim Yang Dikomentari Al-Albani

Umumnya ulama sepanjang zaman telah menyatakan bahwa puncak keshahihan kitab hadits ada pada kedua kitab ini. Bahkan sudah menjadi suara umat bahwa Shahih Bukhari adala kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Karim.

Memang ada satu dua ulama hadits yang sezaman dengan Al-Bukhari yang mengkritisisatu dua hadits yang telah dishahihkan dan dimasukkan ke dalamnya. Hal ini wajar, mengingat di masa itu sangat boleh jadi belum terdapat banyak rujukan kitab. Boleh jadi suatu hadits dishahihkan oleh Al-Bukhari, namun ahli hadits yang lain tidak mendapatkan sanad yang diterimanya sekuat sanad yang diterima Al-Bukhari. Sehingga ahli hadits itu menghukumi bahwa hadits itu tidak kuat sanadnya. Tentu Itu adalah haknya.

Dan ketika Al-Bukhari menshahihkan hadits itu, sudah pasti beliau punya sanad yang kuat dan bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiyah. Serta diakui oleh mayoritas para ulama hadits di zamannya dan di zaman sesudahnya. Itulah yang ditulis oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar ketika menulis syarah (penjelasan) atas kitab Shahih Al-Bukhari.

Adapun Syeikh Al-Albani atau siapapun juga dari ahli hadits, boleh-boleh saja berkomentar apapun terhadap satu dua hadits yang telah ada di dalam shahih Bukhari. Namun semua komentarnya tidak berpengaruh apapun terhadap integritas kitab ini.

Mungkin saja Al-Albani punya rujukan kitab rijalul hadits tersendiri yang berbeda dengan yang digunakan oleh Al-Bukhari. Dan hal ini biasa terjadi. Bahkan tiap muhaddits biasanya punya database sendiri atas rijal yang ditelitinya. Dan sangat mungkin cara penilaianya berbeda.

3. Pengertian Beberapa Istilah

‘Hadits ini derajatnya shahih dan terdapat dalam shahih Imam Bukhari’

Sesuai dengan kalimatnya, berarti hadits ini derajatnya shahih, yang menshahihkannya adalah AL-Bukhari dan Al-Bukhari memasukkannya ke dalam kitab Ash-Shahihnya.

‘Rawahu Bukhari atau akhrajahu Bukhari’?

Isitlah ini sama dengan di atas. Biasanya bila dikatakan rawahul bukhari berarti otomatis hadits itu shahih dan ada di dalam shahih Bukhari. Kecuali ada keterangan tambahan bahwa hadits itu dishahihkan Bukhari tapi tidak ada di dalam kitab Shahihnya.

‘Hassanahu al-Bani’ dalam riwayat Imam Bukhari?

Ada banyak pengertian yang berbeda. Salah satunya adalah hadits ini oleh Al-Albani diberi status hasan, bukan shahih. Meski hadits ini ada dalam shahih Bukhari.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc