Hadits yang Mengharamkan Seseorang Berpuasa

Assalamualaikum wr. wb.

Adakah hadist yang menyatakan tentang haramnya seseorang yang menjalankan puasa jika sudah mendengar takbiran? Ini berdasarkan pengalaman lebaran tahun ini antara versi Depag dengan Muhammadiyah.

Wassalamualaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Berpuasa di hari raya Fithr (lebaran) dan juga di hari Adha (lebaran haji) hukumnya haram, berdasarkan hadits shahih berikut ini:

نهى رسول الله صلى الله ليه وسلم عن صيام يومين: يوم الفطر ويوم الأضحى متفق عليه

Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fithr dan hari Adha. (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Namun larangan itu berlaku bila sudah dipastikan bahwa hari itu adalah benar-benar yang dimaksud. Maka larangan untuk berpuasa bukan bila kita mendengar suara takbiran, tetapi bila telah dipastikan masuknya tanggal 1 Syawwal.

Suara takbiran yang mengalun bukanlah metode untuk memastikan apakah bulan Ramadhan sudah usah atau belum. Metode yang benar adalah dengan rukyatul hilal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bila hilal telah terlihat, meski hanya oleh sebagian orang saja, maka orang-orang yang tidak melihatnya wajib ikut berbuka. Paling tidak yang berada pada radius tertentu. Dengan pengecualian bila jarak antara orang yang melihat hilal dengan mereka cukup jauh. Dan dalam masalah batasan jarak ini, para ulama berbeda pendapat.

Akan tetapi inti masalahnya bahwa jatuhnya tanggal 1 Syawwal itu memang ditetapkan berdasarkan terlihat atau tidaknya hilal syawwal. Bukan berdasarkan ada orang yang takbir atau tidak. Sebab bisa saja seseorang bertakbir tanpa dasar pengetahuan atas sudah jatuhnya 1 Syawwal, atau bisa saja karena memang ada perbedaan pendapat dalam menentukannya.

Masalah Perbedaan Pendapat

Sebagaimana kita ketahui bahwa di negeri kita, masalah perbedaan penetapan jatuhnya 1 Syawwal memang lumayan kompleks dan sedikit rumit. Sebab setiap kelompok dan jam’iyah mereka punya hak untuk berijtihad sendiri, sesuai dengan apa yang dia yakini. Tanpa pernah merasa butuh untuk duduk bersama dengan sesama umat muslimin lainnya.

Seolah-olah mereka yakin 100% bahwa ijtihad mereka mutlak benar, serta rada ‘gengsi’ untuk mau berbagai pendapat dengan yang lainnya. Ditambah lagi mandulnya pemerintah serta kekurang-populernya di mata umat, karena beragam sebab yang panjang untuk diceritakan di sini, tapi intinya umat tidak terlalu merasa wajib untuk ikut ketentuan pemerintah dalam masalah penetapan 1 Syawwal. Bahkan pimpinan Muhammadiyah malah mengusulkan agar pemerintah tidak usah mengatur penetapan jatuhnya hari raya agama.

Kami memandang bahwa ungkapan itu menunjukkan betapa pemerintah memang sama sekali tidak punya wibawa di mata umatnya. Alih-alih mau mengikuti ketetapan pemerintah, justru para pemuka agama minta agar pemerintah tidak usah ikut campur. Mungkin karena selama ini dianggap bukan menambah mudah, tapi malah bikin susah.

Bayangkan, kalau para tokoh agama saja sudah tidak punya rasa percaya kepada pemerintah, berarti ada yang kurang beres di dalam pemerintahan, atau di kalangan tokoh agama, atau pada keduanya.

Melihat kenyataan demikian, maka cita-cita untuk bisa duduk bersama antara pemerintah dan elemen-elemen umat Islam rasanya masih jauh panggang dari api. Apalagi kalau kita lihat realitas selama ini yang selalu muncul ketidak-kompakan, maka semakin jauh rasanya kesamaan penetapan lebaran itu.

Bagaimana penetapan hari raya di negeri Islam lain?

Berbeda dengan di Indonesia, umat Islam di beberapa negara timur tengah seperti Saudi atau Mesir, mereka tidak pernah direpotkan dengan perbedaan penetapan. Meski antara Saudi dan Mesir seringkali berbeda, tetapi perbedaan itu tidak terjadi di dalam satu negara. Kedua penduduk negeri memang terpisah secara georgrafis, sehingga perbedaan seperti yang kita rasakan di Indonesia tidak terjadi.

Hal itu karena umat Islam di dalam negeri mereka kompak bersama dengan pemerintah. Pemerintah punya wibawa dan dipatuhi umat, tetapi pemerinthnya juga mau tunduk kepada ulama yang berwibawa dan berilmu. Sehingga terjadi harmoni yang indah. Tidak seperti di negeri kita, ulama tidak ada, pemerintahnya tidak dipatuhi, ya jadilah nasib kita seperti ini, centang perenang!!!

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.