Khilaf Para Ulama

Assalamualaikum wr. Wb.

Pak Ustadz yth,

Saya masih agak bingung dan takut tentang khilaf para ulama, karena kebodohan dan keterbatasan ilmu yang saya miliki. Saya hanya bisa melihat hitam dan putih tentang kebenaran yang mutlak. Banyak hal yang menimbulkan khilaf para ulama besar yang dirahmati Allah SWT.

Yang contoh umumnya masalah bid’ah atau isbal yang akan berdosa besar bila kita melakukannya. Bagaimana pertangungjawaban saya kepada Allah nanti bila ternyata sayamemilih fatwa yang salah?

Yang ternyata ibadah saya merupakan suatu bid’ah misalnya, atau ternyata fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah tentang isbal yang benar. Apakah saya akan mendapatkan kemurkaan Allah di akhirat nanti?

Terimakasih sekali atas penjelasannya.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Orang yang dihukum Allah SWT dengan siksa yang pedih dan berat adalah orang yang secara sengaja dan jelas-jelas melanggar apa yang telah diharamkan Allah. Keharamannya adalah keharaman yang jelas dan telah menjadi ijma’ atau minimal menjadipendapat mayoritas ulamadengan didukung dengan dalil-dalil yang qath’i. Baik Qath’i secara tsubut maupun qath’i secara dilalah.

Misalnya keharaman minum khamar, berzina, membunuh nyawa yang bukan haknya, mencuri, berkhianat, dan seterusnya. Semua itu adalah keharaman yang sudah muttafaqun ‘alaihi di semua lapis umat Islam. Tukang ojek pinggir jalan yang lagi mabok pun tahu kalau minum khamar itu haram, meski dia sedang melakukannya.

Kalau jenis dosa seperti itu tetap dilakukan juga, dengan sengaja, dengan sepenuh kesadaran serta tahu resikonya, maka barulah seseorang akan disiksa di neraka.

Tetapi…

Manakalah suatu hukum masih menjadi perdebatan para ulama, maka seorang yang memlilih salah satu versi pendapat itu tidak akan dikenai sanksi oleh Allah SWT. Sebab sebagian ulama mengatakan haram tetapi sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan menjadi berbagai versi pemahaman.

Logikanya sederhana saja, bagaimana mungkin Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang itu main hakim sendiri, main siksa dan main kayu kepada hamba-hamba-Nya, sementara aturannya tidak jelas, multi tafsir dan memang sulit dipungkiri.

Lalu di mana keadilan Allah? Di mana kerahiman Allah? Mengapa Allah seakan membuat jebakan buat hamba-Nya sendiri? Di mana Allah SWT sengaja membuat dalil yang multi tafsir lalu siapa yang salah dalam menafsirkannya, harus siap dilumat api neraka.Tentu Allah SWT bukanlah tuhan dengan sikap rendah seperti itu.

Seandainya hukum isbal tanpa niat riya’ itu tidak multi tafsir, pastilah semua ulama sampai titik kesepakatan bulat tentang keharamannya. Sayangnya, dalil-dalil isbal itu memang nyata multi tafsir, sehingga semua kutub pendapat yang lahir darinya adalah ijtihad manusiawi. Bahkan sampai level ulama besar Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar pun mengatatakan halal bila tanpa niat isbal.

Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa An-Nawawi dan Ibnu Hajar akan masuk neraka lantara keduanya salah tafsir?

Yang seharusnya menjadi cara pandang kita adalah selama masalah itu khilaf ulama karenaditetapkan oleh dalil yang zdhanni secara istidlal, maka tidak ada siksa pedih. Sebab para mujtahid itu tidak akan disiksa hanya karena kesahalan dalam ijtihadnya. Bila ijtihadnya salah, malah dia tetap dapat pahala. Sebaliknya, bila ijtihadnya benar, dia akan dapat dua pahala.

Salah besar kalau seorang mujtahid salah dalam berijtihad akan disiksa di neraka sebagai hukuman atas kesalahannya. Tetapi kalau yang berijtihad itu memang bukan orang yang punya kapasitas menjadi mujtahid, lalu sok-sok-an berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, jelas dia telah salah. Dan wajar kalau dia disiksa di neraka.

Seorang yang bukan mujtahid, tidak punya otoritas untuk berijtihad. Kalau dia melakukannya dan salah, maka dia harus menanggung resikonya.

Pertanggung-jawaban

Seorang awam seperti kami dan anda, tidak ada kewajiban untuk melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau belum terpenuhi pada diri kita.

Maka kita dibolehkan bertaqlid kepada fatwa para ulama mujtahid yang juga tentunya harus mu’tabar (diakui kapabilitasnya). Kalau seandainya fatwa itu salah, Allah tidak akan murka tentunya, sebab seorang mujtahid yang berijtihad tidak akan disiksa di neraka, bahkan dia tetap dapat satu pahala.

Maka kita yang mengikuti fatwa mujtahid yang -katakanlah- ternyata terbukti salah di hari akhir, tentu juga tidak akan disiksa. Malah kita juga dapat pahala dari Allah.

Kok dapat pahala? Kan salah?

Ya, dapat pahala. Karena kita telah melakukan perintah Allah untuk bertanya kepada ahlinya. Bukankah Allah SWT memerintahkan kita dalam firman-Nya

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)

Allah tidak mengatakan "Bertanyalah kepada orang yang pasti benar dalam ijtihadnya." Tetapi hanya memerintahkan untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu mujtahid yang diakui kapasitasnya.

Kita sudah bertanya kepada mujtahid, maka kita sudah dapat pahala. Perkara ternyata ijtihadnya salah, tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan melahirkan dosa dan siksa. Dan akan disiksa adalah orang dengan kapasitas bukan mujtahid, tetapi berlagak seperti mujtahid, lalu salah. Dan siksaanlah akibatrnya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc