“Jadi TKI Juga Harus Punya Visi!”

Tanpa terasa, air mata Nurhayati Solapari menetes membasahi pipi saat menyaksikan acara prosesi wisuda dalam acara televisi. Sepuluh tahun lalu, di sebuah apartemen di Tabuk, sebuah kota di barat laut Arab Saudi, Nurhayati mengambil keputusan besar, “Saya harus kembali ke Tanah Air, saya harus kuliah.”

Sebagai pekerja rumah tangga di negeri orang, nasib Nurhayati memang mujur. Dia mendapat majikan seorang dokter dan diperlakukan dengan baik. Sempat terpikir oleh Nurhayati menerima tawaran perpanjangan kontrak kerja di negeri petrodollar itu. “Itu godaan juga, tapi saya memutuskan untuk berhenti. Modal untuk kuliah sudah cukup,” tegas ibu tiga anak ini.

Ya, kepergian Nurhayati ke Arab Saudi pada 2008 silam dimaksudkan hanya sebagai batu loncatan mencari bekal kuliah. Nurhayati sadar, dia tidak bisa selamanya menjadi TKI. Baginya dua tahun sudah cukup. Saatnya kembali berkreasi di Tanah Air. “Jadi TKI juga harus punya visi,” tambahnya.

Sebenarnya, setamat SMA, Nurhayati ingin langsung melanjutkan studinya ke bangku kuliah. Namun keinginannya itu kandas ketika dia sadar, orangtuanya yang hanya pegawai rendahan tidak akan mampu membiayai kuliahnya, terlebih dia masih memiliki lima adik yang masih duduk di bangku sekolah.

Saat itu, di kampung Nurhayati banyak sekali wanita seusianya yang pergi merantau ke negeri orang untuk menjadi TKI. Nurhayati melihat banyak tetangganya yang sekembalinya dari Timur Tengah membawa uang yang sangat banyak. Membeli sawah, membangun rumah, dan membeli perhiasan. Nur pun tergoda. Tahun 1998 Nurhayati akhirnya berangkat ke Arab Saudi dan menjadi TKI.

Profesinya sebagai pekerja rumah tangga di negeri orang sekalipun tidak membuat wanita kelahiran 2 Juni 1979 ini kendor semangat belajarnya. Dia membawa serta buku-buku ke Saudi. Nurhayati benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar. Dia bersyukur, majikannya mengizinkannya melakukan aktivitas ini. “Bahkan mamah (panggilan untuk majikannya) memberikan waktu istirahat siang untuk membaca,” ungkapnya.

Setelah bekerja selama 2 tahun 8 bulan, Nurhayati kembali ke Serang. Dia langsung mendaftar menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Tirtayasa Serang. Di saat yang sama, dia juga diterima sebagai pekerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji di Serang. “Alhamdulillah, ada teman yang menawarkan saya kerja, jadi bisa kerja sambil kuliah,” tukas Nur. Bahkan seringkali Nur harus belajar di dalam toilet restoran saat sedang ujian.

Karena ketekunan dan kecerdasannya, Nurhayati tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan studinya. Hanya dalam waktu tiga tahun, dia mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Belum cukup sampai di situ, sambil menunggu kesempatan untuk kuliah S2, Nurhayati menyempatkan diri magang di lembaga hukum dan mengikuti ujian profesi advokat. “Saya memang punya cita-cita jadi pengacara,” katanya. Sementara untuk jenjang master, Nurhayati mampu menyelesaikannya di Universitas Jayabaya, Jakarta.

Kini, istri dari Agus Setiawan ini menjadi dosen di Univesitas Sultan Agung Tirtayasa, Serang, Banten. Di kampus, dia juga aktif di lembaga bantuan hukum. Kesibukannya sebagai dosen tidak membuat Nur melupakan TKI. Nur masih tetap peduli dengan teman-temannya, utamanya TKI Purna (mantan) di beberapa desa di kawasan Banten melalui pemberdayaan dan pelatihan. “Saya kan mantan TKI, dulu saya bisa kuliah juga kan hasil (bekerja sebagai) TKI. Setidaknya ilmu yang saya miliki juga untuk TKI,” tegasnya.

Nur berpesan kepada rekan-rekannya, jadi TKI harus memiliki niat dan tujuan yang jelas. Jangan menjadikan profesi ini sebagai pilihan terakhir, karena tidak selamanya mereka akan menjadi TKI. Dia juga mengimbau agar para TKI memanfaatkan dengan baik remiten yang mereka dapat. Nur melihat, masih banyak TKI Purna yang konsumtif dan menghambur-hamburkan jerih payahnya, sehingga dalam waktu singkat, mereka terpaksa kembali berangkat menjadi TKI. “Ini semacam lingkaran setan yang tidak ada habisnya,” tuturnya.

Selain itu, kata Nur, masih jarang TKI yang menginvestasikan remitennya dalam bidang pendidikan, untuk kuliah dan sekolah, misalnya. Mereka lebih memilih berinvestasi dalam bentuk tanah, sawah, rumah, dan perhiasan. “Padahal ilmu lebih baik dari harta. Harta itu kita yang akan menjaganya, sedangkan ilmu akan menjaga kita,” ujar Nurhayati mengutip Imam Ali r.a.

Berkat kegigihan dan prestasinya ini, Nurhayati dianugerahi Indonesia Migrant Worker Award dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang bekerja sama dengan Universitas Indonesia untuk kategori TKI motivator di hadapan Wakil Presiden RI. Tak lama berselang, Nurhayati juga menerima penghargaan dari Pemerintah Arab Saudi melalui kedutaan besarnya di Indonesia.

Melihat latar belakang dan potensi yang dimiliki oleh Nurhayati inilah, Migrant Institute, lembaga yang didirikan Dompet Dhuafa, mengajaknya bergabung sebagai peneliti senior. Selamat bergabung Mbak Nur, semoga kita bisa berkontribusi lebih banyak untuk kebaikan para pahlawan devisa Indonesia. (wn/dd)