Bangun Bola

Televisi dalam keluarga kadang seperti pisau bermata dua. Bisa positif, bisa juga negatif. Semua bergantung pada pemahaman dan kepekaan para pemimpin keluarga. Masalahnya, tidak semua pemahaman bisa kokoh ketika berhadapan dengan yang namanya hobi.

Keluarga mana di negeri ini yang bisa terisolasi dari tayangan televisi. Dari yang miskin hingga kaya, dari yang preman sampai yang ikut pengajian; nyaris tak luput dengan keberadaan televisi. Cuma bedanya, ada yang paham; ada juga yang buta.

Repotnya, tidak semua yang paham bisa terus paham ketika televisi menjadi begitu memikat. Dan yang paling menyulap pemirsa saat ini adalah tayangan bola dunia. Karena bola, malam jadi seperti siang, dan siang seolah sebagai malam. Hal itulah yang kini dirasakan Pak Gugun.

Lebih dari seminggu, bapak dua balita ini punya kebiasaan baru. Hampir tiap malam, di saat isteri dan anak-anaknya tertidur pulas, Pak Gugun kerap bangun. Setelah menoleh ke jam dinding, ia langsung ke kamar mandi. Ia buang air kecil dan berwudhu. Setelah itu, ia pun duduk khusyuk di depan televisi. Pak Gugun larut dengan tayangan sepak bola.

Sebagai orang beriman, Pak Gugun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tanpa ibadah. Apalagi dengan salat malam yang begitu sarat dengan nilai pelajaran. Sambil menunggu peralihan waktu dari babak pertama ke kedua, ia pun salat malam. Lumayan, bisa menenangkan hati dan pikiran.

Beberapa kali isteri Pak Gugun ngasih kritik. “Pak, apa nggak buruk nonton tivi lewat tengah malam? Apa nggak sebaiknya istirahat!” ucap isteri Pak Gugun menunjukkan kekhawatiran. Ia khawatir kalau suaminya sakit dan nggak bisa berangkat kerja. Apalagi yang ditonton cuma bola!

Pak Gugun tersenyum. “Bu, saya bangun malam bukan untuk nonton bola. Bukan!” ucap Pak Gugun begitu diplomatis. “Tapi, saya hanya ingin memanfaatkan tayangan bola untuk berlatih rutin bangun malam. Menikmati keheningannya, dan berdzikir di kala orang tertidur!” tambah Pak Gugun begitu menguasai keadaan.

“Cuma itu?” sergah isteri Pak Gugun penasaran. “Ya, sambil mengisi waktu saya nonton bola!” jawab sang suami lagi-lagi dengan senyum.

Sebenarnya, di hati kecil isteri Pak Gugun memang terbersit sebuah kekaguman. Sejak ada piala dunia, ia dan anak-anak nyaris tak pernah bangun kesiangan. Jauh sebelum adzan subuh, ia sudah dibangunkan suaminya. Isteri Pak Gugun pun bisa rutin salat malam. Setidaknya, witir.

“Sebenarnya, semua tergantung pada diri kita masing-masing!” suara Pak Gugun terdengar dari balik gorden. Ucapan itu didengar isteri Pak Gugun saat sibuk menyiapkan air minum buat tamu teman suaminya. “Jangan hanya bolanya yang diincar. Salat malamnya juga harus gencar!” ucapan Pak Gugun terdengar begitu mantap oleh isterinya. Sang tamu pun terlihat seperti mengangguk.

Cuma, masih ada yang mengganjal di hati isteri Pak Gugun dengan ucapan suaminya. Masalahnya, mana yang lebih dominan: niat mau salat malam, atau kesungguhan nonton bola. Hal itu sulit diukur isteri Pak Gugun. Ingin rasanya, ia bisa bangun bareng dengan sang suami. Dari situ, ia bisa melihat dan merasakan seperti apa kekhusyukan suami tercintanya. Atau bahkan, bisa mengalahkan suaminya soal bangun malam seperti yang biasanya terjadi.

Yang bisa diunggulkan isteri Pak Gugun dalam hal ibadah saat ini hanya satu: ia tidak tidur setelah salat subuh. Ia bisa tilawah, menyiapkan sarapan, dan salat dhuha. Sementara Pak Gugun justru begitu terlelap dibuai mimpi pagi.

Tak lama, memang. Sekitar jam delapan pagi, Pak Gugun sudah harus bangun. Itu pun dengan bantuan isteri. Lagi-lagi, ada keunggulan lain dari isteri Pak Gugun. Walau ia kalah dalam soal bangun malam di minggu-minggu terakhir ini, isteri Pak Gugun begitu berperan di kesibukan pagi.

“Bu, salat malam! Bangun!” sapa Pak Gugun seperti biasa. Tapi, yang disapa tetap saja tidur. Cuma gumamnya yang terdengar samar, “Aku lagi halangan, Pak! Maaf!”

Mendengar itu, Pak Gugun mengangguk pelan. Ia pun kembali dalam kesendirian. Sepi. Di beberapa hari kemarin, ia bisa salat malam bersama isterinya.

Pak Gugun mulai bingung. “Apa lagi yang bisa dikerjakan?” ujarnya dalam hati. Salat malam sudah. Tayangan bola sudah habis. Sementara, subuh masih hampir tiga puluh menit lagi.

Pak Gugun pun mengambil mushaf Alquran. Ia pandangi huruf-huruf Alquran yang mulai tampak rata. Kesendiriannya kian membuat rasa kantuk Pak Gugun begitu tumbuh subur. Dan….

“Pak, bangun! Sudah jam delapan. Hayo, nanti ke kantornya kesiangan!” suara isteri Pak Gugun sayup-sayup mengisi celah telinga sang suami. Entah kenapa, Pak Gugun tiba-tiba tersentak. Ia pun sontak berdiri.

“Apa? Jam delapan! Ya Allah, aku belum salat subuh, Bu!” ucap Pak Gugun sambil berjalan terhuyung menuju kamar mandi.([email protected])