Kurang Garam


Mengelola rumah tangga tak ubahnya seperti mengolah masakan. Perlu kesungguhan, kesabaran, serta cukup bumbu dan garam. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan: ketelitian. Sebab garam saja, masakan jadi tak punya rasa. Atau sebaliknya, kelewat terasa. Dan dua-duanya sangat mengurangi selera.

Bersatunya dua anak manusia dengan latar belakang berbeda memang punya seribu satu cerita. Ada yang indah dan enak dikenang. Tapi tak sedikit yang bikin mulut jadi cemberut.

Buat mereka yang biasa menggeluti dunia nyata, akan menganggap itu wajar. Wajar karena tak ada manusia yang sempurna. Ada kelebihan dan tak sedikit kekurangan. Masalahnya, ketika kenyataan hidup itu dipandang dengan kacamata perfectionist atau serba sempurna, tentu akan terjadi kesenjangan.

Lalu, gimana mungkin sebuah bahtera rumah tangga terasa nyaman ketika baut-baut kapal dan sekrupnya mulai berjarak. Walau hal kecil, sekrup dan baut punya peranan penting. Jika tidak segera disadari dan diperbaiki, baut dan sekrup kecil bisa bikin kapal yang besar pecah berantakan.

Benarkah begitu? Pak Wawan punya pengalaman sendiri tentang itu. Enam tahun pernikahan memang tergolong rentang perjalanan pendek buat siapa pun, termasuk Pak Wawan. Karena pernikahan sejati tidak pernah berujung. Buat seumur hidup di dunia. Dan akan berlanjut pada kehidupan lain di akhirat.

Namun, enam tahun itu saja, sudah banyak warna yang ia serap. Ada warna miskomunikasi. Ada cemburu. Masalah keuangan. Dan satu lagi, soal ketidakpuasan.

Dari empat warna itu, ketidakpuasan bisa diurutkan sebagai rangking teratas. Tapi, stadium ketidakpuasan buat Pak Wawan bukan tergolong tingkat berat. Cuma masalah pernik-pernik pergaulan berumah tangga. Ringan. Soal kebersihan rumah, tata ruang, pola asuh anak, dan bumbu masakan. Cuma itu, tak ada yang lain. Justru, yang terasa ringan itu kalau terus-menerus terasa bisa menjadi petaka.

Awalnya, semua terasa dari satu arah. Ego Pak Wawan selalu mengatakan kalau isterinya banyak kekurangan. Agak bergeser di luar target yang pernah dipasang bapak tiga anak ini sebelum memasuki jenjang pernikahan. Saat itu ia heran, kemudian akhirnya kecewa.

Pernah beberapa kali ia mendapati anak-anaknya yang masih balita belum mandi sore. Padahal, ia tiba di rumah sudah menjelang waktu Isya. Pak Wawan pernah juga mencium bau ompol dari tempat tidur anak-anak. Satu hari mulai terasa, dua hari kian terasa. Bagaimana mungkin anak-anak bisa tidur pulas dengan aroma kayak gitu. Pak Wawan mulai geleng-geleng kepala.

Di lain kesempatan, Pak Wawan sempat menahan rasa. Waktu itu saat sarapan. Sudah menjadi kebiasaan sejak masa lajang, Pak Wawan selalu sarapan sebelum keluar rumah. Secara teori gizi, makanan saat sarapan sangat menentukan produktivitas seseorang. Kalau sarapan ala kadarnya, hasil kerja pun bisa tak seberapa. Keyakinan itulah yang dipegang Wawan.

Ketika sarapan itu, Pak Wawan merasa ada yang aneh dengan masakan isterinya. Rasanya itu lho: asiiin luar biasa. Apa nggak dirasai dulu. Kok, ceroboh sekali. Masih banyak umpatan yang disimpan Pak Wawan. Dengan sangat terpaksa, teorinya tentang sarapan mesti dikecualikan. Hari itu, ia berangkat tanpa sarapan. Kecuali, secangkir teh manis hangat.

Tak ada marah memang. Hanya ungkapan kesal dengan tampilan wajah cemberut yang diperlihatkan Pak Wawan. Tapi, buat isteri Pak Wawan, itu saja sudah cukup buat ungkapan protes. Setelah itu, biasanya ia menangis. Entah pikiran apa yang berkecamuk. Sepertinya, ada protes melawan protes. Untuk beberapa hari, biasanya Pak Wawan dan isteri tak saling sapa.

Apa yang salah. Pak Wawan sempat terkurung dalam kebingungan selama beberapa bulan. Sungguh waktu yang lumayan lama buat masalah yang terkesan sepele.

Awalnya, Pak Wawan selalu menganggap isterinya salah. Lebih dari itu, sempat terbersit sebuah penyesalan. Tapi, itu hanya terlintas beberapa detik. Kemudian tergerus dengan sebuah kesadaran. Bahwa, sudut pandang masalah bisa ditakar dari dua arah. Tidak satu seperti yang selama ini terjadi.

Boleh jadi, yang justru bermasalah adalah Pak Wawan sendiri. Lho? Itulah yang kini ia rasakan. Ia mencoba melihat ke belakang. Sebelum ini, Pak Wawan memang tergolong orang yang selalu menakar sesuatu dengan ukuran sempurna. Itulah yang ia dapatkan dari orang tuanya. Selalu terbaik, dan menghasilkan yang terbaik. Rapi, teratur, dan tanpa cacat adalah doktrin yang selalu ia terima. Tak heran, jika mengalir sesuatu dalam bingkai pemikiran Pak Wawan: harus selalu sempurna.

Mungkin, hal itulah yang selama ini membuat Pak Wawan agak tersingkir dari pergaulan. Ia selalu bikin kikuk teman-temannya. Mereka seperti mengambil jarak. Khawatir, kalau-kalau terlalu rendah di mata Pak Wawan.

Lalu, seperti itukah yang kini terjadi dalam rumah tangga Pak Wawan. Sebuah kesenjangan antara idealita dengan realita. Bahkan, bisa dibilang pertarungan. Kalau itu yang terjadi, keseimbangan sulit terjadi. Dan keharmonisan cuma jadi cita-cita.

Bagaimana mungkin ada pertemuan dua ujung yang saling bertolak belakang. Harus ada penyesuaian. Itu secara teoritis. Kenyataannya, Pak Wawan agak lalai dengan keadaan rumah tangganya. Ia lupa kalau seorang isteri adalah wanita yang punya tenaga terbatas. Bagaimana mungkin bisa sempurna dengan sarana yang serba tidak sempurna. Sulit mengurus tiga balita tanpa pembantu rumah tangga. Dan soal masak, memang masih barang baru buat isteri Pak Wawan yang semasa lajang terlalu aktif di luar rumah. Wajar kalau sempat terjadi kurang garam.

Jadi, kini terpulang pada Pak Wawan. Seperti apa takaran yang ia tentukan. Salah-salah, masakan hidup berumah tangga menjadi bukan sekadar kurang garam. Tapi, tak bisa dicicipi sama sekali karena tidak pernah matang.

([email protected])