Menangkap Aspirasi

Warna-warni kehidupan keluarga mirip dengan air. Di wadah mana pun, isi dan sifatnya tidak pernah berubah. Cuma bentuknya saja yang beda. Bisa bulat, lonjong, bahkan oval seperti atap gedung wakil rakyat.

Seperti apa pun kiprah seseorang, dinamika kehidupan keluarganya tak jauh berbeda. Ada bahagia, sedih, bingung, khawatir, bahkan takut. Bedanya, sisi lain kehidupan para aktivis dakwah jarang yang tahu.

Orang cuma tahu ketika para aktivis ini tampil di panggung, sibuk di lingkungan masyarakat, dan mondar-mandir memperjuangkan aspirasi umat. Tapi, gimana keadaan keluarganya saat si aktivis terbentur konflik. Boleh jadi, cuma orang dalam yang bisa menyelami. Dan yang tergolong orang dalam adalah isteri aktivis itu sendiri. Setidaknya, hal itulah yang kini diselami Bu Nuni.

Ada hal lain yang dirasakan Bu Nuni tentang suaminya. Sejak Ramadan lalu, getaran itu mulai terasa. Ia perhatikan, ada kebiasaan baru suaminya yang berbeda jauh dengan sebelumnya. Kian hari, beda itu makin terasa jelas. Tapi, Bu Nuni masih belum bisa menebak pasti. Ada gerangan apa dengan suaminya.

Kejadian-kejadian beberapa hari terakhir bisa menguatkan itu. Biasanya, suami Bu Nuni tak pernah lepas dari salat jamaah. Kalau tidak sakit atau keluar rumah, ia pasti ke masjid. Di situlah suami Bu Nuni bisa bertemu, bertukar pikiran, berbagi rasa dengan para tetangga. "Gimana kabarnya, Pak Ustadz?" begitu orang-orang menyapa suami Bu Nuni. Dan sapaan itu pun berbalas senyum dan salam.

Namun, keakraban itu seperti terganjal sesuatu. Entah kenapa, Bu Nuni selalu mendapati suaminya datang ke masjid pas salat dimulai. Dan, sudah tiba di rumah sekitar lima menit kemudian. Tidak ikut zikiran, apalagi ramah tamah dengan sesama jamaah. Mungkin, para jamaah akan bilang, "Lho, Ustadz Jojo kemana? Kok ngilang?"

Biasanya juga, suami Bu Nuni ngobrol-ngobrol dengan para tetangga selepas olahraga pagi. Terutama di hari Ahad. Tapi, kali ini beda. Jangankan ngobrol, olahraga pun cuma senam kecil. Dan itu pun di ruang tamu. Bukan di luar rumah.

Begitu pun dengan rutinitas harian. Saat ini, suami Bu Nuni jadi betah di kantor. Berangkat pagi sekali, dan pulang sudah lewat Isya. Padahal, suaminya pernah cerita kalau tempat kerjanya kurang nyaman. "Mesti sabar-sabar kerja sama orang asing!" ucap suami Bu Nuni suatu kali. Lalu, gimana bisa betah kalau kantornya nggak nyaman.

Awalnya, Bu Nuni enggan nanya-nanya. Ia nggak tega. Ada juga kekhawatiran kalau suaminya bisa tersinggung. Itulah kenapa Bu Nuni lebih memilih diam. Mungkin suatu hari, suaminya akan bilang.

Tapi, yang ditunggu nggak juga muncul. Sebulan sudah, Bu Nuni tidak dapat cerita apa-apa. Semua seolah berjalan lancar. Kalau ketemu Bu Nuni, suaminya bertingkah seperti biasa. Tidak ada wajah khawatir, bingung, apalagi gelisah. Seperti biasa, suami Bu Nuni selalu senyum ketemu isteri dan anak-anaknya. Kalau sudah begitu, Bu Nuni bingung mau nanya apa.

Bu Nuni yakin kalau masalah suaminya bukan soal uang. Apalagi perilaku buruk yang tidak disukai masyarakat. Bu Nuni yakin tidak. Suaminya begitu hati-hati dalam bertindak. Kalau soal uang, suami Bu Nuni paling takut megang uang umat. Apalagi menyalahgunakan. Karena kejujuran dan ketinggian moral itu, suami Bu Nuni bahkan pernah jadi caleg. Tapi, ia menolak.

Jadi, apa dong masalahnya. Bu Nuni jadi bingung sendiri. Kenapa suaminya jadi nggak mau bertemu orang banyak. Kenapa suaminya yang biasanya mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi umat jadi minder begitu? Belum lagi kebingungan itu berakhir, seseorang mengetuk pintu depan. "Assalamu’alaikum!"

Setelah pintu terbuka, Bu Nuni mendapati beberapa orang berkerumun di depan pintu rumahnya. "Eh, Pak Haji!" suara Bu Nuni ramah. "Bapaknya ada, Bu?" tanya salah seorang dari tamu ke Bu Nuni. "Ada! Mari masuk, Pak!" jawab Bu Nuni sambil berlalu memanggil suami.

Betapa kagetnya Bu Nuni ketika mendapati suaminya sudah rapi. Persis seperti hendak berangkat kerja. Seingat Bu Nuni, beberapa menit lalu suaminya masih baca koran. Dan belum serapi ini. Itu memang biasa kalau hari libur seperti sekarang ini. "Aneh!" batin Bu Nuni berbisik.

"Mas, ada tamu! Pak Haji sama beberapa yang lain," ucap Bu Nuni pelan. Saat itu, Bu Nuni bisa menangkap kepanikan suaminya. Ia tampak begitu bingung. "Ada apa, Mas?" tanya Bu Nuni mengikuti gerak-gerik suaminya. "Waduh, ada rapat lagi! Mas berangkat, ya!" ucap suami Bu Nuni sambil bergegas lewat pintu belakang. Tinggal Bu Nuni yang bingung sendiri.

"Mana Bapaknya, Bu?" ucap Pak Haji ketika Bu Nuni kembali ke ruang tamu. Ia tampak gugup. "Anu. Bapak sudah berangkat rapat! Maaf!" ucap Bu Nuni sekenanya.

"Aduh, sayang," ucap Pak Haji lagi. "Sebenarnya kita-kita ke sini cuma mau tanya. Kenapa teman-teman Ustadz Jojo di Jakarta setuju kenaikan listrik dan BBM! Cuma itu, kok, Bu!" jelas Pak Haji sambil sesekali tersenyum ramah. ([email protected])