Merawat Utang

Utang buat keluarga kadang mirip jamur. Tidak diharapkan tumbuh, tapi bisa muncul tiba-tiba. Bedanya, jamur tumbuh di tempat basah; tapi utang muncul di saat ‘kering’.

Kehidupan keluarga memang tak bisa lepas dengan persoalan uang. Makin dinamis sebuah keluarga, pergelutan dengan uang kian sengit. Di situlah persoalan mulai muncul. Karena tidak semua keluarga selalu ‘standby’ dengan yang namanya uang.

Pertanyaan berikutnya mulai membayang: mengurangi dinamisasi keluarga, atau cari pancuran baru agar uang tetap mengalir. Kalau pilihan pertama diambil, gerak keluarga jadi lambat. Tapi, jika yang kedua dipilih, jalan yang bisa diambil cuma satu: pinjam uang alias utang.

Masalahnya, tidak semua petinggi keluarga mampu menerjemahkan kata dinamika. Dinamika bukan lagi sebagai proses pengembangan dan investasi. Tapi menjadi gaya hidup. Dan ujung dari gaya hidup cuma satu: konsumerisme. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Pak Mul.

Bapak dua anak ini memang wajar kalau bingung. Pasalnya, pengeluaran rumah tangganya sering lebih besar dari pemasukan. Dari dua belas bulan, tidak separuhnya yang bisa impas. Selalu kurang. Dan bingung Pak Mul, justru berada pada posisi puncak ketika hari gajian datang. Aneh kan?

Buat orang kebanyakan, hari gajian bisa dibilang saat yang paling membahagiakan. Wajar. Karena di situlah segala kesulitan terpecahkan: bayaran sekolah anak-anak, belanja dapur, biaya listrik, telepon, ongkos mondar-mandir, dan mungkin sedikit utang.

Namun buat Pak Mul, justru pembayaran terakhirlah yang menyedot kebahagiaan hari gajian. Entah kenapa, anggaran utang bagi Pak Mul selalu di urutan tiga besar: belanja dapur, ongkos, utang. Apa gaji Pak Mul tergolong sangat kecil?

Kalau menggunakan ukuran UMR atau upah terkecil daerah setempat, bisa dibilang gaji Pak Mul lumayan besar. Berkisar antara dua koma delapan hingga tiga juta rupiah. Tergolong cukup buat keluarga beranak dua. Apalagi, baru satu anaknya yang sekolah. Itu pun di bangku TK. Biaya rutinnya biasa seperti keluarga lain: dapur, ongkos, listrik, susu anak-anak, dan kontrak rumah. Memang ada satu yang terpisah, yaitu telepon. Pasalnya, Pak Mul dan isteri menggunakan hand-phone.

Lalu, pengeluaran mana yang selalu menghasilkan utang? Itulah yang sering membingungkan Pak Mul. Yang jelas, isterinya selalu memberi laporan minus di akhir bulan. Kadang sepuluh, dua puluh, bahkan bisa tiga puluh persen dari gaji per bulan.

Pak Mul tidak pernah buruk sangka dengan isteri tercinta. Tidak pernah terpikir kalau isterinya bikin laporan palsu. Justru, ia kerap mengoreksi diri. Ia jadi kasihan sama isteri dan anak-anaknya. Memang, gaji segitu masih jauh dari layak buat keluarga di kota besar. Jangankan mikirin sekolah top buat anak-anak di tahun depan, buat hidup normal saja bingung seperti ini.

Di tiap gajian itulah, Pak Mul menyimpan bingungnya buat dirinya sendiri. Ia tidak ingin isterinya yang sudah repot-repot ngatur anggaran, mesti ikut mikirin uang tambahan. Pokoknya, kalau ada yang kurang, jawaban buat isteri Pak Mul cuma satu: diganti. Lha, Pak Mul dapat duit darimana? Soal itu pun jawabannya juga cuma satu: utang.

Ada beberapa sumber yang bisa digali Pak Mul. Bisa ke kantor, teman dekat, kakak atau adik, bahkan tetangga. Ketika pinjam uang itulah, Pak Mul memohon agar tidak disampaikan ke isterinya. Sekali lagi, karena kasihan. Yang diketahui isterinya, Pak Mul menutup kekurangan itu dari penghasilan tambahan. Bisa ngajar privat, minta lembur kantor; bahkan, dan inilah yang tidak pernah diketahui orang banyak termasuk isterinya: ngojek motor. Yang penting halal dan bermartabat.

Model pinjaman Pak Mul sudah membentuk lingkaran. Dari kantor buat bayar teman dekat. Dari teman dekat buat bayar kakak. Dan seterusnya. Orang biasa menyebut: gali lubang, tutup lubang, dan gali lagi. Bahkan pernah, Pak Mul lebih banyak menggali daripada menutup. Tapi syukurnya, bapak yang lebih banyak senyum dari marahnya ini tidak pernah kecebur lubang.

Seorang teman Pak Mul pernah ngasih nasihat. Isinya, Pak Mul diminta menanyakan ke isteri soal pengeluaran yang selalu kurang. Ketika Pak Mul menjawab kasihan; sang teman menambahkan, bisa jadi ada porsi pengeluaran yang kurang wajar. Kurang wajar? Ah, penghasilan saya yang kurang wajar! Jawab hati Pak Mul, prihatin.

Nasihat apa pun kalau sudah berurusan uang dan isteri, Pak Mul cuma bisa ngelus dada. Kadang ia menangis ketika menyaksikan isterinya sibuk seharian di rumah: belanja, masak, nyuci baju, ngurus rumah, mendidik anak. Tanpa pembantu. Apalagi baby sitter.

Ingin rasanya ia bisa berangkat kerja tidak terlalu pagi, dan pulang ke rumah tidak terlalu malam. Agar, bisa bantu meringankan kerjaan isteri. Dan kalau pun libur, waktunya nyaris habis buat kegiatan sosial. Ada pengajian, rapat organisasi, kerja bakti, bakti sosial, dan lain-lain. Hanya nyuci baju yang berhasil ia lakukan selama seminggu sekali.

Minggu pagi itu begitu cerah ketika isteri Pak Mul mengajak bicara. “Saya mau kerja, Mas,” ujarnya singkat. Mendengar itu, Pak Mul trenyuh. Air matanya nyaris menitik.

Hati-hati, Pak Mul berujar, “Apa kamu tidak capek, Dik?” Isterinya tampak senyum. “Kita bisa cari pembantu, Mas. Buat ngurus rumah dan anak-anak.” Pak Mul mulai menunduk. “Ada satu lagi, Mas, kenapa saya ingin kerja,” ucap sang isteri. “Apa, Dik?” tanya Pak Mul kian prihatin. “Supaya saya bisa punya slip gaji. Soalnya, saya ingin sekali bikin kartu kredit. Supaya belanja apa saja nggak repot-repot!”

Mendengar itu, Pak Mul diam seribu bahasa. Ia bingung, harus nangis atau kembali bingung.

([email protected])