Pembantu Baru


Mencari pembantu rumah tangga kadang mirip menyeleksi pembantu kepala negara. Perlu ketelitian agar pembantu dan yang dibantu bisa selalu cocok. Cuma bedanya, pembantu di keluarga tidak perlu volvo atau sedan lainnya. Pendidikannya pun tidak ada yang sarjana.

Gampang-gampang susah. Itulah yang bisa disimpulkan para ibu soal mencari pembantu rumah tangga. Gampang karena kriteria pembantu tak perlu jelimet. Tak perlu visi-visian. Tak perlu pendidikan khusus. Tak perlu wajah menarik. Usia pun bisa fleksibel. Yang penting, sehat dan masih punya tenaga.

Tapi, urusan segampang itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Rumit. Bahkan, bisa ‘makan’ hati. Hal itulah yang kerap dialami Bu Desi.

Ibu tiga anak ini perlu banyak sabar dalam soal pembantu. Entah sudah berapa belas pembantu yang sempat kerja, tapi selalu nggak cocok. Bu Desi sendiri bingung kenapa mesti selalu begitu. "Saya yang salah, atau…," ungkapan ragu Bu Desi ketika lagi-lagi tak ada kecocokan.

Pernah ada pembantu yang kerja di rumah Bu Desi. Usianya empat belas tahun. Masih satu kampung sama Bu Desi. Sebenarnya, Bu Desi agak keberatan dengan usia semuda itu. Tapi karena anak yatim, dan perlu meneruskan sekolah, Bu Desi tidak keberatan. Selain dapat gaji, kamar, dan makan; ibu yang juga pegawai kantor ini rela membiayai sekolah pembantunya. "Hitung-hitung menolong anak yatim!" ucap Bu Desi ke seorang tetangga suatu kali.

Satu bulan berjalan normal. Pembantu Bu Desi bisa membagi waktu: antara kerja dan belajar. Toh, kerjaannya pun tidak berat. Cuma menjaga anak-anak di rumah. Sementara, soal masak masih dipegang Bu Desi. Bu Desi dan suami pun bisa tenang berangkat kerja. Tak bingung lagi soal siapa yang ngurus tiga anaknya yang masih SD.

Ketidakcocokan mulai terjadi ketika ada pemuda datang ke rumah Bu Desi. "Ada Wati, Bu?" ucapnya ramah. Bu Desi agak bingung. Ada perlu apa seorang pemuda datang jam delapan malam. "Teman sekolah Wati?" tanya Bu Desi. "Iya!" jawab si pemuda spontan. "Ada perlu apa?" tanya Bu Desi lagi. Ia mengira, tamu itu mau nanya soal pelajaran sekolah. Tapi, sambil cengengesan si pemuda itu bilang, "Mau ngajak nonton, Bu! Sudah janjian!"

Astaghfirullah! Bu Wati kaget. Gimana mungkin bocah empat belas tahun, baru satu bulan di Jakarta; sudah bisa janjian nonton. Usut punya usut, sudah dua pekan pemuda tadi biasa mampir ke rumah Bu Desi. Dan itu di saat Bu Desi dan suami masih di kantor. Padahal, tiap selesai salat Subuh, Bu Desi kerap memberikan pengajian khusus buat sang pembantu. Dengan sangat terpaksa, Bu Desi mengembalikan Si Wati ke kampungnya. Tapi, ia tetap terus ngasih biaya sekolah. "Itu lebih tenang buat saya, Mas," ucap Bu Desi ke suaminya.

Sepekan setelah itu, Bu Desi dapat pembantu baru. Usianya sekitar lima puluhan. Cukup tua buat seorang pembantu wanita. Tapi buat Bu Desi, hal itu nggak masalah. Justru ia berharap, orang seperti itu lebih pengalaman, tekun, dan tidak was-was urusan pergaulan. Bu Desi juga senang karena pembantu barunya itu pandai masak.

Karena masih satu RW, pembantu baru ini biasa pulang pergi ke rumah Bu Desi. Jam setengah enam pagi, ia sudah ketuk pintu depan rumah Bu Desi. Dan kesibukan pun dimulai: memandikan anak-anak, cuci piring, cuci pakaian, dan siangnya memasak. Inilah tugas yang sebelumnya biasa dipegang Bu Desi. Sang pembantu baru pamit pulang menjelang Maghrib. Karena saat itu, Bu Desi sudah di rumah.

Kelihatannya memang normal. Hingga setelah empat bulan, ada yang aneh dengan pengeluaran masak rumah Bu Desi. Ia heran, stok sembako sebulan cuma bisa bertahan dua pekan. Mulai dari beras, gula, minyak goreng, makanan kaleng, bahkan susu anak-anak.

Awalnya, Bu Desi tidak curiga. Ia justru bersyukur karena anak-anak sudah doyan makan. Tak perlu vitamin tambahan lagi seperti yang ia berikan untuk anak-anak. Tapi, kok perubahannya begitu drastis. Apa masakan pembantunya begitu disukai anak-anak sehingga mereka menjadi rakus. Kayaknya nggak mungkin. Bu Desi mulai gelisah.

Suatu siang, Bu Desi izin kantor untuk pulang. Ia begitu penasaran kenapa anak-anak begitu banyak makan. Setiba di rumah, tiga anaknya memang sedang asyik makan. Tapi, pembantunya tak di tempat. "Bibi kemana, Nak?" tanya Bu Desi ke anak-anak. "Pulang, Ma!" jawab ketiganya hampir bersamaan. "Ngapain?" tanya Bu Desi lagi. "Bawa makanan ke rumah Bibi!" ucap si sulung sambil makan.

Deg. Bu Desi mulai gelisah. Kegelisahan itu kian menjadi ketika si sulung cerita kalau kegiatan bawa makanan itu sudah berlangsung lama. "Ya Allah…!" Bu Desi lemas. Ia terduduk lunglai mendengar itu. Bukankah gaji selama ini dibayar tepat waktu. Dan gaji itu tergolong besar buat umumnya pembantu di Jakarta. Tapi, kenapa mesti bawa-bawa makanan segala. Kenapa nggak minta dengan baik-baik. Seribu satu tanda tanya bergelayut di kepala Bu Desi. Lagi-lagi, Bu Desi mengalami ketidakcocokan dengan pembantunya.

Seminggu sudah pembantu baru Bu Desi bekerja. Tidak terlalu muda, juga tidak terlalu tua. Perilakunya pun baik. Tidak bawa-bawa makanan karena rumahnya jauh di kampung. Tekun dan sabar.

Hingga suatu hari, Bu Desi mengajak anak-anak dan pembantu salat Maghrib. "Bi, salat bareng, yuk!" ajak Bu Desi ke sang pembantu. "Maaf Bu. Saya tidak salat!" jawab pembantu Bu Desi sambil senyum. "Lagi halangan, ya?" tanya Bu Desi tak kalah ramah. "Maaf Bu. Saya agama lain!" jawab pembantu Bu Desi lebih ramah lagi. Mendengar itu, Bu Desi cuma bisa bengong.

([email protected])