Tabungan Keluarga


Semua keluarga pasti ingin hidup sejahtera. Sejahtera ruhani, sejahtera materi. Atau, terpenuhinya segala kebutuhan ruhani. Hati begitu damai. Tak ada gelisah. Tak ada resah dan marah. Begitu pun dengan materi. Cukup. Bahkan, lebih. Ketika itulah, keluarga berpikir untuk menabung.

Sebagian keluarga, menabung sebagai bentuk dana cadangan. Bagaikan kapal yang sedang berlayar, selalu siap dengan bahan cadangan. Apa pun halangan yang akan menghadang. Mungkin akan ada musibah yang menuntut biaya. Ada kenaikan harga kebutuhan pokok yang serba mendadak. Biaya pendidikan sekolah yang tak pernah turun. Masih ada tuntutan dana lain yang tak terduga.

Sebagian keluarga lain, menabung bukan sekadar persiapan dana cadangan. Tapi, lebih karena tuntutan pemahaman. Keluarga ini takut kalau mereka terjebak pada gaya hidup boros. Kapan sih kebutuhan terasa cukup? Hampir tak pernah. Selalu saja merengek, meminta, dan menuntut. Hingga, terpatri pada pola pikir keluarga yang dipermainkan gaya dan trend ini, kalau mereka tak pernah cukup. Selalu kurang. Miskin, dan tak berdaya.

Ada lagi keluarga lain yang menjadikan tabungan bukan sekadar cadangan dan tuntutan pemahaman. Melainkan, juga investasi. Keluarga ini tidak cuma menyimpan uang di balik kasur, laci lemari, atau bank. Mereka menanamkan uangnya buat bisnis. Bisa dikelola sendiri, bisa juga oleh orang lain. Pada taraf tertentu, mereka punya target yang cukup maju: mereka tidak bekerja untuk uang. Tapi, uang yang bekerja untuk mereka.

Repotnya, ketika sebuah keluarga justru bingung ketika tabungannya mulai bisa diperhitungkan. Artinya, dalam satu tahun, tabungannya bisa buat beli tivi, motor, bahkan nyicil mobil. Setidaknya, itulah yang dialami Bu Nunung.

Kebingungan ini memang terkesan aneh. Biasanya, orang begitu senang kalau tabungannya lumayan. Ia tak lagi repot-repot kalau ada kebutuhan mendadak. Tinggal ngelongok tabungan, urusan beres.

Ternyata, ada kebingungan tersendiri buat Bu Nunung. Mau diapakan uang senilai harga dua motor bebek yang paling murah. Soalnya, belum pernah Bu Nunung dan suami punya tabungan sebanyak itu. Biasanya, paling tinggi senilai uang bayaran enam bulan di sekolah dasar terpadu Jakarta.

Jumlah luar biasa tabungan ibu tiga anak itu pun lahir tak disengaja. Jangankan dengan perencanaan dan pengaturan keuangan yang jelimet, pernah terpikir saja nggak. Paling-paling, ia bisa menyisihkan uang belanja sekitar tujuh puluh ribuan sebulan.

Tahun ini, Allah swt. ternyata melimpahkan rezekiNya buat Bu Nunung dan keluarga. Di luar dugaan, mantan murid pengajian Bu Nunung ngasih hadiah lumayan besar. “Terserah Bu Ustadzah, buat apa aja. Buat pergi haji, silakan. Buat beli motor, monggo. Buat biaya kontrak rumah empat tahun juga nggak papa,” ucap sang murid suatu kali. Hadiah itu diserahkan ke Bu Nunung setelah sang murid dapat gusuran rumah lumayan besar. Ternyata, ia memang sudah lama prihatin dengan keluarga guru ngajinya. Ia pernah niat, kalau Allah ngasih rezeki, akan saya kasih sekian persennya buat Bu Nunung. Dan, doa itu ternyata terkabul.

Bu Nunung bingung sendiri. Ya Allah, buat apa uang ini. Hampir satu tahun uang itu dibiarkan apa adanya. Mau pergi haji, tanggung. Soalnya, masih kurang sekitar sepuluh jutaan. Itu pun cuma buat biaya satu orang. “Lha, masak pergi haji sendirian. Kasihan dong, suami,” ucap Bu Nunung ke seorang teman. Mau beli motor bagus, bingung nyimpannya. Rumah petaknya nyaris tak menyisakan halaman. Lagian, pespa suaminya masih lumayan gesit. Sepertinya, ada pengecualian bagi pencuri buat motor pespa. Ditaruh di luar pagar juga nggak pernah hilang. Paling-paling lecet kesenggol gerobak yang lewat.

Pernah kepikir Bu Nunung buat modal dagang. Kasihan suami. Pekerjaannya cuma jadi guru, gajinya kecil. Sementara, Bu Nunung cuma bisa bantu-bantu ngajar privat baca Alquran. “Mas, gimana kalau duit tabungan kita buat modal dagang. Bisa nggak?” tanya Bu Nunung ke suami. Ia berharap, suaminya sudah punya ancang-ancang mau bisnis apa. Tapi, yang ditanya cuma diam. Lebih tepatnya, bingung.

Suami Bu Nunung memang hampir-hampir tak pernah berbisnis. Hampir seluruh waktunya tercurah buat ngajar. Pagi ngajar SD, siang SMP. Selain itu, suami Bu Nunung memang tak punya bakat bisnis. Kesimpulan itu terpatri ketika beberapa kali ia gagal mencoba dagang. Ujung-ujungnya cuma kerja bakti. Itu pun masih bagus. Seringnya, rugi total.

Gimana dengan Bu Nunung sendiri? Ibu usia menjelang empat puluhan ini pun menggeleng. Mau bisnis apa? Garis bakatnya memang nyaris mirip dengan suaminya. Susah dagang. Pernah ia memaksakan diri. Tapi, ia lebih banyak nggak teganya daripada hitungan untung ruginya. Bayangkan, harga kontan bisa sama dengan nyicil. Kadang, Bu Nunung nggak tega nagih utang konsumennya. Pasalnya, ia khawatir akan memberatkan. Kalau begitu, gimana mau untung.

Siang malam Bu Nunung dan suami jadi gelisah. Bingung. Mau diapakan uang itu. Lama-lama simpan di bank ia jadi khawatir. Takut kalau-kalau ada krisis moneter susulan. Gimana nasib uangnya kalau bank tempat menabung tiba-tiba dinyatakan bangkrut.

Mau simpan di rumah lebih bingung lagi. Mau ditaruh di mana? Di lemari, nggak ada kuncinya. Sudah jebol. Lagian, ia khawatir kalau-kalau terpakai terus. Nggak terasa, tahu-tahu uangnya sudah habis. “Wah, boros!” suara Bu Nunung dalam hati.

Akhirnya, Bu Nunung pasrah. Ia jadi tersadar sendiri. Mungkin, ini hikmahnya kenapa Allah memberikan takaran rezeki seperti biasanya. Baru kali ini ia dan suami bingung. Bingung banget. “Ah, tabungan!” lagi-lagi suara Bu Nunung prihatin.