Ungkapan Sayang


Sayang seorang isteri kadang seperti larutan gula dalam secangkir teh hangat. Harus pas sesuai takaran. Kalau kurang, teh akan terasa pahit. Dan kelebihan, teh hangat bisa merusak kesehatan.

Wanita punya takaran emosi yang lebih besar dari laki-laki. Begitulah sebagian pengamat psikologi mengatakan. Sebagai apa pun: ibu, isteri, anak, tenaga profesional; sentuhan emosi wanita jauh lebih dominan dari nalarnya. Inilah mungkin di antara rahasia keseimbangan yang Allah berikan buat kelanggengan hubungan suami dan isteri. Setidaknya, hal itulah kerap dirasakan Bu Weni.

Dianggap wajar atau tidak, ibu satu anak ini begitu besar ungkapan sayangnya pada suami. Lho, apa yang salah kalau seorang isteri sayang sama suami. Wajar, kan. Bahkan, harus.

Sekilas, argumen itu memang benar. Tapi, apa yang dirasakan Bu Weni terasa lain. Bu Weni merasa sangat sangat sangat sayang sama suaminya. Sangat tertulis tiga kali.

Nah, sangat dengan tiga kali inilah yang justru merisaukan Bu Weni sendiri. Entah kenapa, ia selalu khawatir kalau terjadi apa-apa dengan suaminya. Dialah yang pertama kali tidak setuju ketika ayah mertuanya mau membelikan sepeda motor buat suaminya. Padahal, suaminya sudah biasa naik motor sejak di bangku SMA.

Alasannya sederhana. Sepeda motor punya resiko kecelakaan lebih besar daripada yang lain: kendaraan umum, mobil pribadi, sepeda, termasuk jalan kaki. Kalau bus ditabrak, tidak langsung mengenai penumpang. Kalau pun kena, paling-paling cuma lecet. Tapi, kalau motor, yang hancur bukan cuma motornya. Orangnya pun bisa ringsek. Paling kecil, patah tulang.

"Kan jalannya pelan-pelan, Dik!" sergah suaminya suatu kali. Tapi, Bu Weni tetap menolak. "Pokoknya nggak setuju!" tegasnya ke suami. Karena sudah terlanjur dibelikan ayah, sepeda motor pun cuma jadi pajangan di rumah Bu Weni. Dibunyikan tiap hari, tapi dipakenya seminggu sekali. Itu pun cuma berkisar di jalan kampung.

Tiap jam tujuh malam suami Bu Weni biasa tiba di rumah. Itulah momentum yang paling membahagiakan Bu Weni. Ia sangat gelisah kalau lebih dari satu jam suaminya tak juga muncul dari kantor. Tanpa pesan, tanpa kabar.

Pernah Bu Weni dibuat panik. Bayangkan, jam sepuluh malam suaminya belum juga nongol. Sudah telepon kantor, yang ngangkat cuma satpam. "Kantornya sudah tutup, Bu!" ujar sang satpam. Telpon ke mertua bukan tambah jelas. Justru makin meresahkan. "Emangnya suamimu ndak bilang-bilang mau kemana?" jawab ibu mertua Bu Weni tak kalah panik.

Kalau tidak karena suami Bu Weni tiba lebih cepat, ia sudah lapor ke polisi. Kebingungan Bu Weni pun reda ketika sang suami menjelaskan. Ia pulang telat karena bus yang ia tumpangi mogok kerja lantaran tuntutan kenaikan tarif. Mau naik taksi, nggak cukup ongkos. Naik ojek, dimarahi isteri. Terpaksa, suami Bu Weni jalan kaki. Cuma selisih tiga jam, kok.

Bu Weni sendiri bingung kenapa ia begitu khawatir. "Mungkin karena Bu Weni terlalu sayang sama suami," jawab seorang teman suatu kali. Benarkah?

Kadang sempat terbersit dalam benak Bu Weni, bagaimana kalau suaminya meninggal dunia. Ia jadi janda. Bingung membesarkan anak. Walau mertua Bu Weni lumayan berada, ia tetap tak akan betah tinggal bersama mertua. Apalagi tidak bersama suami. Gimana kalau tinggal sama orang tua sendiri. Bu Weni tak sreg hidup serumah dengan ayah tiri. "Duh, jangan sampai Allah mencabut nyawa suami lebih dulu daripada nyawaku sendiri," ucap batin Bu Weni suatu kali.

Dan ternyata, ujian pun datang. Suami Bu Weni diwajibkan ikut kemping ke Gunung Salak. Itu dalam rangka peningkatan mutu karyawan kantor tempat suami Bu Weni kerja. Orang biasa menyebutnya ‘Outbond’.

Kedengarannya bagus. Tapi, kalau membaca detil acaranya, Bu Weni bingung. Bayangkan, peserta dilarang bawa tenda. Cukup bawa ponco atau jas hujan. Lha, tidurnya di mana? Peserta bisa tidur di rumput mana pun dengan sleeping bag, kantong tidur. Makannya? Apa di situ ada tukang nasi? Lagi-lagi, Bu Weni harus kecewa. Pasalnya, lokasi kemping benar-benar di dalam hutan lindung. Biar namanya hutan lindung, tetap saja hutan. Ada ular, macan, kalajengking, pacet, bahkan jin. Peserta dilatih memanfaatkan alam sekitar untuk dijadikan makanan. Itu biasa disebut survival.

"Nggak bisa izin sakit, Kak?" tanya Bu Weni ke suaminya. Dengan enteng suami menjawab, "Tetap harus ikut kalau sudah sembuh!"

Hari keberangkatan pun tiba. Setelah pamitan, Bu Weni cuma bisa memandangi suaminya naik taksi menuju kantor. Tiga hari, ia akan kehilangan suami. Kalau masih jodoh, ia bisa ketemu lagi. Tapi kalau tidak, itulah perpisahan terakhir. Bu Weni menangis.

Menjelang malam, Bu Weni belum bisa berhenti dari tangis. Hujan turun begitu deras. Halilintar menyambar-nyambar. Glegar! Bu Weni tak bisa membayangkan seperti apa keadaan suaminya. "Ya Allah, lindungi suami saya!"

Tiba-tiba, ia menemukan sebuah surat. Di situ tertulis, ‘wasiat buat isteriku tersayang’. Surat itu ia buka. Ia baca, dan…, "Hu…hu…hu…." Bu Weni menangis sejadi-jadinya. Kepalanya tiba-tiba pusing. Ia pun nyaris pingsan kalau saja tidak mendegar suara pintu diketuk orang. "Assalamu’alaikum!"

Ia tiba-tiba gembira. Dari balik pintu, tampak suaminya basah kuyup. "Nggak jadi, Dik. Gunungnya ditutup buat umum!" Spontan, terdengar suara lembut mengalir dari bibir Bu Weni, "Alhamdulillah! Alhamdulillah! Alhamdulillah! Semoga gunungnya nggak dibuka-buka!" ([email protected])