Catatan Iedul Adha Dari Washington

Sudah berkali-kali aku mendengar kisah Nabi Ibrahim, tapi hari baru kali ini aku ingin menangis.

Di Islamic Center of Kent, Washington, USA, kisah itu hari ini diperdengarkan lagi oleh khotib muda yang berwajah cerah itu. Aksen Inggrisnya membuat siapa saja bisa menebak bahwa dia berasal dari daerah timur tengah. Meski bisa mengikuti dengan baik, ada beberapa bagian yang membuat saya harus berkonsentrasi penuh agar paham.

Pemanas ruangan di masjid kecil itu tak mampu mengusir hawa dingin akhir musim gugur menjelang winter—di negeri yang selalu dingin sepanjang tahun ini. Wajarnya, dikhotbahi pagi-pagi dalam cucaca dingin sedemikian rupa setiap orang pasti terkantuk. Tapi ketika kuangkat kepala dari menatap lantai, kulihat semua orang di kiri kananku takzim mengikuti kotbah. Dari barisan depan sudah banyak yang terisak. Beberapa orang sudah mengusap punggung tangan ke mata. Tadinya kupikir aku sendiri yang memerah matanya.

Lima hari lagi genap sudah tiga bulan aku di sini. Tapi sampai sekarang belum juga aku terbiasa dengan cuacanya, terutama hawa dinginnya yang kadang mencapai 3 derajat  celcius di pagi hari. Tak tahulah aku bagaimana jadinya winter nanti, jika masih musim gugur ini saja suhunya sudah drop sebegitu.

Hawa dingin itulah yang membuat aku tadinya malas berangkat. Shalat Ied yang dimulai jam delapan membuat saya harus bangun pagi-pagi dan segera mandi, lalu keluar rumah ketika hari masih remang-remang. Disini, di akhir bulan November ini, jam tujuh pagi masih gelap dan jam lima sore sudah gelap lagi. Kadang-kadang hujan turun sepanjang hari. Matahari tidak muncul bisa sampai berhari-hari.

Keluar dari apartement aku harus berjalan cepat-cepat ke pemberhentian bus untuk mengejar bus 166 menuju Kent Station. Lalu kemudian mendekam di bawah halte bus Kent Station dalam belaian angin basah yang berdesau-desau, sekitar sepuluh menit menggigil disana hingga bus 169 menuju Renton membukakan pintunya, tepat jam tujuh tiga puluh. Parahnya lagi hari ini tadi hujan—seperti kebanyakan hari-hari sebelumnya—(oh ya, welcome to Seattle. Disini dalam setahun sembilan bulannya hujan.)

Ada alasan yang bagus untuk tidak pergi ke masjid untuk sholat idul Adha hari ini tadi. Pertama sholat Ied itu sunnah, jadi boleh saja ditinggalkan. Apalagi untuk melakukannya banyak rintangan. Kedua, hari hujan. Katanya kalau hari hujan boleh tidak ke masjid. Ketiga, sebenarnya hari ni aku ada kelas. Aku kan sedang menuntut ilmu. Ada pernah aku dengar bahwa itu bisa jadi excuse.

Tapi bagaimanapun juga, tetap saja hati kecil saya berkata saya harus ke masjid.Bukankah itulah maknanya perngorbanan dari hari raya kurban ini? Karenanya sejak kemarin saya sudah siap-siap.

Saya izin dengan dosen untuk tidak masuk hari ini. Saya jelaskan bahwa ini adalah holiday buat kami Muslim. Dia bilang “That’s really fine.” Dia Cuma beri saya tugas.

Sebenarnya disini sudah ada yang merayakan idul Adha kemarin. Bahkan di masjid yang sama tempat saya sholat hari ini, kemarin juga diadakan sholat idul adha. Ada dua kubu besar di sini, antara kelompok arab dan kelompok Somalia. Seperti Muhammadiyah dan NU kalau di Indonesia. Tapi bedanya, disini mereka sholat di masjid yang sama dan tidak pernah ribut. Mereka saling menghormati pendapat orang lain. That’s not a big deal. Tidak seperti di negeri kita yang bisa jadi ribut besar-besaran.

Saya memilih sholat hari ini karena sebagian besar jamaah masjid Kent merayakannya hari ini. Meski tidak penuh—bahkan tidak sebanyak jamaah sholat jum’at—sholat Ied hari ni berjalan lancar dan khidmat. Dan seperti yang kubilang tadi, khutbahnya begitu menyentuh.

Kisahnya sama. Tentang Nabi Ibrahim yang hanif, yang telah memiliki sifat-sifat kenabian semenjak ia kecil. Yang hidup di tengah-tengah komunitas yang rusak. Yang berani menghancurkan berhala-berhala. Yang dibakar tapi tidak terbakar. Yang menikah dengan siti Hajar, lalu tanpa putus asa terus bersabar menunggu selama delapan puluh tahun untuk dikarunia Ismail yang diberkati.

Lalu tentang perintah Allah untuk meninggalkan anak istrinya di lembah antah berantah , yang panasnya bukan main kalau siang lalu gulita ketika malam sampai tidak terlihat telapak tangan di depan wajah. Lalu tentang kisah mahsyur mengenai peristiwa yang mendasari hari raya Kurban. Peristiwa ketika Ibrahim hendak menyembelih anak kesayangannya karena perintah Allah, yang setiap muslim pasti pernah mendengarnya.

Semua sama seperti yang sejak kecil sudah ku dengar dari mulut khotib di masjid kampungku yang terbata-bata membaca tulisan arab gundul di kitab kuning tua kebanggaannya.

Tapi hari ini kisah itu terasa jauh lebih menyentuh. Entah karena khotibnya yang dengan merdu mengutip ayat-ayat Alqur’an sehigga kutbahnya terasa lebih khusuk, atau karena kelihaiannya memilih kata-kata.

Tapi kukira yang paling penting, sang imam waktu itu selalu mengaitkan apa-apa yang disampaikannya dengan apa yang terjadi dengan kehidupan sehari-hari disini. Dia membuat siapa saja tertohok dan merasa malu sendiri pada Ibrahim. Pengorbanan yang ia lakukan begitu besar, membuat apa-apa yang kita lakukan selama ini untuk Allah terasa tidak ada apa-apanya.

Bagi saya sendiri, sang Khotib membuat sosok Ibrahim menjelma raksasa dan saya kerdil di ujung kakinya. Saya sering berpikir bahwa ada alasan baik bagi saya jika saya tidak beragama dengan baik disini, sebab saya tinggal di lingkungan yang sangat tidak kondusif.

Tinggal di negeri “bebas’ ini, kemana pun wajah mengarah disitu terlihat pemandangan yang haram. Kemana pun kaki menuju selalu bertemu tempat maksiat. Tidak ada yang melarang jika ingin berbuat dosa. Tidak ada yang mengingatkan jika kita salah jalan. Tidak ada yang disegani jika hendak mangkir. Jadi wajar jika saya tidak bisa “alim-alim amat”.

Tapi Ibrahim menertawai saya, sebab ia hidup di komunitas yang lebih parah. Tapi ia tidak lemah seperti saya dan tidak berpikir bahwa wajar jika ia tidak alim-alim amat.

Disini saya sering merasa sedih ketika harus bertemu rintangan ketika hendak menjalankan agama. Kadang waktu kuliah atau program lain yang konflik dengan waktu sholat sehingga menyulitkan. Pernah saya dituduh tanpa izin meniggalkan kelas untuk sholat.

Pernah saya tidak sholat jumat karena tidak bertemu masjid yang yang tadinya sudah dicari di Google Map, gara-gara harus menyesuaikan dengan suatu acara di luar kampus. Berkali-kali saya mesti sholat di luar ruangan seperti di tempat parkir, di emperan gedung kuliah, bahkan di dekat WC (saya sudah terbiasa melakukannya sekarang). Belum lagi pandangan orang yang menatap aneh kalau saya lagi sholat, atau dengan terang-terangan menertawai.

Tapi Ibrahim berkata, pernahkah kamu mau dibakar gara-gara itu? Tidak bukan?

Ya benar. Sekarang saya benar-benar merasa malu sendiri. Itu belum ada apa-apanya dengan apa yang dialami Ibrahim. Selama ini saya terlalu melankolik. Saya juga terlalu banyak mencari pemakluman. Terlalu banyak mencari kemudahan yang cenderung menjadi memudah-mudahkan. Saya tidak melakukan “try the best” sebelum mengatakan ‘ini uzur”. Padahal ada banyak orang yang mengalamai jauh lebih berat dari saya.

Itulah yang pelajaran yang saya dapat di hari raya Idul Adha pertama saya di negeri orang. Sungguh, itu tidak saya temukan pada waktu merayakannya di tanah air. Disini lebarannya tidak ada yang istimewa. Tidak ada acara khusus, tidak ada makanan khusus, dan tidak ada pakaian khusus. Bahkan tidak terasa seperti lebaran. Namun dalam semua kesederhanaan itu, aku justru mendapat pelajaran yang tidak kutemukan dalam meriahnya lebaran di kampung halamanku.

***
Selesai shalat semua orang berpeluk-pelukan sambil mengucapkan “Ied mubarrak”. Suasananya penuh keakraban. Bagi saya sensasinya tak kalah syahdu meski tidak berkumpul dengan keluarga, tak ada ketupat, tak ada opor, tak ada daging kurban, bahkan tak ada makanan yang mau dimakan kalau pulang nanti. Aku tidak merasa berada di negeri orang lain, meskipun hanya beberapa orang saja yang kukenal dari jamaah itu. Sebab di manapun tempatnya, di dalam masjid semua orang serasa keluarga.

Aku ingin sekali menyambangi sang imam yang telah menyampaikan khutbah yang indah tadi. Tapi rupanya yang berpikir begitu bukan hanya saya. Banyak sekali orang yang mengantri untuk bersalaman dan memeluknya. Saya termasuk yang terakhir yang mengucapkan ied mubarrak, lalu seperti kebiasaan orang disini – bersalaman dan berpelukan kiri-kanan tiga kali. “Thank you for the inspiring speech, brother,” kata saya.

Pulangnya saya naik bus lagi. Masih dingin dan angin masih bertiup berdesau-desau. Di halte saya bertemu Abdullah, nama hijrah seorang pemuda native America yang memeluk Islam beberapa tahun yang lalu. Orangnya tinggi besar, tampan dan gagah. Di depannya membuatku selalu sadar kalau aku pendek dan hidungku pesek. Aku biasa satu bus dengan dia setiap pergi sholat jumat. Kami selalu mengobrol lama kalau bertemu.

Sama seperti aku, rupanya dia juga sangat tersentuh dengan kutbah hari ini. Dia bilang kosep “sacrifice” Ibrahim sangat menyentuhnya. “What have we sacrificed so far, brother?” tanyanya retoris, tanpa bisa aku jawab apa-apa.

Di Kent station kami berpisah karena dia akan mengambil bus yang berbeda. Sebelum pergi dia menyalamiku dan mengucapkan salam, lalu berlari mengejar busnya yang sudah menunggu di Bay 8.

Aku mengiringi Abdullah berlari dengan tatapan mata. Aku kagum pada ketaatan pemuda itu. Kata-katanya terngiang lagi di telingaku. “What have we sacrificed so far?”

Entah mengapa tiba-tiba aku merasa malu pada Abdullah. Sebab selama mengenalnya, seingatku aku belum pernah mendengar ia mengeluh tentang sulitnya menjalankan agama di sini. Bukankah pasti juga berat baginya? Pasti sulit baginya harus keluar dari agama keluarganya, keluar dari kegemerlapan kehidupan Amerika yang sudah ia kenal seumur hidupnya, untuk masuk Islam dan dengan taat menjalankannya. Bahkan lebih taat dari sebagian besar orang yang lahir sebagai muslim seperti saya, atau bahkan yang datang dari negeri-negeri dimana agama ini diturunkan. Iya benar, ia tidak pernah mengeluh sekalipun soal itu.

Abdullah adalah contoh yang sangat “dekat”. Dia bukan dari golongan sahabat rasul yang hidup di jaman nabi. Dia juga bukan orang alim “di suatu kampong pada suatu masa” seperti kisah-kisah yang sering aku dengan pada taklim-taklim. Dia anak jaman ini, yang ada di depan mata saya. Dia adalah orang yang sudah mengorbankan banyak hal, tapi tetap saja berkata “what have we sacrificed so far?”.

Ah, sepertinya dia sengaja menyindirku. What have I sacrificed so far? Bukankah tadi pagi aku nyaris tidak pergi ke masjid hanya gara-gara dingin dan hujan. ***

Riverwood, Kent, 11/17/2010

Agusmantono
[email protected]