How Can They Come to Germany? (1)

Pertanyaan di atas sebenarnya juga patut saya tujukan pada diri saya sendiri. Kadang saya suka mengingat bagaimana sebenarnya awal saya ke Jerman ini dan kenapa Jerman. Baiklah, sekilas untuk mengetahui kenapa saya memilih Jerman untuk menjadi salah satu tempat kaki saya pernah berpijak.

Ketika saya dahulu mau masuk SD, maka ibu saya membawa saya melamar ke SD teladan di daerah saya. Saya pun tidak lulus masuk SD tersebut. Ibu saya mengatakan bahwa itu dikarenakan saya hanya mampu menjawab dengan benar satu dari dua pertanyaan yang diajukan oleh penguji kepada saya. Saya masih ingat pertanyaannya, yaitu mengenai gambaran atau ciri fisik Pak Habibie. Saya sendiri ketika itu tidak tahu siapa B.J. Habibie walau beliau sudah menjabat Menristek dan sudah cukup dikenal oleh rakyat Indonesia.

Jadi ketika menjawab pun saya hanya menebak, satu benar dan yang satu lagi salah. Walau masih kecil, saya sudah bisa merasakan kekecewaan ibu saya ketika menerima kenyataan anaknya tidak lulus masuk SD teladan di daerah. Semenjak itu saya pun mencoba ingin tahu siapa orang yang hanya karena saya tidak tahu ciri fisiknya menyebabkan saya tidak bisa memenuhi harapan ibu saya. Dari situlah saya mengetahui bahwa salah satu ilmuwan Indonesia ini pernah studi di Jerman.

Ketika membaca cerita mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, saya banyak menemukan sosok-sosok dari Jerman berada di balik konsep-konsep penting dalam ilmu pengetahuan alam dasar. Jadi kemudian saya berpikir rasanya tidak berlebihan bila ingin belajar mengenai konsep-konsep dasar tersebut, Jerman adalah pilihan pertama. Apalagi masa kecil saya yang seolah orang-orang di sekitar dunia pendidikan saya menyemangati anak didiknya dengan sosok Habibie, membuat saya tanpa sadar menyisihkan memori otak saya untuk ditempati oleh nama sebuah negara, Jerman.

Tetapi bila sekarang mengingat kembali kisah saya ketika mau masuk SD itu, saya sendiri juga aneh. Apa memang karena tidak mampu menjawab dua pertanyaan itu alasan saya tidak diterima. Dan kalaupun memang itu alasannya, rasanya cukup aneh juga pertanyaan itu ditujukan pada anak kecil yang masih sibuk dengan kegembiraannya ketika memiliki kelereng susu dan kelereng planet untuk bermain bersama teman-temannya. Rasanya pertanyaan yang lebih tepat adalah apakah bentuk kelereng itu bola atau elips.

Gangga, begitulah namanya. Ketika pertama kali mengetahui namanya, saya langsung berkomentar, "Oh..the river“, ia pun tersenyum sambil sedikit tertawa. Cara bicaranya mengingatkan saya pada teman kuliah saya, Chandra. Ya, Gangga juga berasal dari Nepal. Chandra sendiri dahulu menyelesaikan bachelors-nya di India. Teman kuliah saya lainnya yang satu tahun di atas saya, Nar, dari Bhutan, menyelesaikan bachelors-nya juga di India. Nar pernah bercerita mengenai kondisi Bhutan yang konturnya pegunungan. Betapa sarana transportasi tidak terlalu memadai untuk mencapai setiap pelosok daerah itu. Terakhir saya bertemu dengannya, Nar berencana untuk membeli rumah di pusat kota, walau harganya amat mahal dikarenakan banyak orang merasa sulit tinggal di tempat asli mereka karena sulitnya akses ke tempat-tempat penting. Kesan saya terhadap negara di garis Himalaya ini adalah bisa dibilang lingkungan yang cukup terasing. Chandra sendiri kampung asalnya juga di pegunungan. Ia sudah pernah mendaki Himalaya. Jadi ketika saya bertemu Gangga, maka saya langsung menanyakan apakah dia juga menyelesaikan undergradute-nya di India.

Gangga kemudian menjawab bahwa ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jepang. Ia pun melanjutkan bahwa ia di Jepang hingga menyelesaikan master, doktor, dan sempat pula beberapa tahun melakukan post-doctoral. Saya tentu kagum mendengarnya. Saya pun menanyakan apakah dia bisa berbahasa Jepang. Dengan yakin ia menjawab bahwa ia bisa melakukan apa saja dengan bahasa Jepang. Ya, ia menguasai bahasa ini. Bagi saya yang masih heran bagaimana orang bisa menggunakan bahasa yang huruf-hurufnya terkesan aneh, tentu patut bertanya pula bagaimana pengalaman orang yang pernah mempelajari bahasa ini.

Gangga menceritakan bahwa sebelum ke Jepang ia pernah mempelajari bahasa Jepang di Nepal. Ia katakan awalnya memang sulit. Tetapi ketika sudah di Jepang, ia mempelajari bahasa ini dengan intensif. Ia juga ikut kursus, tetapi ia menekankan usaha sendirinya untuk secara mandiri mempelajari bahasa ini. Ia katakan bahwa ia tertarik mempelajari bahasa yang sama sekali baru dan berbeda dari yang pernah dikenalnya. Jadi inilah alasannya ketika suatu saat pernah mendampingi guest scientist di Forschungszentrum Juelich, sang tamu mempertanyakan kenapa Gangga yang sudah satu tahun mengambil post-doctoral di Jerman belum juga bisa berbahasa Jerman kemampuan dasar, dan tidak pula mengambil kursus bahasa di Juelich. Jawaban Gangga hanya, "Saya datang ke Juelich bukan untuk belajar bahasa. Lagipula bahasa Jerman tidak menarik.“ Ia lalu menjelaskan bagaimana bahasa Jepang dalam pandangannya.

Saat ini Gangga sedang mengambil post-doctoral dalam hal protein, mirip Ameena. Ia bersemangat menjawab pertanyaan saya mengenai kanker. Sebenarnya ia tidak berniat untuk lebih lama di Forschungszentrum Juelich, walaupun supervisornya di sini sudah menawarinya untuk lebih lama lagi menetap di pusat riset ini. Ia katakan bahwa ia tertarik ke Pennsylvania, Amerka Serikat. Saya pun bertanya, "Penn State University?“ Ia pun mengiyakan. Ketika dahulu saya tertarik untuk mencari program doktor bidang fuel cell, saya sudah punya informasi mengenai peluang PhD di Amerika Serikat. Yang masuk catatan saya adalah Penn State University dan South Carolina University. Bahkan saya sudah pernah menjalin kontak dengan profesor di South Carolina yang menjadi penulis salah satu paper yang menjadi referensi saya ketika dahulu mengerjakan internship bidang fuel cell. Dalam pendangan saya, khusus teknologi fuel cell, Amerika adalah yang nomor satu di dunia, berikutnya Kanada atau Jepang.

Jerman adalah yang berikutnya setelah ketiga negara ini, walaupun untuk teknologi energi terbarukan secara keseluruhan, Jerman adalah nomor satu di dunia. Teknologi fuel cell sendiri adalah teknologi yang sudah tua, bahkan pesawat ulang alik pertama sudah menggunakan fuel cell. Tetapi memang masih terlalu banyak masalah (baca: tantangan) pada teknologi ini, sehingga saya pernah diberitahu saudara saya bahwa banyak ilmuwan yang kemudian meninggalkan bidang ini, yang menyebabkan fuel cell kekurangan peneliti. Ini menyebabkan fuel cell amat tertinggal secara komersial dengan teknologi energi terbarukan lainnya seperti tenaga angin dan surya. Sabagai catatan, fuel cell bukanlah sumber energi terbarukan. Fuel cell hanya energy converter yang bisa dimanfaatkan dalam lingkup energi terbarukan.

Konstantin, namanya mengingatkan saya pada raja kuno. Tetapi ketika saya tanyakan arti Konstantin, ia menjawab tidak ada, hanya sekedar nama. Sama seperti Gangga, saya mengenal Konstantin ketika menunggu bis yang mengantar dari Juelich menuju forschungszentrum. Ia berasal dari Ukraina. Ketika saya tanyakan apakah dia berasal dari Kiev, karena saya hanya tahu kota ini, maka ia menjawab tidak. Ia katakan bahwa ia berasal dari daerah kecil di Ukraina. Ia lanjutkan daerah itu kurang dikenal. Ia juga sedang mengambil post-doctoral dalam fisika teori di Forschungszentrum Juelich.

Sebelumnya ia sudah pernah mengambil post-doctoral di Perancis. Mengenai minat kalangan akademisi barat dalam mempelajari ilmu pengetahuan, saya memang kagum. Teman kuliah program master saya di Oldenburg, Yan, dari Perancis bahkan adalah seorang PhD bidang laser. Ia menyelesaikan PhD-nya di Irlandia. Banyak yang awalnya tidak tahu Yan ini sudah PhD, termasuk saya. Bagi saya agak aneh juga seorang PhD mengambil program master, terlebih untuk bidang yang bisa dikatakan jauh dari bidang yang menjadi spesialisasinya. Simeon sendiri juga sudah mengambil master bidang electrical engineering, dan kemudian ikut mengambil master bidang renewable energy.

Ketika saya tanyakan pada Konstantin, apa penerapan bidang yang sedang ia tekuni, maka ia sambil sedkit tertawa menjawab belum tahu, tetapi saat ini lebih banyak berhubungan dengan penerapan untuk hardware memori komputer. Ketika saya tanyakan apa hobinya, ia lama terdiam tanpa memberikan jawaban. Ketika saya ingin membantunya menjawab dengan berkata bahwa mungkin hobinya adalah membaca, maka Konstantin hanya berkata bahwa rasanya ia agak berlebihan bila masih harus membaca ketika di rumah, karena ketika di institut ia sudah biasa membaca sepuluh paper dalam sehari. (Bersambung)