Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (10)

Oleh Rizki Ridyasmara

Bab 4

 

Pertengahan Juli 1825

 

MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.