Haruskah Generasi Kembali Berulang?

Haruskah Generasi Kembali Berulang?

Oleh : Azimah Rahayu Satu tahun berlalu. Fitra, keponakan kecil saya berusia tepat tiga tahun. Semestinya saya menyambutnya dengan gembira dan bahagia. Karena dalam usia yang kesekian itu seorang anak tengah lucu-lucunya. Tapi ternyata kali ini saya menyambut tiga tahun usianya dengan banjir airmata.

Sejak terakhir kali saya mencatat perkembangannya ketika dia berusia dua tahun, Fitra telah berkembang sangat pesat. Dalam waktu satu tahun sudah begitu banyak hal yang dia pelajari. Nyaris seluruh kosa kata bahasa jawa sudah dia kuasai dan digunakan dengan tepat, serta tanpa cadel kecuali sedikit saja. Bahkan dia suka mengulang ungkapan bahasa Indonesia yang saya pakai namun tidak lazim dalam percakapan bahasa Jawa. Suatu hal yang menggembirakan seharusnya.

Tapi mengapa saya menyambutnya dengan duka jiwa? Karena Fitra mengalami banyak perkembangan jiwa, akhlak dan moral menjurus ke arah negatif. Bahwa ada banyak hal positif yang telah dia raih, saya tidak menafikan itu. Tapi perkembangan hal buruknya jauh lebih mengkhawatirkan saya.

Fitra saya sekarang suka memaksakan kehendak jika menginginkan sesuatu. Jika tidak dipenuhi dia akan mengamuk. Selain itu, jika ditegur karena melakukan sesuatu yang tidak baik, dia malah marah, kadang mengamuk juga. Berteriak-teriak, memukul, mencubit, menggigit dan sebagainya. Tak peduli itu bapak, kakek, nenek, mamanya, saya, atau siapapun. Pun, dia suka berbicara dengan nada keras, tinggi serta memerintah. Kosakatanya yang sudah masyaAllah berhamburan dalam konotasi buruk. Sehingga dalam usianya yang tiga tahun, saya seakan melihat sosok pemuda masa depan yang kasar, suka memaksa dan tak bisa diatur.

Fitra punya kecenderungan pemberontak, itu mungkin sekali. Karena bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah itu tidak berarti semua anak benar-benar seperti kertas kosong dan memiliki kondisi start yang sama. Mereka punya potensi/gen yang mengalir dalam darah mereka. Potensi ini akan berkembang atau mati karena stimulan dari kondisi dan pembelajaran dari sekelilingnya. Mereka punya modal yang akan tumbuh dan mengarah pada kebaikan atau keburukan tergantung dari pengaruh dan pendidikan yang dia terima dari lingkungannya: orang-orang dekat yang setiap hari berinteraksi dengannya. Dan hal ini pun sudah saya sadari sejak lama, karena teori perkembangan anak menyatakan bahwa usia dua sampai tiga tahun seorang anak mengalami perkembangan tercepat, baik secara jiwa, fisik maupun akal.

Dan saya merenungi ini.

Bahwa tak ada yang mengajarinya berbicara dengan nada-nada tinggi dan meminta sesuatu dengan perintah kasar, saya percaya itu. Tapi saya tidak yakin Fitra kecilku tidak meniru orang-orang di sekelilingnya yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi dan teriakan. Tak ada yang mengajarinya bersikap tidak sopan dan memukul orang yang lebih tua, namun saya percaya Fitra banyak melihat orang-orang dewasa bersikap tidak sopan dan suka memukul.

Sulit bagi saya mengajarkan Fitra untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, sedang di sekelilingnya semua orang terbiasa membuang sampah sesuka hati. Susah setengah mati saya menyuruhnya mengenakan sandal atau sepatu jika bermain karena nyaris semua teman mainnya tidak mengenakan alas kaki. Tak mudah saya mengajarkan Fitra pipis di kamar mandi dan bersuci sesudahnya, sedang banyak tetangga kami buang air kecil di balik pohon atau di pagar halaman.

Menyaksikan perkembangan Fitra seperti memutar ulang memori tentang generasi saya dulu dan kadang membuat saya ketakutan: haruskah sebuah genarasi kembali berulang? Dulu, saya pun dibesarkan dengan cara dan dalam kondisi yang sama. Dan kemudian, saya tumbuh menjadi manusia dengan cara berpikir dan cara bersikap yang – setelah saya dewasa dan belajar agama– sering saya sesali dan saya tangisi karena beratnya upaya untuk membenahi diri.

Dulu, teman-teman saya dibesarkan dengan cara dan dalam lingkungan yang nyaris sama, kemudian kini mereka tumbuh besar apa adanya, dan nyaris merupakan replika dan reinkarnasi dari para orang tuanya. Dalam budaya keseharian maupun budaya berpikir. Semuanya. Dulu, orang tua-orang tua kami banyak yang menikah setelah hamil, dan kini teman saya banyak yang melahirkan tanpa bapak. Dulu judi buntut adalah hal wajar bagi para dewasa, kini judi togel, taruhan playstation bahkan taruhan tarung tamiya dan beyblade sudah menjadi budaya anak TK hingga remaja. Dulu, minuman arak menjadi satu jamuan di hajatan, kini bir dan vodka ada di pos kamling dan tempat nongkrong. Dulu, orang tua kami sekolah secukupnya kemudian bekerja di pabrik. Kini, bahkan banyak anak yang tak meneruskan sekolahnya kemudian luntang lantung. Dulu, perbuatan-perbuatan musyrik menjadi keseharian kami, dan kini, tak seorang pun berupaya untuk merubahnya. Semua nyaris tetap sama, meski generasinya telah berganti.

Nanti, haruskah itu terulang kembali pada generasi Fitra dan kawan-kawannya? Saya tak dapat membayangkan seperti apa jadinya jika demikian.

Lantas apa yang bisa saya lakukan? Mengharapkan Fitra saya tumbuh, kemudian mencari jalan kebenaran dari jiwanya sendiri hanyalah sepersemilyar kemungkinan. Harus ada upaya dan stimulan dari orang dewasa di sekelilingnya dengan mendidik berdasarkan kesadaran atas benar salah, boleh dan tidak, bukan kebiasaan. Agar ada atsar yang tertinggal di jiwanya hingga dapat menguatkan akal serta nuraninya dan membuatnya mampu berkembang menjadi lebih baik. Hingga dia peka terhadap kebaikan dan kebenaran. Agar apa yang dia peroleh dari lingkungannya menjadi suatu macam pertimbangan. Bukan sesuatu yang lekat dan tak berubah dari jiwanya. Masih banyak waktu untuk berubah, berkembang dan mekar.

Dan stimulan itu baru akan terwujud jika orang-orang di sekeliling Fitra pun berusaha berubah menjadi lebih baik. Bertumpu pada bagaimana mendidik Fitra saja tanpa membenahi lingkungannya bagaikan memupuk di atas tapi dari bawah digerogoti. Bagaikan menulis di atas air. Nyaris tak berbekas, tak memberikan atsar. Tapi jika orang-orang dewasa di sekeliling Fitra mendapatkan pendidikan dan mendidik diri menjadi lebih baik, niscaya Fitra-Fitra yang lain pun tak perlu tumbuh sebagai replika generasi sebelumnya. InsyaAllah dengan demikian, setelah dewasa nanti, Fitra dan kawan-kawan akan membangun generasi anak-anaknya dengan lebih baik lagi, lagi, dan lagi. Sehingga, semakin tua dunia, semakin peka nurani manusia, semakin cerdas otak penghuninya, dan semakin indah budayanya. Dan, manusia pun akan menjadi sebenar-benar khalifah Allah di muka bumi. Semoga.

Haruskah Generasi Kembali Berulang?

Haruskah Generasi Kembali Berulang?

eramuslim – Satu tahun berlalu. Fitra, keponakan kecil saya berusia tepat tiga tahun. Semestinya saya menyambutnya dengan gembira dan bahagia. Karena dalam usia yang kesekian itu seorang anak tengah lucu-lucunya. Tapi ternyata kali ini saya menyambut tiga tahun usianya dengan banjir airmata.

Sejak terakhir kali saya mencatat perkembangannya ketika dia berusia dua tahun, Fitra telah berkembang sangat pesat. Dalam waktu satu tahun sudah begitu banyak hal yang dia pelajari. Nyaris seluruh kosa kata bahasa jawa sudah dia kuasai dan digunakan dengan tepat, serta tanpa cadel kecuali sedikit saja. Bahkan dia suka mengulang ungkapan bahasa Indonesia yang saya pakai namun tidak lazim dalam percakapan bahasa Jawa. Suatu hal yang menggembirakan seharusnya.

Tapi mengapa saya menyambutnya dengan duka jiwa? Karena Fitra mengalami banyak perkembangan jiwa, akhlak dan moral menjurus ke arah negatif. Bahwa ada banyak hal positif yang telah dia raih, saya tidak menafikan itu. Tapi perkembangan hal buruknya jauh lebih mengkhawatirkan saya.

Fitra saya sekarang suka memaksakan kehendak jika menginginkan sesuatu. Jika tidak dipenuhi dia akan mengamuk. Selain itu, jika ditegur karena melakukan sesuatu yang tidak baik, dia malah marah, kadang mengamuk juga. Berteriak-teriak, memukul, mencubit, menggigit dan sebagainya. Tak peduli itu bapak, kakek, nenek, mamanya, saya, atau siapapun. Pun, dia suka berbicara dengan nada keras, tinggi serta memerintah. Kosakatanya yang sudah masyaAllah berhamburan dalam konotasi buruk. Sehingga dalam usianya yang tiga tahun, saya seakan melihat sosok pemuda masa depan yang kasar, suka memaksa dan tak bisa diatur.

Fitra punya kecenderungan pemberontak, itu mungkin sekali. Karena bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah itu tidak berarti semua anak benar-benar seperti kertas kosong dan memiliki kondisi start yang sama. Mereka punya potensi/gen yang mengalir dalam darah mereka. Potensi ini akan berkembang atau mati karena stimulan dari kondisi dan pembelajaran dari sekelilingnya. Mereka punya modal yang akan tumbuh dan mengarah pada kebaikan atau keburukan tergantung dari pengaruh dan pendidikan yang dia terima dari lingkungannya: orang-orang dekat yang setiap hari berinteraksi dengannya. Dan hal ini pun sudah saya sadari sejak lama, karena teori perkembangan anak menyatakan bahwa usia dua sampai tiga tahun seorang anak mengalami perkembangan tercepat, baik secara jiwa, fisik maupun akal.

Dan saya merenungi ini.

Bahwa tak ada yang mengajarinya berbicara dengan nada-nada tinggi dan meminta sesuatu dengan perintah kasar, saya percaya itu. Tapi saya tidak yakin Fitra kecilku tidak meniru orang-orang di sekelilingnya yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi dan teriakan. Tak ada yang mengajarinya bersikap tidak sopan dan memukul orang yang lebih tua, namun saya percaya Fitra banyak melihat orang-orang dewasa bersikap tidak sopan dan suka memukul.

Sulit bagi saya mengajarkan Fitra untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, sedang di sekelilingnya semua orang terbiasa membuang sampah sesuka hati. Susah setengah mati saya menyuruhnya mengenakan sandal atau sepatu jika bermain karena nyaris semua teman mainnya tidak mengenakan alas kaki. Tak mudah saya mengajarkan Fitra pipis di kamar mandi dan bersuci sesudahnya, sedang banyak tetangga kami buang air kecil di balik pohon atau di pagar halaman.

Menyaksikan perkembangan Fitra seperti memutar ulang memori tentang generasi saya dulu dan kadang membuat saya ketakutan: haruskah sebuah genarasi kembali berulang? Dulu, saya pun dibesarkan dengan cara dan dalam kondisi yang sama. Dan kemudian, saya tumbuh menjadi manusia dengan cara berpikir dan cara bersikap yang – setelah saya dewasa dan belajar agama– sering saya sesali dan saya tangisi karena beratnya upaya untuk membenahi diri.

Dulu, teman-teman saya dibesarkan dengan cara dan dalam lingkungan yang nyaris sama, kemudian kini mereka tumbuh besar apa adanya, dan nyaris merupakan replika dan reinkarnasi dari para orang tuanya. Dalam budaya keseharian maupun budaya berpikir. Semuanya. Dulu, orang tua-orang tua kami banyak yang menikah setelah hamil, dan kini teman saya banyak yang melahirkan tanpa bapak. Dulu judi buntut adalah hal wajar bagi para dewasa, kini judi togel, taruhan playstation bahkan taruhan tarung tamiya dan beyblade sudah menjadi budaya anak TK hingga remaja. Dulu, minuman arak menjadi satu jamuan di hajatan, kini bir dan vodka ada di pos kamling dan tempat nongkrong. Dulu, orang tua kami sekolah secukupnya kemudian bekerja di pabrik. Kini, bahkan banyak anak yang tak meneruskan sekolahnya kemudian luntang lantung. Dulu, perbuatan-perbuatan musyrik menjadi keseharian kami, dan kini, tak seorang pun berupaya untuk merubahnya. Semua nyaris tetap sama, meski generasinya telah berganti.

Nanti, haruskah itu terulang kembali pada generasi Fitra dan kawan-kawannya? Saya tak dapat membayangkan seperti apa jadinya jika demikian.

Lantas apa yang bisa saya lakukan? Mengharapkan Fitra saya tumbuh, kemudian mencari jalan kebenaran dari jiwanya sendiri hanyalah sepersemilyar kemungkinan. Harus ada upaya dan stimulan dari orang dewasa di sekelilingnya dengan mendidik berdasarkan kesadaran atas benar salah, boleh dan tidak, bukan kebiasaan. Agar ada atsar yang tertinggal di jiwanya hingga dapat menguatkan akal serta nuraninya dan membuatnya mampu berkembang menjadi lebih baik. Hingga dia peka terhadap kebaikan dan kebenaran. Agar apa yang dia peroleh dari lingkungannya menjadi suatu macam pertimbangan. Bukan sesuatu yang lekat dan tak berubah dari jiwanya. Masih banyak waktu untuk berubah, berkembang dan mekar.

Dan stimulan itu baru akan terwujud jika orang-orang di sekeliling Fitra pun berusaha berubah menjadi lebih baik. Bertumpu pada bagaimana mendidik Fitra saja tanpa membenahi lingkungannya bagaikan memupuk di atas tapi dari bawah digerogoti. Bagaikan menulis di atas air. Nyaris tak berbekas, tak memberikan atsar. Tapi jika orang-orang dewasa di sekeliling Fitra mendapatkan pendidikan dan mendidik diri menjadi lebih baik, niscaya Fitra-Fitra yang lain pun tak perlu tumbuh sebagai replika generasi sebelumnya. InsyaAllah dengan demikian, setelah dewasa nanti, Fitra dan kawan-kawan akan membangun generasi anak-anaknya dengan lebih baik lagi, lagi, dan lagi. Sehingga, semakin tua dunia, semakin peka nurani manusia, semakin cerdas otak penghuninya, dan semakin indah budayanya. Dan, manusia pun akan menjadi sebenar-benar khalifah Allah di muka bumi. Semoga. (Azimah Rahayu/[email protected]).