Suami Seorang Pelaut

Ass….! Senang sekali bisa konsultasi dengan ibu.

Saya adalah seorang pegawai negeri yang saat ini sedang melanjutkan studi S2. Saya memiliki seorang suami yang profesinya sebagai pelaut karena sesuai dengan bidangnya lulusan D3 akademi maritim. Kami sering kali berbeda pandangan. Komunikasi kami kadang-kadang sering tidak nyambung. Saya punya pikiran lain, suami saya juga lain.

Tapi walaupun demikian kami sering sekali introspeksi diri dan berusaha memperbaiki kesalahan kami untuk keutuhan rumah tangga kami. Yang saya ingin tanyakan

1. Apakah perbedaan strata pendidikan dan profesi membuat kami sering berbeda pendapat dan pandangan hidup, dan bagaimana cara mengatasinya. 2. Bagaimana cara yang paling baik untuk bisa mengajak suami saya shalat bersama dan belajar agama agar suami saya tidak merasa digurui dan merasa tersinggung. Terimakasih. Wassalam...

(pertanyaan yang mirip diajukan oleh seorang ibu yang suaminya kerja di luar negeri, sehingga si ibu merasa kurang diberi nafkah batin, karena sudah setahun berpisah, termasuk tidak berhubungan badan, karena berjauhan jarak dengan suami)

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,

Ibu-Ibu yang dirahmati Allah swt.

Keluarga yang kokoh, dibangun antara lain atas dasar saling ta’awun/ kerjasama, masing-masing saling menempatkan diri dalam koridor untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga karena mereka menafkahkan harta mereka,

Allah swt. berfirman yang artinya kurang lebih, ”…. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allahlah yang melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena laki-laki telah menafkahkan harta mereka…” (An-Nisa’: 34).

Jadi mereka (laki-laki) akan ditanya tentang kewajibannya pada keluarga yakni memberi nafkah secara ma’ruf. Sedangkan para wanita dikatakan shalihat ketika diapunmenjalankan kewajibannya pada suami secara ma’ruf.
Firman Allah yang artinya, ” Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka… (QS An-Nisa:34).

Begitu juga dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
” Sebaik-baik perempuan ialah bila engkau pandang menyenangkan engkau, bila engkau perintah ia ta’at kepadamu dan jika engkau tinggal di belakang, ia menjagamu pada dirinya dan hartanya”.

Dalam hadits yang lain dari Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Jika perempuaan mengerjakan shalatnya yang lima, puasa Ramadhannya, memelihara kehormatannya dan ta’at kepada suaminya maka akan dikatakan kepadanya: Masuklah ke dalam surga dari pintu yang mana saja engkau sukai” (HR Ahmad & Thabrani).

Ibu yang shalihah, Saya yakin, insya Allah, kepergian suami adalah untuk memenuhi tanggungjawabnya di hadapan Allah menafkahi isteri dan keluarganya. Memang jalan rizki orang satu dengan yang lain berbeda-beda, ada yang mudah, ada yang sulit. Dalam rumah tangga kerjasama sangat diperlukan agar hak dan kewajiban suami-isteri berjalan seimbang. Ketika segala sesuatu diputuskan atas dasar musyawarah dan masing-masing berprinsip keridloan, maka berkurangnya hak tidak akan menjadi penghalang. Dalam cinta juga terkandung makna pengorbanan. Karena suami mencintai isteri dan anak-anak, maka diapun rela berkorban jauh dari keluarga, menahan kerinduan, hasrat biologis, kehangatan berkumpul dengan sanak-saudara, dan sebagainya.

Ini adalah khidmat yang luar biasa dari seorang suami, yang perlu Anda support dari jauh. Memang di dalam hadits disarankan bahwa meninggalkan isteri dianjurkan tidak lebih dari 4 bulan; tetapi mungkin saja suami karena masalah teknis seperti jarak jauh, biaya, dan sebagainya. kesulitan untuk terlalu sering pulang, yang penting ada keridloan masing-masing atas keputusan bekerja di luar negeri. Bicarakan ini baik-baik dengan suami apakah mungkin, misalnya setahun 2 kali suami pulang.

Saya sarankan juga bahwa suatu saat Anda dan suami dapat mengelola hasil kerja di luar negeri untuk membuka usaha di dalam negeri, misalnya, atau yang memungkinkan kedua pihak masih bisa saling bertemu, agar keharmonisan keluarga tetap terjaga.

Saat ini Anda perlu banyak mendoakan dan mensupport suami, karena seperti halnya Anda saya yakin suami juga merasakan kerinduan berkumpul bersama keluarga. Perbedaan status sosial tidak menjadi halangan suami-isteri. Suami dalam mencari nafkah sering tidak sempat banyak hadir di majlis ta’lim (misalnya kerja pelaut);maka ajaklah dengan lembut sehingga di tidak merasa tersinggung.

Semoga Allah swt. mencatat pengorbanan Ibu dan suami sebagai wujud amal fi sabilillah. Amin..

Wallahu a’lam bissshawab.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ibu Urba