Demokrasi, Plutokrasi, dan Oligarki (2)

demokrasi1

Adalah suatu ironi sejarah, fakta membuktikan jika lebih dari sepuluh tahun usia reformasi, ternyata sistem Suhartoisme bukannya hancur namun kian bertambah subur. Mereka yang mengaku reformis pun tanpa malu-malu lagi mem-pahlawankan Suharto. Korupsi kian gila. Rakyat kian sengsara. Ada jurang yang sedemikian dalam dan curam antara kehidupan elit parpol dengan kehidupan rakyat banyak. Elit parpol membangun gedung-gedung tinggi untuk dihuni, sedangkan rakyat banyak, untuk menggali kuburannya sendiri pun sulit.

Dalam usia reformasi yang lebih dari  sepuluh tahun, rakyat banyak sudah bisa memilah mana yang benar-benar reformis dan mana “reformis gadungan”. Yang benar-benar reformis terus berjuang bersama rakyat untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan Suhartoisme sebagai sistem yang telah melantakkan negeri kaya raya ini ke jurang kebinasaan. Sedang para reformis-gadungan, kini hidupnya sudah banyak yang berubah. Dari yang tadinya tinggal di rumah kontrakkan di gang sempit kini telah memiliki rumah gedung berdinding beton tinggi plus mobil yang tidak cukup satu. Yang tadinya pengangguran kini setiap hari bisa berkeliling kota naik kendaraan pribadi berkilau. Padahal mereka tidak punya usaha apa-apa selain jadi anggota inti atau elit parpol. Parpol itulah gerobak dagangan mereka, sedangkan suara rakyat yang memilihnya dijadikan alat tawar bagi berbagai proyek mereka. Kian banyak suara rakyat didapat, semakin kuat bargaining-position mereka. Ini adalah fakta yang berbicara.

Sedangkan nasib rakyat banyak, ya begitu-begitu saja. Mereka tetap berkubang dalam kemelaratan dan kesengsaraan yang kian hari kian bertambah berat. Kita lihat sendiri, di pesawat teve dan koran, banyak parpol mengklaim keberhasilan mereka ini dan itu, namun di jalan-jalan, anak-anak kecil kian banyak yang mencari receh di jalanan, kian banyak orang gila baru, kian banyak orang bunuh diri, dan kian banyak pengemis berkeliaran. Para politisi hidup bagaikan orang autis di tengah-tengah rakyatnya.

Inilah “demokrasi” (baca: Demo-Crazy) di negeri ini. “Demokrasi” yang semata kedok bagi Plutokrasi dan Oligarki. Ini yang harus disadari semua orang. Sehingga, walau “orang yang bersih” bisa naik menjadi aleg atau presiden sekali pun, dia akan tunduk dan terseret arus Plutokrasi dan Oligarki ini. Orang yang bersih dan lurus, jika masuk ke dalam sistem jahat ini akan goyang keimanannya dan banyak yang akhirnya terwarnai.

Apakah itu berarti semua aleg akan terseret arus jahat ini? Tentu saja tidak, masih ada satu atau dua orang yang mampu bertahan.  Hanya saja, orang-orang seperti ini akan mengalami dua kemungkinan: Terpental keluar dari sistem atau menderita sakit berkepanjangan. Bisa sakit fisik, bisa pula sakit jiwa dalam kadar yang beragam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh aleg DPR pusat periode 2004-2009 yang masih bersih yang kapok jadi aleg, dan sebab itu tidak mau lagi dicalonkan dalam Pemilu 2009. Dia duduk dalam lingkaran elit sebuah parpol.

Saya berkeyakinan, dalam sistem Plutokratis dan Oligarkis ini, jika kita ikut memilih salah satu caleg, maka dengan begitu kita sesungguhnya telah ikut menjerumuskan orang tersebut ke dalam sistem yang amat sangat jahat. Saya sangat mencintai orang-orang yang bersih. Sebab itu, saya dalam Pemilu yang lalu tidak akan menjerumuskan orang-orang bersih ke dalam sistem yang jahat itu. Agar orang-orang bersih itu bisa terselamatkan dari sistem yang mampu membuatnya menjadi tidak bersih. Bukankah menghindari itu jauh lebih baik ketimbang mengobati?

Apakah dengan demikian saya dianggap melakukan penggembosan? Ya, saya ingin menggembosi sistem plutokratis dan oligarkis yang benar-benar jahat. Saya mencitakan sistem yang islami, saya ingin memilih seorang pemimpin yang dengan bangga mengatakan kepada rakyatnya bahwa dirinya akan berjuang menegakkan syariat Islam di negeri ini. Saya ingin memilih seorang pemimpin  yang bangga dengan keislamannya dan tidak malu-malu mengatakan jika dirinya akan berjuang menegakkan kalimah Allah, Bukan sekadar basa-basi.

Sikap saya ini sesuai dengan fatwa MUI yang menganjurkan umat Islam untuk memilih pemimpin yang baik di negeri ini. Karena saya seorang Muslim, maka bagi saya, pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang secara berani dan jujur menyatakan sebagai orang yang akan menegakkan Islam, bukan tipe pemimpin yang plintat-plintut, di hadapan umat dia bilang akan berjuang untuk Islam tapi di depan pihak lain dia bilang politik Islam bukan zamannya lagi. Sikap saya akan saya pertanggungjawabkan di yaumil akhir nanti. Dan terserah pada Anda semua, apakah di dalam Pemilu berikutnya nanti akan tetap berpartisipasi atau tidak. Masing-masing orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT. Ini adalah pilihan pribadi. Memilih itu hak, bukan kewajiban. Hasbunallah wa ni’mal wakil.

Wassalamu’alaykum warahmatulahi wabarakatuh.