Pekerja Anak Menurut Hukum Islam

Mohon dijelaskan mengenai fenomena pekerja anak, yang disebabkan tuntutan ekonomi keluarga, termasuk artis belia yang mengejar popularitas dan sebab-sebab yang lainnya?, utamanya bagaimana hukum Islam memandang permasalahan ini?

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, fenomena pekerja anak sebenarnya adalah fenomena yang tidak Islami. Rasulullah saw pernah melarang anak-anak untuk ikut berperang, padahal mereka ingin sekali membela agama Allah. Untuk sesuatu yang sangat urgen saja (perang), Rasulullah melarang keterlibatan anak-anak. Apalagi untuk bekerja pada masa normal.

Seperti yang kita tahu, keadaan ekonomi yang serba mahal seperti saat ini turut mendorong adanya fenomena pekerja anak. Penghasilan orang tua yang belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari biasanya menjadi alasan utama untuk mendorong sang anak untuk masuk ke dalam sektor pekerja anak. Bahkan di Indonesia saat ini, masih banyak orang tua yang berfikir bahwa pendidikan itu tidaklah penting karena tidak menghasilkan sehingga lebih baik bila sang anak bekerja untuk mencari uang.

Namun, faktor dari luar juga sangat mempengaruhi sang anak secara langsung. Pengaruh media elektronik seperti film, sinetron dan sebagainya, selalu memperlihatkan kehidupan yang konsumtif. Pola hidup konsumtif itu sangat mudah diserap oleh anak yang cenderung belum memiliki pemikiran matang layaknya orang dewasa. Anak akan mudah saja menerima hal yang dilihat dan didengarnya, sehingga ia akan bersikap seperti yang dilihat dan didengarnya. Dengan pola konsumtif seperti itu, maka dari masa anak-anak pun mereka selalu dikenalkan dengan konsep uang. Semua hal yang diinginkan bisa mereka beli dengan uang, maka akan lebih baik bila bekerja daripada sekolah.

Selain faktor pendorong seperti di atas juga ada faktor penarik yang menyebabkan fenomena pekerja anak. Banyak perusahaan nakal yang masih mempekerjakan anak dikarenakan upah mereka jauh lebih murah. Hal ini semata-mata demi mendapatkan keuntungan lebih dalam bisnis. Hal ini sangatlah tidak etis, namun masih sering kita temui dan kita dengar dari berbagai media.

Dalam memandang fenomena artis belia, pengaruh media massa baik cetak maupun elektronik sangat berperan besar. Melihat tayangan kehidupan para artis yang glamour, ekslusif, dan serba mewah membuat banyak orang ingin menjadi artis. Bahkan banyak orang tua yang memang mendorong anak-anaknya untuk menjadi artis. Tapi tidak saja orang tua, industri hiburan juga turut menyebabkan banyaknya artis anak-anak. Sebut saja beberapa acara seperti ”Idola Cilik” ataupun ”Mamamia”. Acara-acara seperti itu direspon sangat tinggi oleh masyaratkat, terbukti dari rating yang cukup tinggi. Hal ini layaknya sebuah perusahaan yang mempekerjakan anak demi keuntungan lebih semata.

Orang tua sang artis belia biasanya beralasan hal ini untuk mengembangkan bakat sang anak. Antara pengembangan bakat dan eksploitasi anak memang tipis perbedaannya. Mungkin penyaluran bakat sang anak dengan dijadikan artis bisa menyenangkan sang orang tua namun belum tentu hal ini menyenangkan bagi sang anak. Seorang anak bukanlah sebuah obyek yang dimiliki orang tua. Soerang anak adalah manusia yang memiliki hak untuk berpendapat. Apabila sang anak tidak menyukainya, sebaiknya orang tua juga tidak memaksakan kehendak.

Masa kanak-kanak adalah masa-masa bermain penuh keceriaan dan tanpa beban. Masa kanak-kanak adalah hak bagi setia anak untuk mengalaminya. Bila sejak kecil saja mereka sudah dibebani beban ekonomi keluarga, pekerjaan berat, jadwal show, berdandan layaknya orang dewasa, dsb, akan menyebabkan tumbuh kembang anak yang tidak baik. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, pemikiran mereka kelak akan selalu mengenai konsep uang, hidup konsumtif, dan tidak mementingkan pendidikan,

Menurut hukum, praktek pekerja anak adalah suatu bentuk pelanggaran hukum. Pemerintah sudah memiliki Undang-Undang yang bisa melindungi anak-anak dari praktek ini. Setidaknya ada dua UU yang bisa digunakan yaitu UU No. 23 Tentang Perlindungan Anak, serta UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, jelas dicantumkan bahwa anak berhak mendapatkan hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Hak untuk hidup, hak seseorang dalam hal ini sang anak untuk menjalani kehidupan. Oleh karena itu praktik aborsi adalah suatu pelanggaran atas UU ini. Hak tumbuh kembang, seorang anak harus mengalami proses tumbuh kembang sewajarnya, seperti masa kanak-kanak-remaja-dewasa harus dialami oleh mereka secara wajar. Hak perlindungan, orang tua maupun masyarakat harus melindungi anak-anak karena mereka belum mampu melindungi diri sendiri. Dan hak partisipasi, seorang anak berhak berpendapat atas keputusan orang tuanya ataupun lingkungan.

Sedangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 contohnya dalam pasal 68 seperti perusahaan dilarang mempekerjakan anak-anak di bawah umur 14 tahun. Dengan begitu faktor penarik yang saya sebutkan diatas tadi bisa diatasi Selain itu, maksimal jam kerja mereka tiga jam dan harus ada jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dan masih banyak beberapa pasal lainnya yang mencegah ada pekerja anak.

Kedua UU tersebut sebenarnya bisa membentengi anak-anak dari praktek pekerja anak namun dalam kenyataannya pelaksanaannya belum dirasakan. Masih banyak berita tentang eksploitasi anak yang kita dengar. Istilah yang mengatakan ”anak-anak merupakan masa depan suatu bangsa” atau ungkapan ”bangsa besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak”, mungkin mulai terdengar klise. Kenyataannya, anak-anak merupakan sebuah industri baru yang menguntungkan. Mereka, sejak dini sudah diajarkan mencari uang dengan bekerja untuk bertahan hidup atau sekadar memenuhi ambisi keluarga.

Demikian jawaban saya. Semoga berkenan.

Salam Berkah!

Satria Hadi Lubis