Zakat atas Tanah kavling

Assalamualaikum Wr Wb

Pak Ustadz ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan seputar Zakat :

1. Jika saya mempunyai tanah kavling/kosong yang belum digunakan atau rumah kosong yang tidak ditempati/dikontrakan apakah wajib Zakat ? Jika ya berapa besarnya dari harga beli atau harga pasar yang berlaku dan apakah setiap tahun harus dibayar zakatnya ?

2. Apakah hutang/pinjaman bank pada saat diterima wajib dibayarkan zakatnya?

3. Jika saya mempunyai saudara kandung yang kurang mampu bolehkan seluruh zakat saya berikan pada saudara saya tsb?

Terima kasih atas pencerahanya.

Wassalamualaikum Wr Wb

Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Ibu Yuni Tjahyono yang baik.

1. Ulama fiqih umumnya menjelaskan kekayaan,tanah kavling atau rumah kosong yang tidak ditempati atau tidak dikontrakan maka tidak terkena zakat. Termasuk juga Jika tanah kavling atau rumah tersebut digunakan untuk tempat tinggal maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Tetapi, menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi jika kekayaan (termasuk tanah atau rumah tersebut) mengalami pertumbuhan dengan disewakan atau dijual maka wajib dizakatkan dengan dua model zakat. Pertama kekayaan dengan besar zakat 2.5% dihitung dari modal ditambah keuntungan, jika tanah atau rumah tersebut diniatkan dijual dan sudah laku terjual. Ulama mengqiyaskan model ini kepada zakat perdagangan. Kedua kekayaan dengan besar zakat 5% dan 10% dihitung dari hasil keuntungan saja didapatkan (seperti disewakan). Model ini diqiyaskan dengan zakat pertanian dikeluarkan saat mendapatkan hasil panen/keuntungan/uang sewa.

Hal tersebut beradasarkan dalil-dalil umum dari Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah (2): (267) dan As-Sunnah yang berkenaan dengan masalah ini. Diantaranya berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari Rasulullah Saw bahwa beliau "memerintahkan supaya mengeluarkan zakat atas barang yang dipersiapkan untuk didagangkan".

2. Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Fiqh al-Islam wa adillatuhu” hutang/pinjaman bank pada saat diterima yang sudah mencapai nishab dan m emasuki haul wajib dibayarkan zakatnya. Sebab, sudah menjadi hak milik penuh atas harta tersebut. Namun, jika hutang tersebut belum mencapai nishab dan memasuki haul maka tidak wajib zakat atasnya. Hal ini pula dijelaskan Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafii bahwa hutang yang sudah mencapai haul wajib zakat. Sebagai mana Sabda Nabi Saw: “Tidak ada zakat dalam satu harta (termasuk berasal dari hutang) sehingga mencapai setahun umur kepemilikannya.” (HR. Abu Dawud)

3. “ Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah/9:60).

Dari penjelasan ayat di atas, jelaslah bahwa zakat hanya boleh didistribusikan kepada delapan asnâf (kelompok), yaitu : Kelompok fakir, Kelompok miskin, Kelompok Amil, Kelompok muallafatu qulûbuhum, Kelompok fi ar-riqâb, Kelompok al-ghârimin, Kelompok fi sabilillah, dan Kelompok ibnu sabil.

Berdasarkan dalil tersebut zakat ternyata memiliki pos-pos penerimaan khusus yang telah ditentukan Allah, yaitu yang disebut sebagai mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat).. Selain daripada itu, mereka bukanlah termasuk mustahik.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan orang yang bukan menjadi tanggung jawab langsung kita – seperti saudara kandung yang kurang mampu—maka zakat boleh diberikan kepada mereka atas dasar kefakiran/kemiskinan. Firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]: 90)

Namun, tidak diperkenankan memberikan zakat seluruhnya. Sebab, yang perlu diingat masih banyak mustahik/orang yang berhak mendapatkan dana dari zakat tersebut. Umumnya ulama menyarankan lebih utama kita menyalurkan zakat kepada lembaga yang amanah agar lebih adil dan tidak menumpuk pada satu orang/mustahik. Justru dengan penyaluran melalui lembaga tersebut akan banyak lagi masyarakat miskin (para mustahik) yang dapat terberdayakan.

Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.

Muhammad Zen, MA