Perang Melawan Yahudi

Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Perang Melawan Yahudi

Imam Hasan Al-Banna meyakini bahwa opsi yang harus dijalankan untuk membebaskan hak-hak yang telah dirampas oleh otoritas asing adalah perang. Sebagai wujud nyata dari keinginan ini Beliau mengutus batalyon-batalyon pasukan militer Ikhwanul Muslimin ke Palestina bahkan setelah itu Beliau mengutus ribuan para Mujahidinin ke Palestina.

Sebelum berakhirnya kekuasaan Inggris di Mesir tanggal 15 Mei 1948, para pemimpin Negara Arab berkumpul di Suriyah. Betepatan dengan pertemuan itu, Imam Hasan Al-Banna mengirimkan telegram kepada para pimpinan bangsa Arab yang menyatakan kesediaanya untuk mengutus puluhan ribu kader Ikhwanul Muslimin untuk berjihad ke Palestina. Gelombang pertama berjumlah berjumlah 10.000 orang mujahid yang akan berangkat dan mengejar syahid di Palestina.

Tapi rezim Nakrasyi yang loyal dan bekerja untuk pemerintah Inggris berupaya menghalang-halangi proses keberangkatan para Mujahidinin Ikhwanul Muslimin ke Palestina. Kondisi ini memaksa para Mujahidinin berjalan kaki menempuh jarak yang sangat jauh agar bisa sampai ke wilayah Palestina.

Pemerintahan Mesir yang pernah dipimpin rezim Ibrahim Abdul Hadi sangat populer dengan kekejaman dan kebengisannya terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin. Ia sering menjerumuskan kader-kader Ikhwan ke penjara serta berkonspirasi untuk membunuh Imam Hasan Al-Banna. Melihat kondisi ini, para Mujahidinin Ikhwan yang sedang berjuang di Palestina, hati mereka pilu ketika mendengar informasi tentang kekejaman yang menimpa saudara-saudara mereka di Mesir yang tersiksa di tangan penguasa Mesir dan antek-anteknya.

Di sela-sela kondisi sulit yang menimpa para Mujahidin Ikhwan di Palestina pasca intimidasi terhadap kelompok Ikhwan dan penyitaan semua aset dan harta mereka, Imam Hasan Al-Banna masih berkeinginan kuat guna melanjutkan genderang jihad yang telah ditabuh di Palestina. Beliau menulis surat untuk para Mujahidin Palestina yang bertuliskan: “Tidak ada alasan bagi para Mujahidin Palestina dalam kondisi ini untuk kembali ke Mesir, selama di Palestina masih ada Yahudi walaupun cuma satu orang, berarti misi para Mujahidin Palestina belum usai”. Kemudian Beliau mengakhiri suratnya dengan untaian nasehat panjang. Intinya harapan terhadap para Mujahidin untuk tetap tenang dan menjaga hubungan baik antar sesama Mujahid.

Analisa dan Evaluasi Imam Hasan Al-Banna Terhadap Perang Arab – Yahudi di Palestina

Informasi ketidakseriusan perjuangan pasukan militer negara-negara Arab semenjak mereka terlibat sengketa Palestina telah tersebar ke berbagai wilayah. Para pasukan militer Arab malah melucuti senjata para Mujahidin di Palestina dan menyingkirkan mereka dari kancah peperangan dengan alasan bahwa urusan perang merupakan wewenang mereka, bukan wewenang para Mujahidin. Pasukan militer negara-negara Arab terbukti telah terjebak dalam siasat politik Yahudi yang berkeinginan menciptakan benturan-benturan antara para Mujahidin di Palestina dengan pasukan militer Negara-negara Arab.

Imam Hasan Al-Banna meyakini bahwa dengan sengaja telah terjadi konspirasi dunia Internasional dalam menyikapi sengketa Palestina. Beliau telah mencium adanya pengkhianatan Inggris terhadap bangsa Palestina yang teraniaya ini. Beliau dan banyak orang telah mengetahui bahwa seorang perwira polisi Inggris bernama Clove Pasya yang menjadi komandan pasukan Yordania, sebenarnya dialah yang telah menjadi komando seluruh pasukan militer Arab yang datang ke Palestina. Dan Pasya merupakan seorang Kristen yang benci dan dengki terhadap Islam dan kaum Muslim. Dan dia bersama beberapa rekannya, terbukti telah terlibat dalam kasus pembekalan persenjataan tentara Mesir dengan senjata-senjata yang telah rusak dan tak layak pakai.

Bukti-bukti ini telah dikumpulkan oleh Imam Hasan Al-Banna, kemudian Beliau mengkaji dan memahami serta mencium gelagat konspirasi terhadap bangsa Palestina dan para Mujahidin Ikhwan yang berada di sana. Sehingga upaya mobilisasi tentara-tentara Arab ke Palestina berakhir sia-sia, karena Islam masih tetap dikesampingkan dari kekuasaan dan politik.

Sangat banyak data yang berisikan perjuangan heroik para Mujahidin Ikhwan di Palestina kepada Imam Hasan Al-Banna dan berisi informasi dan data mengenai para Mujahidin yang telah syahid di medan jihad Palestina, sehingga Beliau tak mampu membendung air mata menahan sedih, lalu Beliau berujar:

“Semoga Allah selalu bersama mereka… Semoga Allah menerima persembahan iman dan jihad mereka…Semoga Allah meridhoi apa yang telah mereka perbuat dan mereka tunggu-tunggu… Di hadapan mereka masih terdapat peperangan besar terhadap penguasa-penguasa zalim negeri mereka sendiri yang lebih mereka khawatirkan dibanding kekuatan Yahudi, yaitu perang terhadap orang-orang yang tak menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Itulah perang terhadap Faruq beserta tentara-tentara dan para polisinya, serta orang-orang yang terdidik dalam pola-pola pendidikan kaum penjajah. Darah mulia yang telah bercucuran ini belum menggapai impiannya selagi kondisi masih seperti ini dan selama Islam masih dianggap barang asing di rumah-rumah kaum Muslimin. Mereka telah mengorbankan darah dan nyawanya di jalan Allah demi menghadapi musuh-musuh perang yang dipimpin oleh orang-orang yang tak peduli dengan Islam. Merekalah orang-orang asing itu……. Orang-orang asing itu…… Orang-orang asing itu.

Israel akan bangkit, karena pergerakan mereka adalah pergerakan berbasis agama dan bermotif ideologi yang mendiktekan semua rancangan dan planning mereka. Israel tak akan mundur dari misi keyahudinya, meskipun menuai celaan dari banyak orang. Bagaimana mungkin kelompok minoritas Yahudi akan membuat perbaikan-perbaikan? Mereka hanya menutup-nutupi kerusakan, keganasan dan kezhaliman yang menghiasi langkah-langkah mereka?! Sesungguhnya perjalanan masih panjang dan darah-darah yang telah tumpah ke bumi tentu tak akan bisa tergantikan. Dan perang besar itu adalah perang Islam melawan Israel yang akan tetap berlanjut hingga Islam benar-benar menghancurkan dan menghapus pergerakan mereka. Itulah hakikat perjuangan kita, karena kita tak boleh terbuai dan terpana oleh tindakan-tindakan heroik yang telah kita persembahkan…

Demi Allah, jikalau bukan karena alasan kasih sayang terhadap para generasi muda Islam yang punya semangat bergelora dan pertimbangan terhadap tanggapan dari orang-orang awam, niscaya akan saya proklamirkan secara tegas dan terang-terangan bahwa kami telah mengutus para pejuang kami untuk terjun di medan peperangan dan kami tahu konsekwensi dari peperangan tersebut.

Saya pribadi yang dipercayakan memimpin jamaah ini menolak semua cita-cita palsu, bilamana dunia perpolitikan tidak dipimpin oleh Islam, bilamana jihad tidak berdasarkan cita-cita mulia ingin menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Dan harapan saya terhadap rakyat Mesir agar bisa membedakan mana pejuang Islam sejati, dan mana orang-orang yang hanya ingin menunggangi perjuangan demi keinginan-keinginan pribadi sesaat dan kepentingan-kepentingan sekelompok orang tertentu semata. Bagi kami darah yang telah tertumpah ke bumi ini merupakan ungkapan permintaan maaf pada Allah Ta’ala dan sebagai pelajaran berharga bagi bangsa ini.

Sebelum syahid menemui ajalnya, Beliau sempat menulis dalam memoarnya yang menjelaskan kronologis permasalahan dimulai dari sebab-sebab inthifadhah –perlawanan- hingga pembekuan sengketa Palestina. Hal ini Beliau lakukan sebagai jawaban atas tulisan juru bicara kementerian dalam negeri Bapak Abdurrahman Ammar dengan tema yang sama. Dalam tulisannya ini, Abdurrahman meminta pembubaran Ikhwanul Muslimin. Di antara alasannya adalah karena kerasnya tekanan pihak asing. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri ini mengaku kepada Hasan Al-Banna, Mursyid ‘Aam Ikhwanul Muslimin. Dalam pengakuan ini, ia mengatakan bahwa banyak tawaran dan tuntutan yang disampaikan pada Nakrasyi dari duta besar Inggris, duta besar Perancis dan staf Kedutaaan Besar Amerika Serikat pasca pertemuan mereka di kota Faid pada tanggal 6 Desember 1948. Dalam pertemuan itu, mereka menuntut pembubaran Ikhwanul Muslimin dengan segera.

Pada dasarnya, ini adalah permintaan yang logis dan wajar dari petinggi kaum penjajah karena mereka mengamati dan menilai bahwa Ikhwanul Muslimin akan menjadi batu penghalang dari perwujudan kepentingan-kepentingan mereka dalam sengketa lembah sungai Nil, kepentingan mereka terkait dengan negara-negara Arab dan dunia Islam umumnya. Dan tawaran semacam ini bukan barang baru, karena sudah terulang berkali-kali. Tuntutan ini merupakan tawaran klasik dari Duta Besar Inggris yang sering ia sampaikan dalam berbagai forum pada setiap rezim pemerintahan. Dan rezim-rezim pemerintahan Mesir sebelumnya, menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Pada tahun 1942 ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk dan ketika Jerman hampir menyerah kalah, Kedutaan Besar Inggris pernah meminta pada Rif’at Nuhas Pasya untuk membubarkan Ikhwanul Muslimin dan membekukan semua pergerakan mereka. Namun, Rif’at menolak dengan tegas permintaan tersebut dan hanya membekukan sebagian pergerakan di daerah-daerah, tapi membiarkan keberadaan kantor pusat Ikhwanul Muslimin.

Sebenarnya, rezim Nakrasyi memiliki kewenangan menerima tawaran tersebut dengan hanya sekedar ucapan semata kepada penjajah Inggris. Lalu membuat semacam kontrak kesepahaman dengan para kader Ikhwanul Muslimin terhadap kebijakan tertentu yang akan menguntungkan kedua belah pihak (rezim Nakrasyi dan Ikwanul Muslimin). Ikhwanul Muslimin pada saat itu telah siap menerima peluang terjadinya kesepakatan tersebut, terlebih pasca kedatangan Mursyid ‘Aam dari Hijaz (Saudi Arabia). Namun kenyataan berbicara lain, karena Narkasyi tidak berinisiatif membuat kesepakatan tersebut, malahan ia membuat kebijakan-kebijakan yang mengindikasikan Mesir masih menjadi milik asing dan berada di bawah tekanan asing bukan milik rakyat Mesir. Kemudian Imam Hasan Al-Banna kembali melanjutkan uraiannya hingga sampai pada akhir tulisannya: (sesungguhnya semua proses itu berjalan di bawah kendali Zionisme Internasional, Komunisme Dunia, negara-negara kolonialis, orang-orang atheis dan orang-orang Libertinis yang menilai Ikhwanul Muslimin akan menjadi batu penghalang besar bagi realisas misi-misi mereka).

Imam Hasan Al-Banna pernah ditanya oleh seorang wartawan terkait alasan dan motif para pemegang kekuasaan membubarkan Ikhwanul Muslimin. Lantas Beliau menjawab: “Di antara faktor-faktor yang memotivasi keinginan mereka membubarkan Ikhwanul Muslimin adalah bernuansa politis, berhubung karena penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang sudah di depan mata. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Partai Sa’ad ingin memperoleh dukungan dan suara terbanyak dari partisipan dalam pemilu nanti, sehingga mereka kembali bisa berkuasa dalam pemerintahan. Dan telah menjadi rahasia umum pula, bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan satu kekuatan politik besar dan berpengaruh serta patut diperhitungkan di pentas perpolitikan Mesir. Karena kebijakan apapun yang diambil Ikhwanul Muslimin, tentu akan berdampak sangat besar terhadap orientasi perpolitikan bangsa. Sehingga muncul keinginan mereka untuk menganggu keberadaan politis Ikhwanul Muslimin sebagai strategi politik mereka menghancurkan image dan nama baik Ikhwanul Muslimin sebelum pemilihan umum yang -insya Allah- akan diselenggarakan pada bulan Oktober tahun 1949 jika tidak ada halangan yang merintang.

Menurut hemat penulis, orang yang mencoba melakukan pengkajian dan analisa terhadap ungkapan Imam Hasan Al-Banna tersebut, akan memahami bahwa orang ini benar-benar memiliki kecerdasan dan insting politik yang tinggi yang ia tuangkan dalam pandangan politiknya yang bijak serta terkesan “berani dan tidak ada tawar-menawar”. Sebuah pendapat politik yang tak berani diungkap kecuali oleh politikus-politikus yang memiliki kemapanan iman dan keyakinan pada Allah Ta’ala, politikus yang jeli dan peka dalam menganalisa esensi di balik tabir kelam dari peristiwa yang bergulir serta politikus handal yang mampu membaca konspirasi terselubung para kolonialis Kristen terhadap umat Islam, termasuk terhadap Ikhwanul Muslimin yang semenjak awal mereka telah dibebankan tanggung jawab untuk memulai proses kehidupan Islami dan mendirikan negara Islam serta membebaskan negeri Islam di belahan dunia manapun dari cengkeraman keganasan asing.

Sebelum Beliau syahid -menemui ajal-, dalam memoarnya Imam Hasan Imam Hasan Al-Banna rahimahullah sempat menulis bantahan terhadap tuduhan-tuduhan sesat dan tak beralasan yang dilontarkan oleh Partai Saad terhadap Ikhwanul Muslimin serta pengerahan opini publik demi upaya keluarnya kebijakan pembubaran Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al-Banna memberi judul tulisan tersebut: “Fakta yang Tak Terbantahkan”. Dalam tulisan Beliau tersebut terdapat satu paragraf tentang siapakah aktor dan sutradara di balik semuanya?

Pemerintah Mesir yang gagal menggalang kerjasama dan perjanjian dengan Inggris langsung memutuskan diplomasi dengan Inggris dan mengadu ke Dewan Keamanan PBB lalu kembali dengan hasil nihil. Semenjak itu, pemerintah tidak lagi memikirkan dan terkesan mengabaikan masalah kenegaraan. Seperti masalah dengan Inggris, pemerintah membiarkan Inggris bebas berbuat semaunya sehingga berakibat pada kondisi Mesir yang semakin memprihatinkan. Jikalau urusan dalam negeri sudah banyak terabaikan, maka masalah-masalah lain seperti sengketa Palestina sudah barang tentu terabaikan juga, sehingga pemerintah Mesir mengeluarkan kebijakan yang menyatakan persetujuan gencatan senjata. Dengan kebijakan tersebut bukan berarti masalah telah selesai, tapi malah sebaliknya masalah semakin berlipat ganda baik material apatah lagi harga diri bangsa.

Akhirnya Yahudi pun campur tangan dan pura-pura ingin membantu Mesir. Namun kenyataannya Yahudi tidak bertindak apapun bila yang menyerang Mesir adalah musuh-musuh negara Mesir yang seide dengan Yahudi. Malahan di Mesir, warga negara asing bisa hidup tenang dan damai serta tidak perlu mengkhawatirkan diri dan asetnya karena ada petugas keamanan khusus yang ditugaskan melindungi tempat-tempat seperti: lokalisasi pelacuran, diskotik, bar, kafe, rumah border, tempat-tempat para penari striptis serta pusat-pusat maksiat lainnya.

Pemerintahan Mesir tidak sanggup lagi menyelamatkan anak bangsa dari cengkeraman kemiskinan, kebodohan dan masalah-masalah kesehatan serta naiknya harga komoditi di pasaran. Sementara itu, jarang sekali ada yang membantu kondisi Mesir yang sedang carut marut tersebut, meskipun ada, hanya dari pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan pribadi dari bantuan yang diberikan. Pemerintahan seperti ini yang mengusir dan memburu para kader Ikhwan, padahal mereka adalah anak bangsa sendiri. Tak hanya sampai taraf itu, karena pemerintahan juga menuduh mereka telah berbuat kriminal, dan banyak pula di antara kader Ikhwan yang diasingkan serta harta kekayaannya dan aset bisnis mereka disita dan dirampas oleh pemerintah.

Jikalau mau jujur, yaitu di saat yang berbicara adalah bahasa kebenaran dan bukan bahasa kekerasan, niscaya kami akan menhukum Anda para pemegang tampuk kekuasaan dengan sanksi yang seberat-beratnya. Tapi pemerintahan yang dzhalim bersifat temporal saja sedangkan pemerintahan yang berhukum dengan hukum Allah niscaya akan berlanjut hingga hari kiamat kelak. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tapi kebanyakan manusia tidak menyadari.

Rezim pemerintahan Ibrahim Abdul Hadi tak hanya sekedar mengusir para kader Ikhwan dari negerinya bahkan dalam medan jihad pun, Ibrahim Abdul Hadi melucuti semua senjata milik Ikhwan -Ini fakta- sehingga Palestina dan rakyatnya menjadi korban. Di samping itu Yahudi juga telah mendapatkan hadiah berharga karena mereka telah lepas dari musuh besar yang geram dan sedang berada dalam kondisi lapar serta tidak takut menghadapi kematian karena mereka telah sering mencicipi rasanya kematian di medan peperangan.