Wanita dan Aktivitas Politik

Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Imam Hasan Al-Banna dan para pakar yang mengamati permasalahan secara objektif, menilai bahwa “problematika dan hak-hak wanita” yang sering digembar-gemborkan serta dipropagandakan di negara-negara Islam, khususnya masalah yang terkait dengan keaktifan wanita dalam forum-forum yang diselenggarakan di luar rumah, sehingga terjadi pengabaian tugas utama mereka dalam hal mendidik anak-anak dan generasi penerus estafet perjuangan agama dan bangsa.

Kroronologis permasalahan tersebut bersumber dari problematika yang kerap dihadapi oleh para wanita di Barat, yaitu ketika kaum pria di Barat baik sebagai figur bapak, suami, saudara maupun anak kandung menelantarkan dan memberikan kebebasan ruang gerak yang ekstra bagi kaum wanita. Bahkan perundang-undangan di Barat menginstruksikan para wanita bila mereka telah menginjak masa remaja, maka mereka berkewajiban membiayai kebutuhan hidup dan finansial mereka secara mandiri.

Akibatnya, kaum wanita terpaksa ikut terlibat berkarir sebagai karyawan swasta di gedung-gedung perkantoran dan bekerja sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik. Tapi pada saat yang sama hak-hak mereka terabaikan, karena pekerjaan yang mereka lakukan sejatinya merupakan pekerjaan kaum pria, sementara upah yang mereka terima tidak melebihi separuh dari gaji kaum pria yang bekerja pada bidang yang sama. Kondisi ini menuntut kaum wanita Barat berpikir mencari solusi agar terwujudnya kesetaraan hak (sekarang berkembang menjadi kesetaraan gender. Pen) dan kewajiban mereka dengan kaum pria.

Akhirnya kaum wanita Barat berkesimpulan keharusan terlibat dalam pekerjaan di bagian-bagian administrasi perusahaan-perusahaan atau divisi tertentu yang memiliki kewenangan guna mengeluarkan aturan-aturan terkait dengan kebijakan-kebijakan seputar gaji dan hak-hak para pegawai serta karyawan. Setelah kaum wanita Barat tersadar bahwa kebijakan-kebijakan mengenai gaji tersebut tentunya berjalan sesuai dengan kebijakan yang bersumber dari hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Atas dasar ini, mereka mengambil langkah selanjutnya dengan berupaya sekuat tenaga agar ikut terlibat berkecimpung dalam urusan-urusan politik praktis yang akan mengantarkan mereka ke kursi-kursi parlemen, jabatan-jabatan strategis di lembaga eksekutif (pemerintahan) serta posisi-posisi berpengaruh dalam lembaga-lembaga yudikatif dan peradilan, sehingga dengan demikian mereka bisa memperjuangkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dengan keterwakilan mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Namun semua itu hanya teori di atas kertas belaka yang tak terealisasi meskipun telah melewati perdebatan panjang, berat dan melelahkan.

Namun faktanya, kaum pria di Barat tetap mendominasi hampir seluruh lapangan pekerjaan, sementara kaum hawa yang berkesempatan menduduki jabatan-jabatan tertentu di berbagai institusi seperti parlemen, kementerian (departemen-departemen) serta lembaga-lembaga hukum dan peradilan, jumlah mereka sangat terbatas sekali, karena memang kaum pria lebih berkapasitas dalam wilayah-wilayah tersebut dibanding kaum wanita.

Wabah ini menular ke negera-negera berpenduduk mayoritas Muslim, padahal dalam aturan Islam seorang wanita kendati telah memasuki fase aqil baligh, ia tidak dibebankan kewajiban untuk mencari pekerjaan secara mandiri demi memenuhi kebutuhan finansialnya. Tapi dalam hal ini, laki-laki bertanggung jawab penuh terhadap nafkah dan kebutuhan finansialnya semenjak lahir sampai meninggal, baik dalam status menikah maupun telah menjanda. Sebelum seorang wanita menikah, maka tanggung jawab nafkahnya terletak pada wali, seperti bapak, saudara atau karib kerabatnya yang lain jika bapaknya telah meninggal. Adapun setelah menikah, kewajiban nafkah jatuh pada suaminya meskipun wanita tersebut kaya. Dan bila wanita tersebut ditinggal suami, baik karena motif perceraian maupun karena suaminya meninggal dunia, maka kewajiban nafkahnya kembali menjadi tanggung jawab wali seperti bapak, saudara maupun anaknya serta karib kerabat yang lain (atau menjadi kewajiban Negara).

Makanya, Anda bisa buktikan bagaimana Imam Hasan Al-Banna menjelaskan pandangan-pandangan mereka yang terkesima dan terpesona oleh peradaban Barat yang dihiasi oleh kesenangan-kesenangan duniawi yang bersifat temporal. Beliau juga membantah gagasan yang mengusung keterlibatan kaum hawa berkecimpung dan berkarir dalam aktivitas dan forum yang diselenggarakan di luar rumah sehingga berpotensi meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu rumah tangga. Beliau juga menentang keras prinsip yang membolehkan “ikhtilath” (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan. Karena Imam Hasan Al-Banna memposisikan wanita separuh dari elemen masyarakat yang sangat mempengaruhi jalannya roda kehidupan dalam bermasyarakat, karena wanita merupakan sosok pendidik dan berperan sebagai “sekolah” yang akan membangun karakter dan menghasilkan lulusan-lulusan terbaik penerus cita-cita.

Tapi Islam -menurut pandangan Imam Hasan Al-Banna- memberikan ruang dan kesempatan bagi kaum hawa untuk terjun dalam dunia perpolitikan, bahkan hingga mengurus urusan peperangan. Kaum hawa berhak menentukan sikap politiknya dan mengajak orang lain terhadap pilihan politik tersebut. Beliau mengambil kesimpulan hukum semacam demikian dari intisari pemahaman Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM. Sebagai bukti, kaum hawa turut berperan dalam Bai’at Aqabah I dan Bai’ah Aqabah II serta bai’at mereka terhadap Rasulullah dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah, tatkala Rasulullah memproklamirkan perang terhadap kafir Makkah dan mengeluarkan pernyataan penyerangan terhadap kota Makkah, karena tersebar desas-desus bahwa delegasi umat Islam waktu itu yang diwakili oleh Utsman bin Affan dinyatakan telah dianiaya dan dibunuh oleh kaum musyrik Makkah.

Wanita juga memiliki kebebasan menyebarkan sikap dan aspirasi politiknya kepada sesama mereka serta berhak menyusun strategi dan perencanaan dakwah sebagaimana mereka berhak pula melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa pandang bulu hingga terhadap kepala negara sekalipun. Kaum hawa juga berhak menuntut keadilan mereka baik lewat lembaga peradilan yang ada maupun lembaga-lembaga non-peradilan lainnya. Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM telah melegitimasi pengaduan istri Abu Sofyan mengenai perangai dan kebiasaannya. Kejadian itu terjadi ketika istri Abu Sofyan mendatangi Rasulullah untuk menanyakan masalah suatu hukum. Peristiwa ini terjadi di sela-sela Fathul Makkah dan saat berbai’ah. Istri Abu Sofyan berkata:

إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلاَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِيْ وَأَنَا آخُذُ مِنْ مَالِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ الرَّسُوْلُ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : "خُذِيْ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ"
ِ

Artinya: Sesungguhnya Abu Sufyan merupakan sosok suami yang pelit dan tidak memenuhi hak pribadi saya selaku istri dan hak anak saya, oleh karenanya –tanpa sepengetahuan Abu Sufyan- secara diam-diam saya mencuri hartanya. Beliau kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, berdosakah saya karena sikap tersebut? Rasul menjawab: Pergunakanlah harta Abu Sofyan itu sekedar mencukupi kebutuhanmu dan anakmu saja .

Imam Hasan Al-Banna sangat mewanti-wanti efek dari perang ideologi dan pemikiran yang sengaja dilancarkan oleh Barat terhadap negara-negara Islam dan etika yang dianut oleh kaum Muslim, khususnya yang terkait dengan masalah perempuan. Beliau juga me”warning” secara tegas para generasi Muslim yang tumbuh dan terdidik dalam asuhan pendidikan Barat, sehingga menjadikan mereka loyal dan terbiasa hidup dalam suasana kebarat-baratan serta ingin menebarkannya ke umat Islam yang menghuni berbagai negara Islam di dunia.

Imam Hasan Al-Banna berkata: “Kecende¬rungan sebagian orang yang tak hanya terjerat dalam perangkap fanatisme Barat, bahkan mereka berusaha menipu diri sendiri dengan cara menyetir hukum Islam agar sejalan dan relevan dengan sistem-sistem yang dianut Barat, sehingga dengan sadar mereka sengaja mengeksploitasi ketoleranan dan kefleksibelan hukum Islam sampai ke taraf mengeluarkannya dari koridor prinsip-prinsip Islam. Alhasil, yang terbentuk adalah hukum lain yang tak terkait sama sekali dengan prinsip hukum Islam serta dengan sengaja mereka telah mengabaikan spirit Islam dan teks-teks agama yang berseberangan dengan hasrat dan keinginan hawa nafsu mereka .
Secara ringkas, kita dapat menyimpulkan pandangan Imam Hasan Al-Banna mengenai perspektif Islam terhadap hak-hak kaum perempuan sebagai berikut:

  • Islam mengangkat derajat kaum perempuan dan menjadikan mereka sebagai partner kaum pria dalam hak dan kewajiban. Islam juga mengakui hak-hak individu, hak-hak sipil dan hak-hak politik mereka.
  • Islam membedakan porsi hak-hak kaum perempuan dengan kaum pria berdasarkan pada perbedaan fitrah (bawaan sejak lahir) antara pria dan wanita, perbedaan peran dan tugasnya masing-masing serta sebagai upaya memberikan jaminan keterjagaan pemenuhan hak masing-masing. Imam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara penciptaan wanita dengan penciptaan pria ditinjau dari aspek fisik dan kejiwaan, sehingga tak seorang pun bisa mengklaim bahwa peran yang diemban wanita dalam kehidupan, sama dengan peran yang diemban pria. Wanita dan pria adalah refleksi dari dua penciptaan yang berbeda sehingga peran dan misi yang diemban juga sebagiannya berbeda.
  • Antara pria dan wanita secara naluri terdapat perasan (insting) saling tertarik antara satu sama lain yang menjadi landasan terciptanya hubungan antara keduanya. Tujuannya adalah sebagai upaya menjaga kelestarian jenis dan spesies manusia di muka bumi.

Lalu Imam Hasan Al-Banna juga membahas mengenai tata hubungan antara kaum pria dan kaum wanita dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dalam poin berikut: “Kewajiban pembinaan akhlak dan moralitas kaum wanita dan mengarahkan mereka untuk menjadi pribadi-pribadi terdidik yang dibekali dengan etika-etika mulia dan akhlak-akhlak yang terpuji semenjak lahir. Beliau juga memotivasi para orang tua dan penanggung jawab guna memberikan pendidikan yang baik terhadap kaum wanita. Lantas Beliau mengutarakan berbagai teks agama dari Al-Qur`an dan Sunnah yang mengacu pada isu-isu tersebut. Imam Hasan Al-Banna sengaja menggaungkan kewajiban pendidikan wanita, karena tingkat kebutuhan wanita yang tinggi terhadap pendidikan dan pengajaran serta karena alasan beratnya misi dan peran yang menjadi motif penciptaan wanita yaitu: “mengatur urusan rumah tangga dan mendidik anak”.

Telah terjadi “diskriminasi pria dan wanita dalam Islam”. Ungkapan ini dijawab oleh Imam Hasan Al-Banna lewat ungkapan Beliau: “Islam memang membatasi pergaulan antara pria dan wanita karena mengingat alasan besarnya resiko yang akan menimpa kecuali dengan jalan pernikahan resmi”.

Imam Hasan Al-Banna menjawab para provokator gagasan “ikhtilath” (kebebasan pergaulan antara kaum pria dan kaum wanita) yang mengira bahwa memisahkan antara pria dan wanita menjadi penghalang terjadinya interaksi dan ketenangan perasaan antara dua sosok makhluk tersebut, yang akan melahirkan dampak positif terhadap kemunculan perilaku sosial seperti kelembutan perkataan, pergaulan yang baik dan norma kesopanan tingkah laku. Sedangkan memisahkan antara kedua jenis makhluk tersebut hanya akan menciptakan kerinduan yang abadi di antara mereka. Hubungan langsung antara kedua akan mengurangi masalah ini dan menjadikannya sebagaimasalah yang biasa dalm diri. Karena manusia suka terhadap apa yang dilarang, apa yang digapai tangan dan apa yang diinginkan nafsu (syahwat).

Imam Hasan Al-Banna dengan lantang dan tegas menjawab asumsi di atas bahwa akibat yang ditimbulkan oleh terjalinnya interaksi dan komunikasi antara dua makhluk tersebut berdampak pada terenggutnya kehormatan, ketidakjelasan keturunan, kerusakan jiwa, kehancuran dan konflik dalam kehidupan rumah tangga. Pola pergaulan yang tak membatasi antara pria dan wanita juga akan berdampak pada terkikisnya jiwa-jiwa kelelakian dan kewibawaan pada kaum pria sehingga mereka terhanyut dengan sifat-sifat wanita yang bersifat lembut dan lemah gemulai. Hal ini menyebabkan tumbuh suburnya kecenderungan laki-laki yang bersifat seperti wanita atau dengan ungkapan lain tersebarnya para bencong.

Sementara itu, pernyataan yang pro terhadap “ikhtilath” dengan dalih akan menggembleng naluri dan insting manusia ke orientasi yang lebih positif, sedangkan membatasi pergaulan pria dan wanita hanya akan semakin menjadikan insting manusia tidak terkendali dan liar. Semua ini tidak benar. Faktanya, membiarkan “ikhtilath” dalam pergaulan hanya akan menambah tingkat kecenderungan kedua belah pihak dan mengobarkan nafsu syahwat. Dulu terkenal istilah “makanan itu akan memancing nafsu makan”. Begitupula seorang lelaki yang hidup bersama lawan jenisnya untuk beberapa waktu, maka ia akan dapati kecintaannya terhadap pasangan semakin hari akan semakin erat. Apalagi jika hubungan yang terjadi tidak dibingkai dengan akhlak mulia. Lalu, apa gerangan yang akan terjadi?

Seorang wanita yang hidup di tengah komunitas yang dipenuhi banyak pria, biasanya wanita tersebut bakal cenderung untuk selalu tampil gaya dan modis serta menonjolkan sisi-sisi kecantikannya pada kaum pria, karena ia ingin selalu menjadi pusat perhatian dan mendapatkan tempat di hati para kaum pria itu. Di samping itu, dampak dari pergaulan antara pria dan wanita yang tak terbatas, akan terasa pula pada aspek ekonomi, disebabkan peningkatan alokasi anggaran pengeluaran untuk urusan gaya dan mode.

Untuk itu, Ustadz Imam Hasan Al-Banna mengatakan: “Kembali kami menegaskan bahwa masyarakat Islam merupakan masyarakat yang terbebas dari pergaulan yang tak terbatas antara kaum pria dan kaum wanita, karena dalam masyarakat Islam kaum pria punya komunitas sendiri dengan sesamanya dalam pergaulan, sementara kaum perempuan pun memiliki komunitas tersendiri pula antar sesama mereka. Islam memberikan kebebasan kaum hawa pada kondisi-kondisi tertentu, seperti: menghadiri acara lebaran, shalat jama’ah, bahkan ikut perang dalam kondisi yang sangat kritis dan mendesak sekali. Namun kebebasan tersebut hanya dalam wilayah-wilayah di atas, tentunya dengan memberikan prasyarat yang sangat ketat”.

Semua aturan tersebut diberlakukan supaya pria bisa terbebas dari fitnah wanita, karena wanita merupakan batu ujian yang cukup terjal bagi pria, di samping juga bertujuan menyelamatkan wanita dari fitnah pria. Kemudian Imam Hasan Al-Banna mengutip nash-nash dari Al-Qur`an dan Sunnah yang terkait dengan masalah tersebut. Setelah mengemukakan dalil-dalil, Beliau melanjutkan: “Adapun yang kerap terjadi di tengah-tengah kita sekarang berupa “ikhtilath” antara pria dan wanita di berbagai forum dan tempat seperti di sekolah-sekolah, institusi-institusi dan tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Pergi ke tempat-tempat hiburan, restauran, serta taman-taman bukan merupakan budaya Islam sedikitpun, tapi merupakan budaya yang diadopsi dari adat Barat” .

Kemudian Imam Hasan Al-Banna terus melancarkan serangan terhadap orang yang berkeyakinan dan selalu mempropagandakan bahwa Islam tidak melarang wanita untuk ikut aktif dalam kancah pekerjaan-pekerjaan publik, sembari menyangkal keyakinan mereka dengan menyebutkan dalil-dalil yang mengindikasikan kedalaman pemahaman fiqih Beliau. Akhirnya Beliau sampai pada kesimpulan, bahwa wanita tidak berhak memangku jabatan dalam pekerjaan-pekerjaan publik, karena wanita telah diamanahkan tugas dan misi utama guna mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak.

Adapun bila kondisi memang memaksa dan mendesak wanita harus bekerja karena alasan kemiskinan dan kebutuhan, maka sang wanita juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu serta pekerjaan tersebut benar-benar dilakukan karena motif kondisi darurat atau emergensi. Dan menilai sebuah situasi sebagai kondisi darurat harus secara proporsional pula dan tidak sembarangan serta bukan karena alasan adanya perundang-undangan yang melegitimasi wanita bekerja di luar rumah dan meninggalkan peran utamanya sebagai pendidik dan pencetak generasi yang akan berjuang untuk Islam .

Penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan prinsip di atas, maka Imam Hasan Al-Banna mengambil sikap membolehkan wanita melakukan aktivitas politik, sebagaimana telah dikukuhkan dari pemahaman Al-Qur`an dan Sunnah. Oleh karenanya, Beliau membentuk sebuah lembaga independen yang khusus mengurus para akhwat Muslimah, di mana para akhwat Muslimah diberikan otoritas mengadakan kegiatan dan menjalankan program khusus untuk kalangan mereka, sementara para Ikhwan juga punya kegiatan tersendiri yang terpisah dari kegiatan para akhwat. Lembaga independen milik akhwat ini aktif menyebarkan dakwah dan melakukan tarbiyah ruhiyyah dan tarbiyyah siyasiyyah (pendidikan politik). Lembaga independen ini diketuai oleh seorang akhwat bernama Labibah Ahmad dengan dukungan dari para pengurus lainnya.

Adapun problematika sekelompok wanita yang memangku jabatan-jabatan strategis dan posisi-posisi penting yang mengurus kepentingan-kepentingan publik seperti lembaga-lembaga peradilan dan kehakiman (yudisial), departemen-departemen tertentu dan lembaga eksekutif atau pemerintah yang menjadi referensi rakyat dalam kondisi damai dan perang. Dalam hal ini Imam Hasan Al-Banna telah menyatakan larangannya terhadap fakta di atas. Larangan ini ditegaskan oleh hadits Rasul yang berbunyi:

لَنْ يَفْلَحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Artinya: tidak akan selamat suatu kaum atau bangsa yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita. (HR. Imam Bu¬khari dalam bab Al-Maghozi)

Termasuk juga dalam kategori cakupan hadits di atas adalah pelarangan wanita menjadi kepala daerah, pemimpin jihad, kepala kepolisian, kepala urusan peradilan dan kehakiman, kepala urusan perpajakan, kepala urusan haji serta institusi-institusi yang mengurus kepentingan-kepentingan publik lainnya.

Metode pengambilan kesimpulan hukum dari hadits yang telah dikemukakan di atas adalah karena Rasulullah SHALLALLAAHU ALAI¬HI WA SALLAM memberikan informasi tentang pengharaman kepemimpinan wanita dalam urusan-urusan yang menyangkut kepentingan umum (publik), karena menurut para pakar ushul fiqih bahwa kata (أمرهم) termasuk dalam lafazh yang berimplikasi umum atau general. Lafazh di atas mencakup kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah kepemimpinan publik maupun kepemimpinan khusus seperti kepemimpinan wanita terhadap harta, diri, usaha dan sebagainya. Tapi kepemimpinan dan penguasaan wanita yang terkait dengan kepentingan pribadi termasuk dalam konteks pengecualian, karena terdapat dalil lain yang mengecualikannya dari implikasi general (cakupan makna umum) dari lafazh tersebut, yaitu firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 32:

(لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ) [النساء: 32]

Artinya: (karena) bagi laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.

Dan firman Allah dalam Qur’an surah Al-Baqarah 237:

(وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْفُوْنَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) [البقرة: 237]

Artinya: Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan (wali) nikah.

Kesimpulan hukum di atas ditegaskan juga oleh firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 34:

(الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ) [النساء: 34]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemim¬pin bagi kaum wanita.

Kepemimpinan dalam keluarga yang notabene merupakan wilayah kepemimpinan bersifat khusus diserahkan seutuhnya pada pria, jika dalam keluarga saja wanita tidak berhak menjadi pemimpin keluarga, lantas atas dasar apa seorang wanita punya otoritas memimpin sebuah negara?
Kaum pria lebih kapabel dibanding wanita bila ditilik dari segi fisik dan intelektual. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 34:

(الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ) [النساء: 34]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah (mendapat kewajiban) menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Prinsip kepemimpinan berasal dari dua motif yang mendasar yaitu kapabilitas memimpin dan kesanggupan membiayai. Dalam hal ini, penulis menambahkan bahwa kaum pria memang lebih kapabel dibanding wanita dari segi rasio dan kesanggupan, bahkan kaum pria bisa mengungguli wanita dalam keahlian-keahlian yang telah menjadi spesifikasi wanita seperti: memasak, menjahit dan merancang busana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa koki dan designer busana wanita kenamaan dunia banyak didominasi oleh kaum pria.

Sementara itu ijma’ (kesepakatan para ulama pada suatu masa tentang suatu perkara dengan suara bulat atau bersama) yang terpraktekkan adalah larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah publik. Telah tercatat sepanjang era hukum Islam yaitu semenjak zaman Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM dan era kepemimpinan Khulafaurrasyidin hingga runtuhnya Pemerintahan Islamiyyah Utsmaniyyah bahwa tidak pernah ada kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah publlik, karena kepemipinan mereka dalam wilayah-wilayah tersebut hanyalah sebuah realitas yang dipaksakan dan penulis sendiri tidak paham dari mana asalnya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, sementara Rasulullah tidak pernah menjelaskan dan tidak pernah mengangkat wanita sebagai pemimpin.

Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM memang telah menunjuk orang-orang tertentu yang diberikan kewenangan mengurus wilayah kepemimpinan tertentu pula. Namun Rasulullah tak pernah sekalipun menunjuk wanita sebagai pemimpin, bahkan dalam Bai’at Aqabah II, yaitu ketika Rasululullah memerintahkan mereka agar memilih 12 orang perwakilan dan dalam jumlah tersebut tidak ada seorang wanita pun meski mereka turut terlibat dalam pembai’atan Rasulullah. Tidak sekedar itu saja, ketika terjadi permasalahan-permasalahan besar yang menyita pikiran, Rasulullah sering mengumpulkan para sahabat dan meminta saran serta pertimbangan mereka guna mencarikan solusi. Namun, dari sekian banyak peristiwa seperti perang Uhud, perang Ahzab, penaklukkan Makkah, perang Hunain dan sebagainya, tidak pernah ada pengalaman kalau Rasululah meminta pertimbangan terhadap kaum hawa sebelum mengeluarkan kebijakan dan memutuskan suatu perkara yang sangat urgen.