Kondisi Objektif Gerakan Dakwah Saat Ini (3)

5. Krisis Intelektual (Jumud)

Apa yang amat saya takutkan terhadapa Gerakan Dakwah hari ini ialah ketika ia merasa sempit dadanya untuk menerima para pemikir merdeka dari kalangan aktivis dakwah itu sendiri. Di hadapan mereka pintu pembaharuan dan ijtihad ditutup rapat. Cukuplah hanya dengan satu warna pemikiran (yang datang dari pemimpin atau eltienya) dan tidak boleh menerima pandangan lain yang berbeda dalam menyusun target-target, menentukan sarana, menetapkan marohil (fase), mengevaluasi peristiwa dan sikap (yang dibangun), penilaian atau evalusasi terhada tokoh dan pribadi-pribadi (pemimpin dakwah) atau apa saja hal lain yang sebenarnya masih dalam kontek ijtihad manusia yang dengan senidirinya berkembang dan berubah disebabkan adanya faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh (mikro mapun makro).

Itulah secuil kegundahan Dr. Ysuf Al-Qardhawi, sang tokoh besar dakwah masa kini. Banyak hal yang menyebabkan Beliau sulit berinteraksi secara langsung dan intens dengan Gerakan Dakwah. Di antaranya disebabkan jumud (kebekuan dan arogansi) para pemimpin Gerakan Dakwah itu sendiri.

Jumud atau kebekuan akal adalah fenomena yang umum terlihat dalam kehidupan sehari-hari Gerakan Dakwah. Jika jumud tersebut terjadi pada kalangan berpendidikan rendah atau masyarakat awam, maka kondisi tersebut masih bisa dimafhumi. Namun, bagaimana jika jumud itu menghinggapi kalangan terdidik dan bahkan berpendidkan tinggi dari berbagai jurusan? Bahkan sampai ke peringkat dokotor? Itulah yang menjadi bahan renungan penulis dua puluh tahun belakangan ini. Kenapa banyak sekali pemimpin dan aktivis dakwah dihinggapi oleh penyakit jumud? Padahal mereka berpendidikan tinggi? Anehnya, jumud itu terlihat jelas setelah mereka bergabung dengan Gerakan Dakwah. Kejumudan itu akan menjadi-jadi ketika mereka memangku jabatan kepemimpinnan di salah satu jenjang organisasi dakwah atau ketika berada di pucuk kepemimpinan.

Para pembaca boleh tidak setuju dengan apa yang penulis ceritakan ini. Namun hampir 30 tahun terlibat berdakwah di berbagai organisasi dakwah, penulis selalu menemukannya. Jika yang jumud tersebut hanya kelompok minoritas, mungkin masalahnya akan ringan. Tapi yang sering ditemukan di lapangan ialah yang jumud itu adalah kelompok mayoritas dari para pemimpinya dan juga para pengikutnya.

Fenomena jumud ini, seperti yang diungkapan Syekh Al-Qardhawi di atas, merupakan hal yang amat berbahaya. Jika Gerakan Dakwah terus memeliharanya, lambat atau cepat Gerakan Dakawah akan mengalami kelumpuahan; ibarat orang yang terkena strook yang selalu didodorong dan diarahkan perjalannya di atas kursi roda sesuai kehendak orang-orang yang mendoronganya. Gerakan Dakwah yang lumpuh juga demiakian halnya. Ia akan diarahkan oleh keinginan-keingan masyarakat, penguasa, atau para pemimpinya dan kondisi yang ada di sekelilingya. Apalagi jika pemimpin dan elitenya terjangkit penyakit ‘al-hwahn – cinta dunia dan takut mati-, mustahil Gerakan Dakwah mampu mengarahkan masyarakat ke jalan yang lebih baik dan lebih adil yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Gerakan Dakwah hanya akan menjadi pak turut alias pelengkap penderita bagi situasi dan kondisi yang berkembang, kendati perkembangan itu kea rah keburukan dan kehancuran.

Sesungguhnya jumud itu bermuara dari tidak mamu menggunakan akal dan segala potensi diri (hati, mata dan telinga) secara benar dan maksimal dalam mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sebabnya bisa saja karena tidak memiliki ilmu (bodoh) atau lebih mengikuti dorongan hawa nafsu duniawi. Padahal dalam kehidupan manusia, akal dan semua potensi diri manusia yang luar biasa itu bagaikan mesin bagi sebuah kapal yang sedang berlabuh di laut lepas. Sedang pentunjuk jalan (kompas)-nya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Bila mesinnya macet, mungkin karena berkarat atau rusak, atau kehabisan bahan bakar, salah memasukkan bahan bakar, atau ada komponennya yang mengalami kerusakan maka dipastikan kapal tersebut tidak akan bisa bergerak. Demikian juga, bila mesin kapal dalam kondisi sangat baik, namun kpompasnya tidak diperguanakan atau salah mebacanya, disengaja ataupun tidak disenagaja, maka kapal tersebut pasti tersesat dan tidak akan pernah sampai ke tujuan.

Akal dengan segala perangkat canggih dalam diri manusia itulah yang membedakan manusia dengan hewan dan makhluk jumud (beku) lainnya. Demkian juga, akal pulalah yang membedakan antara manusia yang normal dengan manusia yang tidak normal. Mari renungkan firman Allah berikut ini :

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi nereka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179)

Manusia masih dimasukkan dalam kategori normal selama akalnya sehat kendati fisiknya sakit atau tidak sempurna, seperti buta dan sebagainya. Bahkan Allah hanya memberikan taklif syar’i (kewajiban syar’i) kepada manusia yang sehat akalnya, bukan kepada manusia yang tidak sehat akalnya, kendati fisiknay sempurna. Hal tersebut sama halnya dengan makhluk lain yang tidak berakal; tidak mendapat taklif syar’i dari Allah Ta’ala.

Sebab itu, jumud adalah salah satu indikasi awal dari kurang sehatnya akal. Kalau dibiarkan berlarut-larut maka bisa menjadi akut atau kronis, bahkan mungkin mati. Pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusai brutal – bergerak tanpa aturan-, atau memanipulasi ajaran agama untuk keentingan duniawi yang amat kecil dan hina, atau manusia-masnisia robot yang selalu menunggu perintah dari atasan dan sama sekali tidak mampu mengkritisi apa saja anjuran, perintah atau peraturan kendati bertentangan dengan ajaran Islam.

Jumud (kebekuan akal) bagi para aktivis dakwah adalah sangat berbahaya, karena akan menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan berjama’ah dan berdakwah. Masalahnya akan lebih besar dan serius ketika jumud menimpa mayoritas aktivis suatu Gerakan Dakwah di tengah dominasi dan hegemoni para pemimpinnya. Kondisi tersebut akan melahirkan jama’ah robotiyyah (jama’ah robot) yang secara sepintas dari luar terlihat besar, solid dan kompak, padahal kenyataannya adalah keropos dan lemah. Sejarah membuktikan bahwa kejahatan penjajahan yang dilakukan Fir’aun yang begitu lama terhadap rakyatnya dan amat sulit memerdekakan mereka di antaranya disebabkan oleh mental budak yang mereka miliki sebagai akibat dari penyakit jumud yang mereka miliki.

Secara umum, fenomena jumud dapat dilihat sebagai berikut :

1. Tidak kritis sehingga tidak terciptanya suasana dialogis dalam kehidupan berjama’ah dan berorganisasi baik sesama anggita, terlebih lagi atara qiyadah (pemimpin) dengan anggota.

2. Dominasi taujihat (arahan-arahan) dan bahkan awamir (perintah-perintah) dalam kehidupan berjama’ah dan berorganisasi.

3. Kebanyakan kebijakan diambil dengan sistem top-down (dari atas ke bahwah oleh segelintir elite), bukan bottom-up (dari bawah ke atas), karena berkeyakinan : Qiyadah (pemimpin) wajib dita’ati dalam segala hal dan kondisi, sedangnkan anggota wajib menta’ati pemimpin dalam segala hal dan kondisi).

4. Kurang kreatif dalam melahirkan gagasan-gagasan, pemikiran-pemkiran dan terobosan-terobsan baru dalam berdakwah di tengah perkembangan masyarakat yang sangat cepat. Hal tersebut diakibatkan matinya tradisi keilmuan. Yang dominan adalah taujihat (pengarahan-pengarahan satu arah) dan perintah-perintah. Akhirnya lahirlah masyarakat ummiyuun yakni, tidak memahami inti ajaran Islam dan Gerakan Dakwah Islam selain hanya kulit luarnya.

5. Kehidupan dan aktivitas dakwah yang monoton. Nyaris tidak ada hala-hal yang baru dan besar, baik pemikiran maupun aktivitas yang ditampilkan sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat moderen. Seba itu, apa yang menjadi konsentrasi pikiran mereka adalah uang, uang dan uangdan kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan.

6. Parsialisasi dan konsentrasi aktivitas dakwah pada beberapa aktivitas yang amat terbatas, sehingga aspek-aspek lain terabaikan.

Adapun ekses negatif dari jumud adalah :

1. Tidak lahirnya produk-produk pemikiran orisinil yang menjawab berbagai probelematika dalam kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, politik, budaya, hukum, sistem pemerintahan, hubungan internasional dan sebagainya. Sebagi catatan sederhana, bank syaria’ah, asuransi syari’ah, kembali menggunakan mata uang dinar dan dirham dan berbagai aktivitas kehidupan yang berasis Islam lainnya lahir dari tangan mereka yang tidak berteriak-teriak sebagai aktivis Gerakan Dakwah. Anehnya, para pemimpin dan aktivis Gerakan Dakwah berteriak selalu ingin membentuk masyakat Islami dan sebagainya. Kalau kita jujur, produk nyata Gerakan Dakwah masa kini yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas hanya baru tiga perkara, yakni model pakaian muslimah (jilab), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan nasyid (lagu-lagu Islami).

2. Tidak lahirnya kreativitas dan aktivitas yang beragam, berkualitas dan mencakup semua sektor kehidupan masyarakat. Sebab itu, tidak heran jika Gerakan Dakwah masih belum dipahami oleh mayoritas masyarakat Muslim di negeri ini selain dari nilai-nilai Islam sederhana berupa gerakan moral, itupun hanya lahiriahnya saja. Kalau sduah dihadapkan ke dunia nyaata dan amanah dan jujur, khususnya kedudukan dan harta, nyaris pada berguguran. Sebab itu, jika imej negatif yang dipropagandakan oleh tokoh dan media massa yang terpengaruh cara pandang musuh-musush Islam, atau yang memang menjadi corong kepentingan musuh-musuh Islam, masih amat melekat pada Gerakan Dakwah saat ini, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, terorisme dan sebagainya.