Krisis Ruhiyah (Spiritual)

4. Krisis Ruhiyah (Spritual)

Ruhiyah (spritual) bagi aktivis dakwah ibarat jantung bagi manusia. Bila jatungnya sehat, maka sehat pula semua anggota tubuhnya. Namun, bila jantungnya rusak dan sakit, maka rusak dan sakit pula seluruh tubuhnya. Oleh sebab itu, krisi ruhiyyah tidak boleh dianggap spele, karena mengakibatkan bencana besar bagi pengidapnya. Apalagi jika yang mengidap krisis ruhiyah tersebut adalah para pemimpin dan tokoh dakwah, maka musibahnya akan lebih besar lagi terhadap jama’ah yang dipimpinnya serta masyarakat luas.

Tidak sedikit aktivis Gerakan Dakwah hari ini kehilangan ruhyah, kecuali yang mendapat rahmat dari Allah. Akibantnya, hatipun menjadi keras seperti, tidak mau menerima nasehat dan peringatan kendati dari sesama aktivis dakwah, berlebihan menggunakan akal dan tidak mau tunduk pada nushush syar’iyyah (dalil-dalin syar’i) dalam menghadapi berbagai persoalan dan realitas kehidupan dengan dalih ilmiyah, tafsir sosial, fiqhuddakwah dan sebagainya yang salah menggunakannya. Padahal tidak akan ada pertentangan antara ilmiyah, tafsir sosial dan fiqhuddakwah dengan fiqihusy-syari’ah. Sebab, fiqhuddakwah itu dirumuskan oleh para ulama sebagai metodologi untuk menegakkan syaria’ah. Ia harus tunduk pada nilai-nilai syar’i. Kalau metodologinya menyimpang, bagaimana mungkin syaria’h itu bisa tegak? Kalaupun tegak, pasti syari’ah yang compang camping seperti yang terjadi pada kaum Ahlul Kitab. Akhirnya, masyarakat tidak dapat melihat gambaran syaria’h yang orisinil.

Fenomena lain yang muncul dalam kehidupan berjama’ah sebagai akibat krisis ruhiyah adalah kegersangan jiwa, kekerasan hati dan kekeringan mu’amalah, sehingga ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) hanya sebatas lisan dan tidak mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata secara baik dan maksimal. Padahal, Ukhuwwah Islamiyah tersebut salah santu kunci utama kekuatan jama’ah/organisasi. Contoh persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshor hanya ibarat nasyid (lagu) yang disenandungkan untuk dinikmati lirik dan suaranya. Pada hakekatnya, masing-masing sibuk memikirkan dan mengurusi dirinya.

Anhenya pula, para pemimpinnya tidur nyenyak di atas kasur empuk dalam kamar rumah megah mereka yang full AC atau di hotel-hotel mewah sambil makan dengan makanan yang lezat penuh gizi serta citra dan rasa yang tinggi. Siang dan malam mengenderai mobil-mobil mewah dengan dalih menjaga performance (jaga imej) sebagai tokoh dakwah. Asal usul harta tidaklah jadi perkara. Padahal, dakwah sebelumnya berkembang pesat, ketika kehidupan mereka miskin dan bersahaja. Contoh kehidupan keseharian Rasul sudah jarang dibaca. Kalaupun dibaca, hanya sepotong saja dan yang terkait dengan kuda dan onta Rasul yang mahal harganya. Lalu ditafsirkan seenak perutnya.

Pada saat yang sama, mayoritas atau kebanyakan anggota jama’ahnya hidup menderita di bawah garis kemiskinan yang mendapat gelar MA (mustahiq abadi) yang berhak menerima zakat seumur hidup mereka. Lucunya, para pemimpin dan jama’ah mereka tetap saja mewajibkan infaq atau berbagai iuran wajib (melebihi dari kewajiban yang Allah tentukan) pada mereka dengan dalih jihad maali (pengorbanan harta), padahal Allah saja tidak mewajibkan kepada mereka yang lemah harta (yang berada pada garis kemiskinan apalagi di bawah garisnya) agar mengeluarkan harta untuk kepentingan apapun, karena secara faktual mereka tidak punya, atau tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka dan merekalah yang harus menerimanya.

“Dan dalam sebagian harta mereka (yang kaya) ada hak orang yang meminta dan belum beruntung” (Q.S. Az-Zariyat / 51 : 19)

Fenomena krisis spritual ini juga dapat kita saksikan di kalangan aktivis Gerakan Dakwah di negeri ini secara nyata. Sebagai contoh, sekitar empat tahun yang lalu terjadi sebuah pertemuan para aktivis Gerakan Dakwah di salah satu kota di Indonesia dengan mengangkat tema yang sangat menyedihkan sekaligus menggembirkan yakni “Mencari Ruh Yang Hilang”.

Menyedihkan karena sudah sebegitu kritisnya spritualitas kalangan aktivis Gerakan Dakwah yang jika tidak berhasil disembuhkan bisa berakibat kemunduran dakwah. Menggembirakan karenan mereka berani mengangkat tema besar dan sensitif yang mungkin bagi sebagian aktivis lainnya masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Berarti ada kesadaran yang tinggi bagi para aktivis dakwah tersebut untuk mengakui adanya krisis spritual dan kemudian berupaya mengobati dan mencarikan terapinya dengan benar. Namun amat disayangkan, upaya tersebut seakan terhempas karang karena sudah tidak lagi menjadi perhatian Gerakan Dakwah dan para pemimpinnya saat ini. Gerakana dakwah lebih berasyik maksyuk sambil bermain-main dengan politik praktis yang amat menggiurkan dan menjanjikan keuntungan duniawi yang amat besar.

Adapun cirri-ciri krisis ruhiyah (spritual) dalah :

1. Rasa malas menunaikan ibadah fardhu, khususnya sholat fardhu berjamaah di masjid dengan alasan sibuk, capek berdakwah dan berbagai alasan lain yang dicipatakan.

2. Rasa berat menunaikan iabadah-ibadah nafilah (sunnah), khsusnya qiyamullail (sholat) tahajjud, dengan alasan capek berdakwah serta berat untuk berinfaq dengan berbagai alasan seperti sudah digunakan untuk kebutuhan dakwah yang lain.

3. Terasa berat membaca dan mentadabburkan Al-Qur-an, menelaah Sunnah Nabawiyyah serta kehidupan Salafus Sholeh.

4. Tidak bisa zikrullah (berzikir pada Allah) dengan banyak. Ingat, di antara cirri-ciri kaum munafik ialah malas sholat dan tidak bisa banyak melakukan dzikrullah.

5. Lesu berdakwah jika tidak menghasilkan keuntungan duniawi. Sebaliknya, sangat bersemangat berdakwah jika secara langsung atau tidak langsung menghasilkan keuntungan duniawi.

6. Menggunakan akal dalam menghadapi berbagai masalah yang pada akhirnya terlihat mengada-ada atau memaksakan nushush syar’yah (dalil-dalil syar’i) untuk menjawab berbagai ekses yang muncul dari sikap dan tingkah laku yang salah.

Adapun efek negatif krisis ruhiyah (spritual) adalah :

1. Hati keras, kendati tampilan wajah selembut salju.

2. Ukhuwwah (persaudaraan) kering, cuek (tidak sensitif dan solideritas / kesetiakawanan tipis) dan terkadang cenderung materialistik.

3. Tidak bisa khusyuk sholat dan beribadah lainnya, karena hati masyghul menghayalkan dunia, kendati dalam bungkusan dakwah atau agma.

4. Tidak bisa menerima kritik dan nasehat, khususnya terkait dengan kesalahan pribadinya.

5. Bila berselisih pendapat bisa menimbulkan dendam kesumat yang berkepanjangan, sambil berupaya membangkrutkan semua yang dianggap berlawanan / berseberangan pendapat.

6. Bersikap nifaq (tidak berani berterus terang) dan tidak bisa mengakui kesalahan.

7. Ujub (bangga) dengan diri dan pendapatnya, termasuk dengan kelompok dan jama’ahnya.

8. Sombong alias tidak mau menerima kebenaran dan pendapat orang lain atau jama’ah lain selain elite jama’ah kelompoknya.

9. Hatinya cenderung dan mudah silau terhadap kehidupan duniawi.

10. Obrolan dan cita-cita menumpuk kesenangan dunia cendrung meningkat frekuensinya, padahal mereka bukanlah para pengusaha.

11. Memanfaatkan jama’ah dan dakwah untuk meraih keuntungan duniawi.

12. Mencampur adukkan antara Al-Haq dengan Al-Bathil (split personality), seperti rajin beribadah dan berzikir, tapi rajin juga memanfaatkan dakwah untuk kepentingan duniawi, memakan harta yang diperoleh bukan dengan jalan yang halal, atau dimulutnya keluar kata-kata keharusan zuhud dan warak terhadap dunia, namun kenyataan hidupnya penuh galamor dan berfoya-foya.