Konsep Tarbiyah Akhlak dalam Al-Quran (3)

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

Kedua, Pemilihan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat pengetahuan umum manusia.

Pemilihan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat pengetahuan umum manusia, sekalipun mereka berbeda lingkungan, wawasan dan zaman. Bukanlah merupakan sarana yang baik, jika gaya bahasa dakwah dan pengajian hanya cocok unuk satu kalangan dan tidak cocok untuk kalangan yang lain.

Ini adalah syarat paling berat dalam konsep tarbiyah yang mampu menyentuh seluruh lapisan masayarakat manusia, betapa banyak dai yang gagal dalam dakwahnya, dilihat dari sisi konsep dan bahasanya, karena mereka tidak menguasai artikulasi bahasa dan orasi yang menyentuh level umum pemahaman pendengar maupun para peserta didik.

Dari sisi ini kita melihat fenomena mujizat yang agung dalam Al Quran, karena kitab ini mampu berdialog bersama pembaca dan pendengarnya dengan sarana bahasa yang sesuai dengan level pemahaman mereka, semua lapisan masyarakat, tanpa meninggalkan jejak cacat dalam pemahaman ataupun kontradiksi di antara beberapa pemahaman.

Bukan berarti kami mengeluarkan jaminan pasti, bahwa semua anak manusia mampu mencerna isi Al Quran tanpa proses belajar dan mengkaji, namun kami katakan ini akan terjadi jika mereka semua memiliki kemampuan yang sama dalam memahami kaidah-kaidah dan gaya bahasa arab. Semua akan memiliki pemahaman yang sama tentang maksud kitab ini, setelah mereka sama-sama memiliki kemampuan bahasa arab sebagai sarana belajar dan kajian mereka terhadap kitab Al Quran.

Cobalah kita perhatikan firman Allah swt :

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ كِفَاتًا (25) أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا (26) وَجَعَلْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَأَسْقَيْنَاكُمْ مَاءً فُرَاتًا (27)

“Bukankah kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, Orang-orang hidup dan orang-orang mati. Dan kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan kami beri minum kamu dengan air tawar?.” (QS. Al Mursalat : 25-27)

Renungkan kata كِفَاتًا “Kifata” yang memiliki makna menarik dan mengumpulkan, kita bisa lihat dalam sebuah bait syair :

كــرام حـين تنـكـفت الأفـاعي إلى أحـجـارهـن مـن الـصـقـيـع

Mereka mulia ketika lubang-lubang itu
menarik ular-ular bersembunyi
karena udara dingin yang menusuk

Ayat ini memberikan gambaran tentang bumi sesuai dengan level pemahaman orang arab badui, di mana mereka memahami dari ayat ini, bumi adalah mirip seperti wadah yang mampu menjaga dan mengamankan segala hal yang ada di dalamnya, ini adalah pemahaman yang benar, karena memang seperti itulah kenyataannya. Gambaran ini sama persisi dengan penelitian para ilmuwan dan peneiti bumi dan antariksa, seorang ilmuwan yang bernama Tsabit bin Qurrah (221-228) menyatakan bahwa manusia bisa menetap di bumi ini karena adanya kekuatan tersembunyi yang menariknya. kalau bukan karena kekuatan ini, maka manusia tidak akan mungkin bisa menetap di bumi, kekuatan ini belakangan kita kenal dengan daya gravitasi bumi. Tidak ada kata yang mampu menjembatani pemahaman tradisional seorang baduwi dengan penemuan para ilmuwan pada era modern sekarang ini kecuali kata “kifata”.

Mari kita perhatikan firman Allah swt berikutnya yang juga menjelaskan satu sisi gambaran bumi :

وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا (30) أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا (31)

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.” (QS. An Naziat : 30-31)

Kata دَحَاهَا “dahaha” dalam bahasa arab artinya adalah menghamparkan, membesarkan dan mebulatkannya, sebagaimana dijelaskan dalam kamus al Muhith. Ketiga makna ini ternyata tercakup dalam realitas bumi, karena bumi bersifat terhampar, besar dan bulat. Seorang badui yang hidup di pedalaman memahami makna yang pertama dan kedua, adapun ahli perbintangan memahami ketiga makna tersebut, jadi tidak ada pertentangan dan kontradiksi antara ketiga makna tersebut dan juga pemahaman orang badui dan ahli perbintangan.

Perhatikan firman Allah swt yang menjelaskan gambaran tentang api dan fungsinya dalam kehidupan anak manusia.

أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ (71) أَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِئُونَ (72) نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِلْمُقْوِينَ (73)

“Maka Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau kamikah yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS. Al Waqiah : 71-73)

Kita lihat kata “Muqwiin” yang merupakan bentuk jamak dari “Muqwin” yang berarti orang yang tinggal di padang pasir, orang yang lapar dan orang yang menikmati. Adapun dalil dari makna pertama adalah bait syair di bawah ini :

واني لأخـتـار القـوي طـاوي الحـشـا محـاذرة مـن ان يـقـال لـئـيـم

Sungguh aku utamakan orang pada pasir yang lapar
Agar tidak digelari sebagai orang yang pelit

Seorang arab badui akan memahami makna yang pertama, karena api adalah nikmat bagi orang-orang yang tinggal di padang pasir, karena api itu menerangi rumah-rumah dan lingkungan mereka, sekaligus menjadi penerang tempat mereka berkumpul. Adapun kalangan awam yang tinggal di kota akan mudah memahami makna yang kedua, karena bagi mereka api berfungsi sebagai sarana untuk memasak makanan mereka, bagi mereka api adalah barang yang sangat penting bagi “muqwin” yang artinya orang yang lapar. Adapun makna ketiga adalah ungkapan tentang kartu terbuka yang menunggu perkembangan zaman dan waktu, tidak ada aneka fungsi api yang di temukan oleh kemajuan dan ilmu kecuali telah dijelaskan secara jelas oleh kata muqwin dalam ayat tersebut di atas, makna ketiga ini pasti difahami secara otomatis oleh setiap orang yang tinggal di kota.

Perhatikan salah satu ayat yang menjelaskan gambaran tentang matahari dan rembulan dengan karakteristiknya masing-masing, Allah swt berfirman :

تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS. Al Furqan : 61)

Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman :

أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا (15) وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا (16)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?” (QS. Nuh : 15-16)

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yunus : 5)

Kita melihat ketiga ayat menjelaskan matahari sebagai سِرَاجًا “siraj” lampu pelita sekaligus juga penerang, dan bulan sebagai نُورًا “nur” cahaya dan penerang, ini adalah gambaran detail yang menyentuh seluruh makna yang difahami oleh seluruh lapisan masyarakat, sesuai dengan wawasan dan level pemahaman mereka.

Adapun orang badui yang ada di pedalaman memahami kedua gambaran di atas dengan baik, bahwa keduanya memilki kesamaan dalam memberikan penerangan kepada manusia secara mutlak, karena kata siraj dan nur memiliki makna yang sama yaitu sebagai penerang.

Namun orang-orang yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan luas memahami bahwa keduanya memiliki makna yang sama sebagai penerang, hanya saja matahari selain menerangi ia juga membawa hawa panas, adapun bulan memberi cahaya yang tidak ada panasnya. Karena sesuatu tidak akan dikatakan sebagai siraj kecuali selalu disertai dengan panas.

Adapun ahlii perbintangan atau yang mengenali dengan dalam tabiat matahari dan bulan, mereka memahami dua gambaran di atas, apabila mereka tahu bahasa arab. Sesungguhnya ayat-ayat di atas memberikan penjelasan bahwa matahari memberikan penerangan dari dalam dirinya sendiri, adapun bulan cahayanya adalah hasil pantulan sinar yang ditangkapnya, ini adalah perbedaan kata yang sangat detail dan teliti, kita tidak menyebut kamar kita dengan siraj karena ia memberikan cahaya atau sinar, tapi kita katakan cahaya kamar adalah pancarnn cahaya lampu yang menyinari dari dalam dirinya sendiri, siraj memancarkan sinar dan cahaya dari dirinya sendiri.

Imam mufassir Al Baidhawi menafsiri ayat :
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yunus : 5) setelah beliau mejelaskan gambaran matahari dan bulan, “Allah swt memberikan pengetahuan kepada kita, bahwasanya matahari bersinar dengan dirinya sendiri,sementara bulan bersinar karena menerima pantulan sinar matahari dan menyerapnya.”

Banyak bukti yang menunjukkan keajaiban sisi tarbiyah yang dahsyat dalam kitab Allah swt, sebenarnya kami ingin memaparkan banyak contoh, namun kami tidak ingin keluar lebih jauh dari tema yang kita bahas dalam buku ini.

Ala kulli hal, cukuplah kita tahu bahwa Al Quran telah melakukan dialog aqliah dengan menyingkap rahasia alam semesta dan realita segala kejadian-kejadian yang ada di dalamnya, dengan memilih dan memilah gaya bahasa yang sesuai dengan seluruh kemampuan dan level pemahaman mitra dialognya, tanpa sedikitpun meninggalkan kontradiksi dan pertentangan dalam pemahaman maupun dalam makna bahasa itu sendiri.

Di antara buah dari tarbiyah yang bijak ini adalah, Al Quran telah menjelaskan pengetahuan tentang alam semesta ini dengan bahasa yang jauh dari istilah ilmiah yang pelik, kalau tidak maka dialog dalam Al Quran tidak akan menyentuh kecuali sedikit dari kalangan manusia.

Dan di antara buah dari tarbiyah yang bijak ini adalah gaya bahasa Al Quran mampu mendorong manusia untuk lebih banyak mengamati dan menganalisa, tidak hanya sekedar mewajibkan manusia untuk mengimani berita ghaibnya. Kalau saja Al Quran memakai gaya bahasa instruksi wajib, maka manusia hanya dituntut untuk iman kepada masalah ilmiah ini, sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Al Quran tanpa melakukan eksperimen dan pembuktian, yang menjadi sarana utama dan fundamental yang menyampaikannya pada hakikat ilmiah tentang alam semesta ini, maha suci Allah yang telah memuliakan manusia dengan akal dari perintah ini. Karenanya Allah swt berfirman :

قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi.” (QS. Yunus : 101)

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(QS. Adz Dzariyat : 21)

إِنَّ فِي اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.” (QS. Yunus : 6)

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآَخِرَةَ

“Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.” (QS. Al Ankabut : 20)

Ketika ayat Al Quran membahas tentang hakikat ilmu dan detail alam semesta ini, maka ayat-ayat itu akan menyatakan prinsip keseimbangan, kerapian dalam pengaturan detail susunannya, atau ayat-ayat itu akan memberikan gambaran permukaan yang bisa disentuh oleh salah satu panca indra manusia, atau ayat-ayat itu mengaitkannya dengan sarana hidup manusia, dilihat dari sisi urgensinya bagi terpenuhinya kebutuhan sekaligus kesuseuaiannya dengan tabiat hidup manusia.

Lihatlah firman Allah swt :

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan : 2)

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Qamar : 49)

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.(QS. Al Hijr : 21)

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang Telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, Kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha : 50)

Lihatlah analisa dan penggambaran Allah swt dalam ayat-ayat berikut ini :

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

“Dan kami Telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit, lalu kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al Hijr : 22)

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الْأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar Ra’du : 3)

Kalau kita membayangkan ayat-ayat di atas memaparkan analisa ilmiah terhadap segala hal, menjelaskan detail proses penyusunan dan detail bagian-bagiannya, maka itu tidak akan kita dapat dalam Al Quran, kecuali dalam bahasan sejarah yang memaparkan peristiwa dan bagaimana asal kejadiannya.

Hikmah tarbawiyah dari semua ini adalah, agar akal tidak mendapatkan keyakinan tentang hakikat ilmiah segala hal yang bisa diindera, dengan jalan berita ghaib, tanpa melakukan pengamatan, analisa, eksperimen dan pembuktian. Kalau Allah menjelaskan makna ayat ini (maddal ardha) atau (Yughsyil lailan nahaara) dengan penjelasan ilmiah dan detail, maka Allah pasti mewajibkan kita untuk mengimaninya secara ghaib, tanpa melalui proses pengamatan dan analisa terlebih dahulu. Dan telah kami katakan pada alinea yang telah lalu, maha suci Allah dari hal ini, Allah telah memuliakan manusia dengan menjauhkan perintah wajib seperti ini, sementara sarana yang kita miliki bisa kita fungsikan untuk mengamati dan menganalisa.

Kita tahu bahwasanya kesalahan terbesar dalam tarbiyah kita adalah, ketika di depan anak didik kita ada jalan mudah dan natural untuk sampai kepada sebuah kebenaran ilmiah dengan sentuhan kerja keras inderanya, namun kita kita persulit jalan itu dengan sikap otoriter dan kekuasaan kita sebagai guru dalam memahami hakikat kebenaran tersebut.

Kita tidak layak untuk bertanya, mengapa Allah swt menjelaskan dengan detail, hal-hal ghaib yang kita tidak pernah melihatnya atau menginderanya sama sekali, seperti malaikat, jin, neraka, surga lengkap dengan deskripsinya, lalu kita dituntut untuk mengimani ini semua sesuai dengan berita ghaib yang telah kita terima, tanpa sedikitpun peran ilmu pengetahuan dan indera kita di dalamnya.

Ya, kita tidak layak melontarkan pertanyaan seperti ini, karena hal-hal yang kita sebut di atas, yang dijelaskan dengan mendetail, memang bukan termasuk dalam kategori hal-hal yang bisa disentuh dengan pendekatan indera, eksperimen dan pembuktian. Tidak ada sarana yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang hal-hal ghaib di atas kecuali dengan berita ghaib yang pasti, dari orang yang kita percaya, yang tidak pernah ingkar dan bohong dalam setiap berita yang ia bawa. Kalau saja Allah swt menginstruksikan kita untuk melakuakan pengamatan dan analisa terhadap malaikat misalnya, dan mendorong kita untuk menyingkap hakikatnya, maka pengamatan dan pikiran itu tidak akan dapat menjangkau, walaupun kita lakukan dalam waktu yang lama, karena dari indera kita tidak ada sarana pendukung untuk mendapatkan ilmu tersebut, maka tidak ada jalan terbaik kecuali menyerahkannya pada berita yang benar-benar memiliki nilai kebenaran murni.