Apakah Harta Yang Dihibahkan Melebihi 1/3 Dari Total Harta Yang Dimiliki Itu, Sah Menurut Syariat Islam?

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Saya ingin menanyakan tentang masalah hibah dan wasiat. Seseorang kakek menghibahkan hartanya kepada salah seorang cucunya sebelum hartanya diwariskan kepada anaknya, yang di kemudian hari berbuntut menjadi pertengkaran terhadap sesama ahli waris yang lainnya. Ceritanya begini, seorang kakek mempunyai anak tunggal (perempuan) dan mempunyai 8 orang cucu. Cucu yang pertama dipelihara oleh kakeknya sejak kecil. Setelah remaja, si kakek menghibahkan hartanya (berupa tanah) kepada cucu yang pertama ini dengan jumlah lebih dari 1/3 dari total harta yang dimiliki tanpa izin dari ahli waris yang lainnya. Penghibahan harta itu dilakukan dengan membalik nama surat kepemilikkan harta itu. Setelah 30 tahun berlalu sang cucu ini menjual harta itu sebagai modal untuk mengembangkan usahanya. Lalu ahli waris yang lainnya menuntut pembagian harta itu, namun tidak mendapatkan hak-haknya karena harta itu telah dihibahkan secara sah oleh kakeknya.

Pertanyaannya:

1. Apakah penghibahan harta itu sah menurut syari’at Islam? Sedangkan Rasulullah SAW bersabda La Washiyyata Li Warits dan tidak boleh menghibahkan harta melebihi 1/3 dari total harta yang dimiliki.

2. Bagaimana hukumnya jika orang yang menerima harta hibah itu hanya memberikan uang sekedarnya saja kepada ahli waris yang lain dan tidak membaginya menurut syariat Islam?

3. Manakah yang lebih afdhal bagi orang yang menerima harta hibah itu, mewakafkan sebagian hartanya fi sabilillah atau memberikan hartanya kepada ahli waris yang lain.

Demikianlah pertanyaan saya mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Terimakasih

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ahmad Muzayyin

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Untuk memudahkan dalam menjawab pertanyaan anda, ada baiknya kita bedakan dulu tiga istilah dalam masalah ini. Yaitu warisan, hibah dan wasiat. Masing-masing punya kesamaan tapi juga punya perbedaan mendasar.

Warisan menjadi hak ahli waris dengan nilai tertentu yang telah dibakukan dalam ilmu waris. Tidak berpindah kepemilikan kecuali setelah pemilik harta wafat. Kalau dibagi-bagi sebelum wafat, namanya bukan warisan. Karena syarat pembagian warisan yang paling utama adalah kepastian matinya pemilik harta dan kepastian masih hidupnya ahli waris.

Sedangkan hibah boleh diberikan kepada siapa saja, baik kepada yang masih termasuk ahli waris atau pun bukan. Tidak ada batasan minimal atau maksimal dalam pemberian itu, bahkan meski diberikan 100% sekalipun tidak ada masalah.

Adapun wasiat adalah harta yang hanya diberikan kepada orang selain ahli waris, maksimal hanya boleh 1/3 dari total harta yang dimiliki. Wasiat punya kesamaan dengan warisan, tidak berpindah kepemilikan kecuali setelah pemiliknya wafat.

Dalam pertanyaan yang anda ajukan, sesuai dengan bentuknya yaitu hibah, maka yang menerima boleh saja ahli waris atau siapapun yang bukan ahli waris. Dalam hal ini, posisi cucu sang kakek bukan sebagai ahli waris, lantaran ibunya masih ada. Posisinya terhijab (mahjub) lantaran masih adanya ibu. Tetapi semua tidak masalah, baik dia sebagai ahli waris maupun bukan, karena sifatnya hibah, maka hukumnya boleh-boleh saja dia terima.

Dan larangan Laa washiyyata li warits tidak berlaku dalam hal ini dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena ini bukan washiyat tetapi hibah. Kedua, karena yang bersangkutan bukan ahli waris lantaran terhijab oleh adanya ibu.

Dan ditilik dari segi waktu penyerahan harta, memang menunjukkan hibah. Buktinya, harta itu sudah diserahkan sejak sang kakek masih ada. Dan dikuatkan dengan surat keterangan kepemilikan.

Dan karena bersifat hibah, jumlahnya pun tidak ada batasannya. Secara hukum boleh lebih dari 1/3 dari total hartanya, bahkan boleh sampai 100%. Berbeda dengan wasiat yang dibatasi maksimal hanya 1/3 saja.

Pertanyaan kedua, bisa dengan mudah dijelaskan. Karena yang bersangkutan telah menguasai sepenuhnya harta itu secara syar’i dan halal, tidak ada salahnya bagi untuk memberi hadiah seikhlasnya kepada ahli waris. Tapi sifatnya hanya sekedar kebolehan, bukan kewajiban. Dan besarnya pun hanya seikhlasnya.

Pertanyaan ketiga, juga bisa dijawab dengan beberapa pilihan. Dia boleh saja mewakafkan sebagian hartanya fi sabilillah atau boleh juga memberikan hartanya kepada ahli waris yang lain. Keduanya menjadi hak dia sepenuhnya untuk menentukan. Dalam hal ini, tidak dikeluarkan semua pun tidak apa-apa.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.