Hakekat Persatuan Umat Islam

Oleh, Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah , bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai dan sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al Qur’an dan Sunnah Rosullah Dan dengan pemahaman As-Salafush Sholih. Allah berfirman (artinya): berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata: mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan kitab-Nya (Al Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia juga memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”. (Tafsir Al Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para sahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para sahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para sahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan lebih terjerumus ke dalam fitnah.”(Minhaajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan, dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya dan berada satu manhaj”, berpegang dengan pemahaman para sahabat (teguh dengan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: ”Tidak masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di jalan Allah berintisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tanpa ada sikap fanatik terhadap kelompoknya, yang demikian ini tidak mengapa, walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan (manhaj).”(At-Tahdzir Minat Tafarruq Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman bin Mu’alim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15)
Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata: “Bila kita anggap bahwa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen), maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah satu jama’ah, manhajnya satu, dan jalannya pun satu. Maka terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata-mata perbedaan letak/tempat di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama’ah Wahidah Laa Jama’ah, hal. 180)
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan berasaskan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan pemahaman para sahabat (As Salafush Shalih) maka itulah sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah walaupun terpisahkan oleh tempat.

BAHAYA PERPECAHAN
Bila kita telah mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah adalah yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafush Sholih, maka bagaimana dengan firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin, yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya, saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di atas kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat, ataukah sebagai wujud perpecahan umat?

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jama’ah di masyarakat kaum muslimin merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.” (Majmu’ Fatwa Wa Maqalaat Mutanawwi’ah, 5/204, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa jama’at, hal. 177) Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin atau jama’ah tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasehatkan mereka semua agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.” (At Tahdzir Minattafarruq Wal Hizbiyyah, hal. 15)
Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata: “Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta manhaj As Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Alloh dalam banyak ayat dari Al Qur’an Al Karim, di antaranya firman Allah Allah (artinya): “Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Rum: 31-32). (Fataawa Asy Syaikh Al Albani, karya “ ’Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 178)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa yang telah , bahkan menyelisihi apa yang selalu dihimbau oleh Allah firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al Mu’min: 52). Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan bergolong-golong ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang lainnya dengan kejelekan, cercaan, dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa perbuatan bergolong-golongan ini adalah perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 16)
Asy Syaikh Sholih Bin Fauzan Al- Fauzan berkata: “Agama kita adalah agama persatuan dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya jama’ah-jama’ah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jama’ah.” (Muraja’at fii fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad Ar Rifa’i, hal. 44-45) Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim / Muqaddimah kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at)
Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi. Asy Syaikh Shalih bin Sa’ad As Suhaimi berkata: “Jika benar apa yang dinyatakan kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, niscaya mereka tidak akan berpecah-belah, karena kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka, suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan permusuhan.” (An Nashrul Aziz ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, hal. 46)

PERTANYAAN PENTING

1. Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan tetap berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi anggota mereka maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka seraya berkata: “Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, karena Allah kalian (menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, wajib bagi kalian berpegang teguh dengan keduanya, bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah perpecahan dan perselisihan”, maka ini adalah nasehat yang baik.” (At Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)
2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang ada dan para tokohnya, justru semakin membuat perpecahan dan tidak akan terwujud persatuan?

Asy Syaikh Hamd bin Ibrahim Al ’Utsman berkata: “Kebanyakan orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini, mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama kok saling memperingatkan satu dari yang lainnya?!’ Dikalangan terpelajar pun demikian, mereka meminta agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan ahlul bid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat. Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan jalan-jalan yg berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus, dengan tetap adanya jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan selama-lamanya.” (Zajrul Mutahawin bi Dharari Qa’idah Al Ma’dzirah Watta’awun, hal.98)

NASEHAT DAN AJAKAN


Asy Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al Jabiri berkata: “Tidak ada solusi dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan kecuali dengan dua perkara:
1. Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit, yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.’
2. Kembali kepada jama’ah (yang bermanhaj salaf, pen), karena sesungguhnya dia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah Al Firqatun Najiyah (Golongan yang selamat. Pen), dan Ath Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar ….” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah ilaa fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, Hal. 24)
Mudah-mudahan Allah senantiasa menjauhkan kita semua dari perpecahan dan menyatukan kita semua di atas persatuan hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pemahaman Salafush Shalih, bukan persatuan semu yang dibangun di atas kepentingan kelompok, organisasi, pemimpin, dan partai. Amin Ya Mujibas Saailiin.