Jangankan Mengkultuskan Pemimpin

Betapa nasib umat ini di tangan para pemimpinnya. Mereka hanya menjadi objek. Mereka hanya menjadi faktor pelengkap, dan tidak pernah menjadi subjek. Padahal, kedatangan Islam ini, tidak lain hanyalah untuk membebaskan manusia dari  penghambaan kepada sesamanya, dan hanya menyembah semata-mata kepada Rabbnya. Itulah hakekat inti ajaran Islam, yang berupa tauhid.

Tapi, umat itu sekarang terkubur, mati, dan tidak memiliki kemuliaan, karena menjadi umat yang ‘ummi’ (bodoh). Dibelenggu oleh taklid, kultus, dan menjadikan para pemimpin mereka, sebagai ‘sesembahan’, dan mereka beresedia melakukan apa saja, yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Mereka menjadikan para pemimpin mereka sebagai orang yang ‘ma’shum’, tanpa dosa, dan ucapanya sebagai ‘wahyu’ atau ‘titah’, yang wajib ditaatinya. Tidak boleh membantah atau menolak. Pendapat atau pandangan mereka sebagai ‘ra’yu’, yang berada dibawah Nabi.

Mereka menganggap para pemimpin mereka itu orang-orang yang harus dihormati, dipuja-puji. Kehendaknya, dan pikirannya, serta ijtihad, bahkan pendapatnya, seperti menjadi hukum baru, selain yang sudah ada, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Kecintaan mereka terhadap para pemimpin dengan sikap total, tanpa reserve. Tak jarang mereka melakukan tawasul, yang meminta pertolongan kepada Allah Azza Wa Jalla melalui mereka. Inilah hal-hal yang menyelimuti umat, dan berakhir dengan semakin banyaknya umat yang larut dalam genggaman para pemimpin. Semuanya yang diucapkan dan pendapat para pemimpin itu, sebagai sebuah kebenaran mutlak. Tak ada koreksi dan kritik terhadap para pemimpin mereka.

Karena apa saja yang dilakukan para pemimpin sebagai sesuatu yang sah, tidak pernah salah, dan selalu benar, dan berdosa, apabila berbeda dengan pendapat atau pandangan para pemimpin itu.

Penomena, yang sekarang terjadi dilingkungan umat ini, betapapun menyimpangnya perilaku para pemimpin, dan betapa dosanya, yang dilakukan para pemimpin, semuanya mereka maklumi. Kadang-kadang para pengikutnya, ummat itu, mengatakan kita belum sampai kepada maqomnya, agar bisa memahami apa yang dilakukan para pemimpin itu.

Masing-masing pemimpin bersama-sama para pengikut dan umatnya, yang sudah memiliki tingkat taqlid, taasub, dan kultus yang sangat tinggi, dan sikap seperti itu terus dibangun secara terus menerus, tanpa henti, agar para pemimpin itu, tetap berwibawa, dan diikuti oleh para umatnya. Para pemimpin itu memiliki tata-cara yang sangat sistematis, bagaimana cara-cara yang mereka praktikan agar para pengikut mereka tetap setia, tanpa merek memiliki sikap kritis.

Belakangan ini, berlangsung peristiwa yang merusak aqidah umat, seperti kultus yang berlebihan, saat ketika pemimpin meninggal mereka bukan hanya melaksakan takziyah, tetapi juga mereka mengambil tanah yang ada diatas kuburan mereka, yang dianggap tanah itu dapat memberikan barokah dan syafaat bagi kehidupan mereka. Padahal, yang meninggal itu, tak lain manusia biasa, yang tak sepatutnya diperlakukan secara berlebih-lebihan.

Tentu, yang paling mengkawatirkan sekarang ini, bila seorang pemimpin itu, tak lain adalah pemimpin Partai Islam, yang kemudian di kultuskan, dan para pengikutnya dan umatnya menjadi sangat taasub, dan menganggap pempimpinnya itu sebagai orang yang ‘lebih’. Sehingga, segala tindakan dan perilakunya, sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya mutlak. Tak boleh ditolak dan dikrtik, dan harus diterima dengan sikap ridho.

Tak aneh bila di Indonesia muncul, orang yang mengaku nabi, rasul, dan membawa ajaran, yang sebenarnya, tak lain, hanyalah sikap hawa nafsu mereka. Namun, justru orang-orang yang mengaku nabi dan rasul, memiliki pengikut, dan orang yang menjadi pengikutnya bersedia dipimpin orang-orang yang sebenarnya tidak layak. Inilah kehidupan umat sekarang ini, yang telah dijadikan permainan mereka-mereka yang mengaku pemimpin. Tidak jarang pula umat ini dijadikan barang dagangan, yang ‘diketeng’ kepada para penguasa, dan kemudian pemimpin itu mendapat imbalan berupa harta dari penguasa itu, yang sejatinya mereka itu tidak senang kepada Islam. Kemudian, kemungkaran, kesesatan, kedurhakaan dan kemunafikan, serta kefasikan menjadi merajalela.

Umat yang hidup adalah umat yang memiliki pemahaman terhadap din (Islam) yang benar, dan tidak lagi bergantung kepada makhluk, siapapun adanya, dan tidak menjadkan makhluk yang berupa manusia menjadi sesembahan mereka. Mereka hanya menyembah kepada Allah Ta’ala, dan hanya meminta pertolongan kepada Rabbnya, tidak kepada lainnya, termasuk kepada mereka yang mengaku sebagai para pemimpin.
Sejatinya siapakah yang lebih baik dan bahagia hidupnya? Tak mereka adalah umat, yang hanya semua kehendak dan cita-citanya bersatu untuk mencapai keridhaan Allah.

Orang yang zikir hanya kepada Allah, hanya rindu kepada-Nya. Kemudian inilah yang menguasai semua kemauan-kemauannya, cita-citanya dan lamunan-lamunannya. Ia akan dia karena Allah, dan jika berbicara karena Allah, jika mendengar ia mendengar karena Alah. Jika ia melihat, maka ia melihat karena Allah, jika memukul, ia memukul karena Allah. Bergeraknya, juga karena Allah, hidup dan matinya, juga karena Allah.

Tidak karena pempimpin, yang sejatinya mereka tak lain hanya manusia biasa, maka umat yang selamat, yaitu umat yang mau meninggalkan taqlid, taasub, dan kultus kepada pemimpinnya. Apalagi, itu pemimpin hanyalah orang-orang biasa, yang tidak dapat terlepas dari salah dan dosa. Wallahu’alam.