Apakah Harus Minta Ijin Orang Tua untuk Masuk Islam?

Assalamualaikum Wr Wb

Saya Pria berusia 26 tahun dan sudah memiliki rencana untuk menikah. Yang jadi masalah adalah calon saya berasal dari keluarga non-Muslim dan tidak ada satupun dari keluarganya yang memeluk Agama Islam. Calon saya tersebut sudah lama tertarik untuk memeluk Agama Islam jauh sebelum mengenal saya. Saya kagum dengan semangatnya yang menggebu untuk mempelajari Agama Islam.

Yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Apakah calon saya tersebut harus meminta izin Orang Tua nya jika ingin masuk Islam? Bagaimana jika tidak diizinkan?

2. Jika sang Ayah calon saya tersebut tidak menyetujui hubungan kami karena alasan saya adalah seorang muslim, apakah sah jika saya tetap ingin menikah dengannya tanpa izin Orang Tua nya yang Non-Muslim? Siapa yang berhak menjadi wali nikahnya berhubung tidak ada satupun dari keluarganya yang Muslim?

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya tanpa harus minta izin, setiap orang sudah menjadi muslim secara asalnya. Ketika ruh setiap manusia akan ditiupkan ke dalam jasadnya, Allah SWT telah meminta kesaksian dan pengakuan atas keIslaman mereka.

Danketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul, kami menjadi saksi." agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini " (QS. Al-A’raf: 172)

Kemudia Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa setiap bayi yang lahir di muka bumi ini terlahir sebagai muslim.

Dari Abu Hurairah ra bahwa RasulullahSAW bersabda, "Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya? (HR Muslim)

Jadi kita bisa simpulkan bahwa asal agama setiap manusia adalah Islam. Mereka menjadi kafir karena godaan syetan dan kawanannya. Sehingga bila ada hidayah Allah SWT berikan kepada siapa saja yang masih kafir untuk kembali ke pangkuan Islam, langsung saja kembali. Tidak perlu izin ini dan itu dari siapapun.

Karena kembali kepada hidayah Allah SWT adalah hak paling asasi setiap insan yang bernyawa. Menjadi seorang muslim adalah hak yang tidak pernah bisa dihalangi.

Meski ada kekuatan yang ingi menghalangi, mencegah, melarang, bahkan mengancam, namun keIslaman seseorang terlepas dari semua halangan itu. Sebab iman itu adanya di dalam hati, bukan di wajah atau pakaian, juga bukan di selembar KTP. Bukankah Bilal bin Rabah sudah menjadi muslim, meski tuannya, Umayyah bin Khalaf melarangnya?

Maka masuklah ke dalam Islam kapan saja dan di mana saja, jangan ditunda-tunda lagi. Tak seorang pun yang bisa menghalangi hidayah itu.

Menikahi Wanita Muallaf

Apa yang akan Anda lakukan saat ini adalah sesuatu yang sangat alamiyah dan bersejarah. Salah satu metode pengembangan dan perluasan agama Islam di nusantara adalah lewat pernikahan.

Dahulu para wali dan penyebar agama Islam menikahi gadis-gadis pribumi yang ayahnya masih beragama Hindu atau Budha. Bahkan kerajaan Majapahit yang amat digjaya dan punya kekuasaan sangat luas, berhasil diIslamkan oleh para wali. Salah satunya dengan menikahi puteri penguasa kerajaan ini.

Tentu saja sang puteri sudah masuk Islam terlebih dahulu, karena haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi wanita yang bukan muslim. Kecuali bila agama wanita itu nasrani atau yahudi. Sedangkan kerajaan Majapahit beragama watsaniyah (penyembah berhala).

Lalu bagaimana teknis untuk menikahi wanita yang hanya dirinya sendiri saja yang beragama Islam, sedangkan ayah kandungnya dan semua orang yang bisa menjadi walinya non muslim? Dan lebih penting, bolehkah wanita itu dinikahi tanpa izin dari orang tua kandungnya?

Izin Wali Untuk Menikah

Di dalam syariat Islam, seorang wanita tidak menikah kecuali wali atau ayahnya yang menikahkan. Tidak ada cerita seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Juga tidak ada cerita seorang wanita meminta orang yang ditemukannya di pinggir jalan untuk menjadi wali atas dirinya.

Hak untuk menjadi wali hanya ada di tangan ayah kandungnya. Selama ayah kandungnya masih hidup, maka si ayah kandung itulah yang punya otoritas untuk menikahkan anak gadisnya.

Namun ketika seorang ayah kehilangan syarat-syarat mendasar untuk menjadi seorang wali, maka dia pun tidak berhak menjadi wali. Salah satu di antara syarat mendasar itu adalah status keIslaman. Ini adalah syarat mendasar dan mutlak. Mustahil seorang non muslim menjadi wali bagi anak gadisnya yang muslimah. Walau pun anak gadis itu darah dagingnya sendiri. Perbedaan agama dan keimanan telah memisahkan hubungan syar’i antara si gadis dengan ayah kandungnya.

Maka pada saat itu, si gadis kehilangan wali dari diri ayahnya yang masih kafir. Hak si Ayah untuk menjadi wali bagi si buah hatinya sendiri menjadi gugur dengan sendiri.

Kehilangan hak untuk menjadi wali itu diikuti juga kehilangan hak bagi si ayah untuk memberi izin menikah kepada anak gadisnya. Dan hukumnya akan ikut terus ke mana-mana, termasuk si anak gadis nantinya akan kehilangan hak untuk mendapatkan warisan dari ayahnya, karena urusan berbeda agama ini.

Lalu siapa yang menjadi wali bagi si gadis muslimah yang ayahnya masih kafir?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu. Ya, jawabnya adalah penguasa Islam yang sah. Atau sering juga disebut dengan sultan atau hakim. Istilah hakim sebenarnya mengacu kepada istilah di masa lalu yang identik dengan penguasa. Hakimu Andalus berarti penguasa Andalusia. Hakimu Syam berarti penguasa wilayah Syam.

Sedangkan ‘hakim-hakiman’ yang dipungut di pinggir jalan tidak boleh dijadikan wali, karena sebenarnyadia bukan penguasa. Menikah dengan wali hakim berarti yang menjadi wali adalah penguasa resmi yang kekuasaannya diakui di wilayah tersebut. Kalau di Indonesia, maka SBY adalah hakim resmi. Jadi SBY adalah wali hakim yang berhak untuk menikahkan wanita muslimah yang tidak punya wali lantaran ayahnya non muslim.

Dalam pelaksanannya, SBY boleh mewakilkan wewenangnya kepada para pejabat di bawahnya, misalnya pak Menteri Agama. Dan begitulah, pak Menteri yang sibuk itu boleh juga mewakilkan wewenangnya kepada bawahannya dan bawahannya lagi hingga ke tingkat Kantor Urusan Agama (KUA).

Jadi kesimpulanya, yang berhak jadi wali bagi gadis itu adala Kepala Kantor Urusan Agama resmi tempat di mana mereka berdomilisi. Datang dan merujuklah ke sana. Insya Allah akan dibantu.

Wallahu a’lam bishshawab, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc