Orang Tua Lebih Suka Anaknya Pacaran Ketimbang Menikah?

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dewasa ini saya sungguh prihatin bila melihat ada seorang anak yang ingin menikah, bahkan pasangan pun sudah bersedia, namun orang tua cenderung memilih untuk memberikan waktu untuk ta’aruf lebih lama (pacaran dulu)?

Terus terang banyak sekali saya temui teman-teman yang siap menikah namun orang tuanya menolak, dengan berbagai alasan, sehingga teman saya itu pacaran dengan sembunyi-sembunyi. Kebanyakan dari para orang tua tidak tahu bahwa Allah SWT pasti memudahkan rejeki di antara keduanya jika hubungan mereka diresmikan.

Mohon penjelasan, Jazakallahu Khairan Katsira-

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya niat para orang tua itu baik, yaitu penjajakan pra pernikahan. Jangan sampai pasangan itu terburu-buru menikah, padahal sebenarnya tidak terjadi kecocokan antara keduanya.

Bahkan nabi Muhammad SAW sendiri pun juga menganjurkan adanya penjajakan atau ta’aruf terlebih dahulu sebelum menikah, sebagaimana yang bisa kita baca dalam banyak riwayat.

Dari Abu Hurairah ra berkata `Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (Riwayat Muslim)

Di lain waktu, juga ada shahabat yang diperintahkan oleh nabi SAW untuk melihat terlebih dahulu calon isterinya.

Dari Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w. mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).

RasulullahSAW juga bersabda:

`Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.` (Riwayat Abu Daud)

Maka proses saling kenal dan saling ‘melihat’ terlebih dahulu merupakan bagian dari ajaran Islam. Tinggal yang jadi masalah adalah bagaimana teknis yang dibenarkan untuk bisa saling melihat? Bagaimanamendekatan yang sesuai agama tentang saling menjajaki? Bagaimana sikap dan sopan santun syariah terntang saling berpacaran?

Rupanya pada titik inilah kita mengalami kelemahan. Termasuk para orang tua. Melepas sepasang calon pengantin untuk berbicara berduaan saja, baik di rumah atau di luar rumah tentu bukan cara yang dibenarkan agama.

Sebab khalwat itu tetap haram, apapun alasannya. Dan Islam telah menetapkan keharamannya sejak 14 abad yang lalu. Sampai kiamat datang pun akan tetap haram. Tidak bisa kita beralasan bahwa zaman sudah berubah, lalu hukum yang telah ada diubah seenaknya. Tidak lantas karena pola kehidupan sudah mengalami kemajuan maka kita semaunya mengotak-atik agama ini.

Pacaran Islami

Maka yang kita perlukan sekarang ini adalah cara bagaimana ‘pacaran Islami’. Sesungguhnya dalam syariah Islam, seorang laki-laki itu dibolehkan pergi bersama wanita calon isterinya, dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya.

Dbiolehkan mengajaknya ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui, dengan tujuan untuk mengetahuikecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua ini termasuk kata sebagian yang disebut dalam hadis Nabi di atas yang mengatakan: `... kemudian dia dapat melihat sebagian apa yang kiranya dapat menarik dia untuk mengawininya.`

Dibolehkan juga si laki-laki melihat perempuan dengan sepengetahuan keluarganya; atau sama sekali tidak sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu bertujuan untuk meminang. Seperti apa yang dikatakan Jabir bin Abdullah tentang isterinya: `Saya bersembunyi di balik pohon untuk melihat dia.`

Bahkan dari hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tidak boleh menghalang-halangi anak gadisnya untuk dilihat oleh orang yang berminat hendak meminang dengan dalih tradisi. Sebab yang harus diikuti ialah tradisi agama, bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.

Namun di balik itu, seorang ayah dan laki-laki yang hendak meminang maupun perempuan yang hendak dipinang, tidak diperkenankan memperluas mahramnya, seperti yang biasa dilakukan oleh penggemar-penggemar kebudayaan Barat dan tradisi-tradisi Barat. Ekstrimis kanan maupun kiri adalah suatu hal yang amat ditentang oleh jiwa Islam.

Jangan Terburu-buru Menikah

Anjuran orang tua tentang jangan terburu-buru menikah memang ada benarnya. Selain masalah kecocokan, juga masalah persiapan tentang bentuk rumah tangga yang akan dijalani.

Tentu saja salah satu faktor terpenting adalah masalah kemandirian dari sisi finansial. Seorang anak yang masih mahasiswa tingkat satu, tentu jauh dari mandiri, kalau selama ini tidak dididik untuk mandiri.

Yang dimaksud dengan mandiri bukan berarti harus punya rumah pribadi, kendaraan pribadi atau bisa membiayai pesta pernikahan sendiiri. Mandiri adalah mampu menghidupi diri sendiri dan isteri. Tentu saja keduanya harus siap untuk hidup seadanya dan pas-pasan, paling tidak untuk sementara waktu.

Karena mungkin penghasilannya belum bisa mengkover semua kebutuhan hidup yang selama ini ditanggung oleh kedua orang tuanya.

Jadi kalau sudah sedikit mulai punya penghasilan, boleh lah diuji coba untuk mandiri. Bolehlah sedikit diberi kebebasan untuk mulai berumah tangga.

Tetapi kalau sama sekali tidak punya penghasilan, sementara terbiasa hidup enak dengan biaya orang tua, lalu tiba-tiba minta kawin, wajar saja bila orang tua merasa anaknya belum siap.

Maka sebaiknya semua dibuat dengan penuh perhitungan, terburu-buru menikah bukan cara yang benar. Tetapi berlambat-lambat pun penuh resiko. Jadi seimbang dan tawazun agaknya menjadi alternatif yang terbaik.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc