Untold History of Pangeran Diponegoro (17)

Untold History of Pangeran Diponegoro (17)

Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak dan isteriku, Kanjeng Pangeran…”

Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu saja?”

“Ya, Kanjeng Pangeran…”

“Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, maka Kisanak masih akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang mengembang di sudut bibirnya.

Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran… Saya memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”

Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang dilakukan Kisanak dengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan, tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah, sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah… Dan Islam telah menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri…”

“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang dulu hidup sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya…”

Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan dunia….”

Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad. Mengerti Kisanak?”

Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran…”

Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”

Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja…”

Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak….”

Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan bagai anak kecil.

“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini, Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan panjang kaum mujahidin…”

Amien Ya Rabb al’amien….

Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”

Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang hebat. []

Bab 11

HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.

“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”

“Maaf Pangeran, saya kurang tahu…”

Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan. Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah menunggunya.

“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.

“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen memanggilku?”

Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.

“Duduk dulu Pangeran…”

“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”

“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya…”

“Tugas? Secepatnya?”

“Ya.”

“Apa itu?”

“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini…”

“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong di depan orang kafir adalah baik.

Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.

“Ini suratnya Tuan Residen…,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah Smissaert yang masih duduk dengan pongah.

“Berikan saja langsung ke dia…,” ujar Smissaert dengan acuh.

Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak ayam berlindung di balik ketiak induknya.

“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.

Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.

Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada sehingga dia sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede… [] (Bersambung)