Jangan "Beriman" Kepada HP, Syirik Tuh!

Makin hari, hidup semakin canggih. Dunia semakin dipenuhi dengan berbagai fitur kemudahan, familiar, cepat dan menyenangkan. Kita bisa mengakses berbagai informasi hanya dengan hitungan detik. Tidak perlu menunggu terlalu lama yang membosankan. Dunia benar-benar semakin “mewah” dan instan dengan kehadiran teknologi. Dunia terasa mengecil dengan kemajuan IT yang mementahkan jarak pandang, jarak dengar dan jarak bicara.

Sekarang, orang di satu belahan benua dapat langsung berinteraksi dengan orang lain seolah tanpa sekat. Seolah-olah Jakarta-Jeddah, Depok-Capetown atau Indramayu-Den Haag berhasil disederhanakan dengan layar mobile phone, Facebook, Twitter, YM atau apalah namanya itu. Dunia terasa semakin mudah dijelajahi karena kecerdasan otak manusia yang membesar. Dalam urusan ini, manusia menunjukkan bahwa kehadirannya lebih maju berkali-kali dari makhluk Tuhan yang lain.

“Assalamu’alaikum, halo Ayah?”

“Wa’alaikumussalam, ya halo. Bagaimana kabarmu, Nak?”

“Baik, Ayah. Kami semua sehat-sehat. Ayah bagaimana, sehat juga kan?”

“Alhamdulillah. Ayah dan Bunda baik-baik dan sehat walaupun cuaca di sini dingin sekali. Esok Ayah dan seluruh jamaah akan wukuf. Doakan agar semuanya lancar.”

“Aamiin. Semoga Ayah dan Bunda menjadi haji yang mabrur. Assalamu’alaikum.”

Bersyukurlah kita dengan kehadiran teknologi komunikasi. Illustrasi di atas hanya sebagian kecil contoh bahwa otak manusia kadang seribu kali lebih besar daripada tubuhnya. Sehingga jarak bicara Jakarta-Saudi bukan lagi sebuah persoalan. Otak manusia telah berhasil memecahkan problem jarak itu dengan perangkat buatannya. Maka, orang yang tengah beribadah di tanah suci dapat selalu memantau keadaan keluarganya di tanah air. Begitu juga sebaliknya.

Sekarang banyak komunitas Muslim tengah menikmati medium sillaturrahim digital. Di mana komunikasi dan interaksi dibangun tanpa mereka harus berada dalam satu ruang dan waktu yang bersamaan. Mereka hanya dihubungkan oleh software yang menghadirkan mereka dalam dunia maya bersifat komunal. Cepat, epektif dan efisien menjadi trademark sillaturrahim cara ini. Dan tentunya modern.

Sillaturrahim digital sangat relevan dalam kondisi-kondisi tertentu. Handphone atau Facebook misalnya. Dalam kehidupan modern yang menuntut kita serba cepat, Handphone dan Facebook sangat cocok mewakili tuntutan kelas manusia modern untuk mendampingi kehidupan komunikasi mereka di zaman ini.

Namun, betapapun gagahnya modernitas itu, ia tidak bisa melumpuhkan nilai luhur silaturrahim konvensional yang selama ini mengakar kuat dalam praktik kehidupan kita. Ada yang tidak bisa dihadirkan oleh IT dalam sillaturrahim, yakni kehangatan, senyum, taraahum, tafaahum, secangkir teh dan jiwa ukhuwwah dalam jabat tangan atau peluk cium. Meskipun bercengkrama, layar Hanphone atau Facebook tetap rigid, kaku dan mekanis.

Nyatanya, banyak Facebooker tetap saja mengejar pulang kampung atau mudik saat lebaran. Mengapa? Apakah tidak cukup mengucapkan selamat Idul Fitri di akun Facebooknya? Atau menguntai kata-kata mutiara yang panjang dan mempesona walaupun ujung-ujungnya minta maaf lewat SMS? Tidak, tidak cukup.

Karena baik Facebook maupun SMS, tidak nyata menghadirkan kehangatan, senyum, taraahum, tafaahum, secangkir teh dan jiwa ukhuwwah dalam jabat tangan atau peluk cium. Mereka mendapatkan semua itu melalui sillaturrahim konvensional dengan muwajjahah dengan orang tua, karib-kerabat, handai-tolan atau kawan karib di kampung halaman. Sesudahnya, barulah masing-masing bercerita di layar Facebook atau SMS dalam komunitas pertemanannya secara massal. Begitulah kecanggihan teknologi yang mekanis tidak selamanya bisa menghadirkan harapan manusiawi dalam satu waktu. Meskipun dalam waktu yang lain, kita semua amat “bergantung” pada kesaktian dan keunggulannya.

Anehnya, masih tersisa manusia dengan isi otak yang cerdas itu dan isi hati yang berperasaan itu, mengerdilkan martabatnya di bawah ketiak teknologi rekayasa mereka sendiri. Mereka secara tidak sengaja menjadi kelihatan lebih ‘tolol” dari sekadar HP atau Internet. Seolah-olah mereka begitu “beriman” kepada teknologi hampir sepadan dengan keimanannya kepada Allah dan Rasulullah.

Ah, jangan-jangan itu hanya ilusi dan soal yang terlalu didramatisasi belaka. Bukan. Ini adalah kenyataan meskipun kenyataan itu tidak merata dan hanya terjadi sebatas kasus yang tidak dapat dipukul rata begitu.

Dalam satu kesempatan berjama’ah, kali itu saya merasa kenikmatan berjum’at menjadi hilang. Saya sedikit terusik dengan ulah beberapa orang dari jamaah yang tidak mengindahkan khatib yang sedang berkhutbah. Ada di antara mereka yang asyik main game di HP, SMS-an bahkan mengangkat panggilan telpon saat jamaah lain khusyuk menyimak nasihat khatib. Bahkan yang amat “menyebalkan” saya, ada di antaranya yang masih menyumpal telinganya dengan headset yang terhubung dengan Blackberrynya.

Paling tidak, ada lima pelanggaran sekaligus yang mereka lakukan. Pertama, menjadikan teknologi hampir seperti ”tuhan” yang mereka sembah. Kedua, mengabaikan pesan pengurus masjid agar sebelum Jum’atan dimulai agar menonaktifkan berbagai alat komunikasi. Ketiga, mengganggu kekhusukan jamaah lain. Keempat, melecehkan kehadiran khatib dan keagungan hari Jum’at. Dan kelima, melecehkan ucapan Rasulullah berikut :

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

Abu Hurairah mengabarkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum’at ‘diamlah’, padahal Imam sedang memberikan khutbah maka sungguh kamu sudah berbuat sia-sia (tidak mendapat pahala)." (HR. Bukhari No. 882).

Belum lagi jika adzan telah berkumandang, sejujurnya masih ada di antara Muslim yang masih mamatut-matut di layar Facebook. Tapi hati-hati, bisa saja layar Facebooknya online, namun usernya sedang berdiri berjamaah di masjid. Bisa saja.

Teknologi atau Muslimnya sih yang salah?

Ada yang berargumen: ”Teknologinya yang salah, sebab kehadirnnya memancing orang dan membentuk mindset orang untuk berbuat salah. Kalau tidak dibuat HP-HP atau facebook itu, orang itu tidak akan mengabaikan segala tata tertib dan sarat rukun berjum’at. Makanya jangan terlalu ”beriman” kepada buatan orang kafir. Buatan orang kafir lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.”

Ada lagi argumen yang lain: ”Bukan, bukan teknologinya yang salah, tapi orang Muslim itu yang tidak dewasa berhadapan dengan teknologi. Bagaimana pun, kehadiran teknologi hanya sebatas sarana. Ia hanya berfungsi bila dijalankan oleh manusia. Manusianya saja yang tidak mengerti aturan saat kapan dan di mana teknologi itu dimanfaatkan. Toh, HP itu tidak menuntut kalo dia dimatikan saat sedang Jum’atan.”

”Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (terjemah QS. Al-Anfal [8] : 48).

Ya Allah, ampuni saya. Wahai teman, maafkan saya.

Ciputat, September 2010.

[email protected]