Jenazahku Engkau Yang Memandikan

kematianManisnya madu perkawinan selama sepuluh tahun terakhir masih terasa kental di bibir hatinya yang dalam. Wanita yang dinikahi saat duduk di bangku kuliah semester tujuh itu benar-benar telah menghadirkan “kesempurnaan” nya sebagai lelaki, sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya. Hingga kehadiran anak ketiga mereka, ritual kemesraan dan kehangatan mu’asyarah masih dirasakan seperti dulu, seperti awal pengantin baru. Selalu saja rasa cinta dan sayang isterinya itu, mampu menutupi segala cela yang biasa terjadi layaknya di setipa rumah tangga. Meskipun ada yang kadang terlupa, seperti teh hangat yang luput di sore hari kepulangannya setelah bekerja, isterinya bisa mengalihkannya dengan hal lain yang membahagiakan dan menghapus rasa haus dan letihnya. Bahkan kenikmatan regukan teh Tong Tji kesukaannya, tidak berarti apa-apa saat isterinya mengatakan,

“Ayah, saya telah menunggumu sejak seperempat jam yang lalu. Ingin segera melihat senyummu yang khas dan menakjubkan”.

Maka dipeluknya mesra wanita itu dengan senyum yang dibanggakannya. Barulah ia mencari anak-anaknya dan menciumnya adil satu persatu. Setelah itu, ia berbisik di ujung anak telinga isterinya yang putih dengan lembut,

”Wah, gara-gara senyumku, teh Tong Tjinya kelupaan”.

Seperti biasa, segera isterinya menyela. Bahkan cerdiknya ia, selaannya sering disesuaikan dengan konteks hidup suaminya. Ia tahu bahwa suaminya sedang dituntut mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris, spontan ia berujar,

”Wait a minute, honey. I will be back with your favorite cup of tea”.

Bagai rembulan yang turun di pangkuannya, terkesima. Hampir biasa ia mendengar ungkapan seperti itu, seperti biasanya melihat bulan purnama di langit yang tinggi. Tetapi kala ungkapan itu meluncur lancar dari bibir isterinya, seolah purnama sengaja turun menghampirinya dan mempertontonkan pesona kecantikannya yang tanpa cela. Maka puaslah hatinya mendapatkan wanita pilihan Tuhan di rumah tangganya. Kadang ia sendiri menerka-nerka, inikah yang dimaksud sakiinah, mawaddah dan rahmah?

Dalam pengalaman empirik pribadinya, kebahagiaan dan kepuasan pada pasangan hidup dapat diperoleh tidak hanya pada saat berada dalam satu selimut. Tetapi ia bisa diraih hampir di seluruh sudut ruang rumah tangganya. Saat ia ditemani di atas sajadah dalam tahajjud malam, saat wanita itu membuka sepatunya di teras rumah, saat membalurinya dengan telon karena cuaca dingin di pojok sofa, bahkan saat membantu isterinya menautkan resleting di punggung baju gamis isterinya. Ada kepuasaan saat ia dilayani dan melayani, meskipun pada hal yang sangat sepele saja.

Maka sering ia merasa miris mendengar ocehan para lelaki yang hanya sanggup mengukur kepuasan berumah tangga hanya dari sudut tempat tidur dan mengabaikan sisi lumrah dari perhatian pasangan hidupnya. Seolah-olah ukuran kepuasan rumah tangga hanya diukur dari termometer tinggi rendahnya suhu saat di ranjang privat. Sementara suguhan secangkir teh, menautkan dasi di leher atau memilihkan warna dasi yang cocok dengan warna kemeja dianggap hal biasa yang tidak perlu diapresiasi sebagai sebuah kepuasan.

Lebih terheran-heran ia, apabila mendengar ada suami ringan tangan menyakiti badan, pahit lidah menyakiti hati dan masam muka yang membuat gundah atas isterinya. Tetapi saat malam merayap pelan dan suasana menjadi temaram, dengan tanpa merasa bersalah ia membuka seluruh tabir yang melekat di tubuh isterinya sampai ia kelelahan dan bermandi peluh. Bukan hanya ia yang keheranan, bahkan manusia terbaikpun begitu terheran-heran dengan perlakuan suami macam ini. Imam Bukhari ada menuliskan dalam sahihnya, hadits nomor 4805 demikian:

Abdullah bin Zam’ah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia memukul seorang budak, namun saat hari memasuki waktu senja ia pun menggaulinya.”

Sebagai suami, ia merasa bukan suami super dengan gaji besar dan kedudukan yang mapan. Bahkan jika gajinya dimatematikakan, ha ha ha, kalau bukan karena modal ikhlas menerima pemberian Tuhan, rasa-rasanya akan hilang kesabaran hidup dengan penghasilan yang habis dalam hitungan dua minggu. Itu pula yang sering ia keluhkan pada isterinya di sela-sela pengantar tidur malamnya.

Dalam penampilan, wajahnya pun tergolong biasa saja, tidak tampan juga tidak amat mengecewakan. Namun wanita di sampingnya itu tetap menganggapnya sebagai laki-laki terbaik dalam hidupnya. Itu diketahuinya dari membuka diary milik isterinya diam-diam saat ia sudah terlelap.

Benarlah kata seorang motivator, bahwa jangan pernah sepelakan kata-kata. Kata-kata bisa mengubah hal kecil menjadi besar, hal biasa menjadi istimewa dan impian menjadi kenyataan.

Satu hal yang kadang terlupakan, bahwa seorang suami adalah motivator bagi isterinya. Seringkali pula, kesuksesan seorang lelaki terwujud karena wanita di sampingnya menjadi inspirasi yang mengantarkan kesuksesannya itu.

Begitulah setiap hari ia lewatkan dalam kebersahajaan bersama pendamping hidup yang telah memberinya tiga buah hati titipan Tuhan. Tetapi dari seluruh ingatan manis yang membekas di relung sukma romantisme perkawinannya ada satu sesi yang paling keras membekas. Saat laut menjadi saksi bisu perbincangan ala sufi dengan wanita ibu dari anak-anaknya itu.

Senja itu menjadi tidak terlupakan olehnya. Saat menikmati mentari hampir tenggelam di pantai laut Anyer setengah tahun lalu. Perbincangan mereka menjadi sangat serius dan liat. Tidak seperti biasanya yang santai dan cair. Apalagi, deru ombak seolah ingin terlibat dalam obrolan mereka berdua. Sambil jemari mereka bertaut, mereka keheranan bahwa mereka masih menyimpan berjuta-juta kemesraan di saat telah memiliki dua putra dan seorang putri. Genggaman tangan mereka masih dirasakannya bergetar seperti zaman seminggu menikah sepuluh tahun lalu. Apalagi suasana pantai yang romantis, di atas kelembutan pasir laut, deru ombak yang bersahutan dan nyanyian camar yang seolah menggoda seperti selaksa pantun yang melenakan. Romantisme itu terusik.

”Suamiku, kelak aku ingin mati lebih dulu darimu”.

Hatinya melonjak, terkejut dan terpana. Ia gagap sesaat. Hampir ia kehilangan kesimbangan di atas romantisme yang memuncak dan tiba-tiba limbung. Seolah ia tidak siap sebagaimana ia selalu siap menikmati kearifan dan kelembutan kalimat dari bibir isterinya.

Tiba-tiba pendengarannya kacau, suara debur ombak menjadi gemuruh yang mengancam. Nyanyian camar berubah menakutkan seperti berita duka yang menggema. Tiba-tiba perasaan hatinya berubah galau. Pasir laut terasa tidak lagi lembut dan sejuk, tetapi seperti tusukan duri semak dan mendidih. Temaram senja tidak lagi menggairahkan, tetapi seperti tanda bahwa hari akan segera berakhir. Hatinya kecut, pikirannya kusut masai.

”Bunda, kok ngomongnya begitu?”, terbuka juga bibirnya yang sejak tadi terkatup rapat. Dadanya yang seolah sesak, mulai kendur dan teratur nafasnya lebih halus.

”Loh, kan kita pasti semua akan mati. Tidak ada di antara kita yang kuasa menolak kehadirannya cepat atau lambat. Andaikan ada obat agar orang tidak bisa mati, saya ingin membelinya banyak dan meminumnya teratur supaya saya tetap bisa mendampingimu, suamiku”.

”Tapi mengapa harus kita ucapakan ingin duluan atau belakangan? Biarkanlah ia datang tanpa kita mengharapnya, asalkan kita sama-sama siap mengahadapinya. Bukankah ini lebih menentramkan isteriku?”.

Alam seolah turut campur dalam perbincangan itu. Seolah ia memberi isyarat supaya mereka mengambil jeda untuk diam. Maka dialog terputus dalam beberapa saat, diisi oleh musikalisasi laut yang sambung-menyambung. Seperti iklan di TV pengiring sinetron kesukaan para ibu. Dalam diam mereka berdua sesekali menatap, persis remaja tanggung yang sedang kasmaran.

”Apakah suamiku kali ini tidak berkenan atas ucapanku?”

”Hmm, mungkin tidak pada isinya sayangku. Tapi, bukankah saat seperti ini sebaiknya kita menikmati keindahan Kasih Tuhan dalam kemesraan kita? Kita mengingat Tuhan dalam romantisme kehidupan rumah tangga kita yang masih saja hangat”.

”Jadi, tidak bolehkah kita ingat mati saat kita menjalin kemesraan? Padahal kematian sendiri datang tanpa kompromi”.

Kali ini suara ombak terasa lebih lembut seolah tersihir kalimat sufistik istrinya soal kematian. Tanpa dituntun, alam pikirannya berdiskusi bahwa memang kelalaian manusia mengingat Tuhan seringkali terjadi karena manusia enggan mengingat mati di saat senang. Tuhan lebih didekati di saat kritis dan kepepet. Sementara di saat lapang dan suka cita, urusan Tuhan dan kematian sengaja dikesampingkan sementara waktu. Jadilah manusia tenggelam dalam kemewahan hidup dan lupa beratnya hidup sesudah mati.

”Bunda, kalau boleh, aku ingin mati bersamaan dengan kematianmu. Agar aku tidak merasa cemburu yang bisa saja akan ada lelaki yang meminangmu setelah kematianku. Atau aku akan tergoda berpaling pada wanita lain setelah kepergianmu”.

”Tidak sayang. Siapa yang akan memandikanku kelak jika kita wafat bersamaan. Biarlah aku yang duluan dan aku puas jika jenazahku Engkau yang memandikan”.

”Sama saja. Aku juga baru merasa puas jika jenazahku Engkau yang memandikan”.

Tiba-tiba tawa keduanya pecah seiring senja yang semakin tua. Langit semakin kemerahan dengan warna tembaganya yang khas. Terlihat tangan mereka saling menggapit. Saling mencubit mesra seperti layaknya kemesraan bulan madu. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan tiga bocah kecil yang berlarian sambil melambaikan tangan.

”Ayaaaah, Bundaaaa … ”.

Ketiga anaknya berlarian berebutan ingin duluan menubruk ayah bundanya. Keringat mereka berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu tepi pantai yang sudah menyala seluruhnya. Berlima kemudian mereka tertawa riang berpelukan. Si bungsu memilih mendekap bundanya seolah tidak ingin dilepaskan. Sementara kedua tangan lelaki suaminya digandeng anak pertama dan keduanya.

Suara adzan Maghrib terdengar sayup-sayup. Berlima mereka pulang ke penginapan dan menghabiskan malam dengan senyum kebahagiaan. Sebuah kenangan yang tidak tertandingi indahnya sepanjang kenangan.

——-

Ciputat, September 2010.

[email protected]