Pergi Haji “Naik” Burung Walet

Hati saya terhibur sesaat. Seorang ustadz paruh baya berbagi cerita di sela-sela shalat jenazah selesai dilaksanakan menunggu pemakaman. Rasa duka atas kematian bapak mertua sedikit berkurang. Inti Obrolan ringan itu seperti dikemas untuk saya yang tengah berduka. Saya pun terpancing untuk lebih banyak merangsangnya bercerita. Saya merasa, inilah makna ta’ziyah bagi saya pribadi. Sangat mengena dan dalam.

Pengalaman hidupnya sungguh mengesankan. Ada sedih dan kesengsaraan. Ada keteguhan dan tanggung jawab. Ada kesabaran, syukur dan keikhlasan. Lalu ada bagian dari drama pengalaman hidupnya yang mengharu membahagiakan. Dalam hati, saya amat bersyukur bisa bertemu ustadz ini dan mendapat cerita hikmah dari penuturannya. Alhamdulillah.

”Jadi almarhum akan dikuburkan malam ini juga?”

”Insya Allah. Pada awalnya direncanakan esok pagi. Tetapi sebagian keluarga menginginkan malam ini juga. Alasannya menyegerakan pengurusan jenazah adalah lebih baik. Kabar dari pihak pemakaman menyanggupi jika diminta untuk menyiapkan segala sesuatunya malam ini. Satu setengah jam lagi semuanya sudah siap”.

Kematian disebutnya sebagai pelajaran yang paling berharga. Sudah sepantasnya kematian membuat orang semakin cerdas menata hidup. Kesadaran baru atas tanggung jawab makhluk kepada khaliq semestinya semakin dihayati saat melihat jenazah dimandikan, dikafani, dishalatkan dan akhirnya dikuburkan. Sebab bila disederhanakan, sesungguhnya apapun yang dilakukan setiap manusia, ujung-ujungnya adalah kuburan. Setinggi apapun pangkat dan jabatan di dunia, pada akhirnya tidak berarti apa-apa saat kematian menjelang dan keranda di antar ke liang lahat. Lupa akan hakikat hidup dan kematian, amat berbahaya melebihi dari kematian itu sendiri.

”Saya ditinggal bapak saat masih duduk di bangku SMP” begitu kata ceritanya.

Di usia sangat muda itu, ia harus menggantikan peran ayah untuk mencari nafkah hidup keluarga dan biaya sekolahnya sendiri. Ia harus menanggung beban hidup ibu dan keempat kakak dan adiknya. Sebagai satau-satunya anak lelaki di keluarganya, ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Maka berjualan kecil-kecilan selepas sekolah dijalaninya. Asalkan keluarganya tetap bisa makan dan ia tetap bisa sekolah.

Hidup sebagai keluarga miskin sesungguhnya tidak terlalu dirisaukannya. Tetapi menjadi dirasakan lebih berat setelah kepergian ayah tulang punggung hidupnya. Maka, lepas lah satu persatu sawah yang selama itu sebagai sumber hidup dan nafkah. Petak demi petak sawah itu berpindah tangan digadaikan. Sampai kemudian hanya tersisa satu petak saja.

Cobaan yang begitu berat tidak pernah ia keluhkan. Kalaupun mengeluh, ia tumpahkan kepada Allah. Maka, cobaan seberat itu dirasakannya sebagai begian dari ladang amal mencari keberkahan hidup. Hanya keberkahan yang menurutnya bisa membuat orang bertahan pada kejujuran dan rasa syukur. Sebesar apapun rizki, tidaklah berarti apa-apa tanpa nilai berkah dan syukur. Sebaliknya, sedikit rizki apabila disyukuri maka keberkahan melimpah lebih dari nilai rizki yang didapat.

Pesan itu amat berkesan bagi saya. Dan benar adanya dalam kehidupan nyata. Bisa jadi ada banyak orang yang secara kasat mata sudah mendapat segalanya, tetapi sisi lain dari hidupnya hancur. Entah karirnya, kwalitas kepribadiannya bahkan rumah tangga menjadi berantakan di tengah limpahan materi. Tetapi ada juga potret kehidupan orang biasa saja namun menampilkan sisi kesejukan, kedamaian, kerukunan dan keharmonisan. Jauh dari fitnah dunia, jauh dari pertikaian dan permusuhan tetapi dengan rizki yang bersahaja. Barangkali kata kuncinya adalah rasa syukur dan nilai berkah.

”Saya kenal almarhum puluhan tahun. Anak tertuanya murid saya. Fudin itu siswa saya dulu. Saya tahu persis mertua anda. Semoga Allah menempatkannya di tempat yang baik sebagaimana beliau adalah orang baik sepanjang saya kenal”.

Ada kembali rasa haru saat beliau menilai almarhum. Wallahu a’lam, Allah Yang Maha tahu lahir dan batinnya bapak. Namun do’anya merupakan hiburan yang paling indah bagi saya.

Di tengah lilitan kesulitan hidup, ia begitu terpana dengan keinginan ibunya. Bahwa ibunya ingin sekali menunaikan ibadah haji. Ibadah haji? Hatinya tertegun, apalagi ketika sang ibu menyebut akan menjual petak terakhir sawahnya untuk modal berangkat ke tanah suci. Sebenarnya ia kagum dengan niat mulia itu dan menurutnya, setiap muslim yang baik harus memiliki niat sanggup melaksanakan rukun Islam yang kelima. Tetapi hatinya berat jika harus menjual petak terakhir sawahnya untuk ongkos berhaji. Menurutnya, kesanggupan berhaji harus pula memperhitungkan kesanggupan menafkahi hidup setelah haji kembali ke tanah air. Kalau seluruh modal hidup digunakan untuk berhaji, maka beban hidup sesudah ibadah itu ditunaikan akan centang perenang. Menurutnya, ibunya belum termasuk ketegori istitho’ah untuk berhaji.

Bagaimana mungkin? Dirinya sendiri rela menunda menikah hanya untuk menunaikan kewajiban agar bisa tetap memberi nafkah ibu dan kakak adiknya tanpa ada beban atas isteri dan anak-anaknya. Namun ia tidak ingin mengecewakan orang tua yang tinggal satu-satunya. Entah, tetapi hatinya mantap bahwa suatu saat ibunya bisa berangkat menunaikan haji.

”Bu, ibu bisa berangkat haji. Tapi tidak dengan menjual petak terakhir sawah kita. Kalau digadaikan biarlah tak apa. Tetapi, harga gadai sawah selebar itu belum cukup untuk ongkos ibu naik haji. Kita harus bersabar dulu”.

Ia ingin bertanggung jawab atas sarannya itu. Tetapi secara lahir dan logika, ia belum berdaya bahkan mustahil memberangkatkan ibunya. Maka Allah lah satu-satunya gantungan harapannya. Sejak itu ia mengajak ibu dan dirinya meningkatkan intensitas ibadahnya. Memohon diberi jalan kesanggupan bisa berhaji walau ia sendiri tidak tahu apa dan bagaimana jalan itu. Ia serahkan semuanya pada kuasa Allah. Hanya saja ia meminta ibunya untuk sama-sama jangan meninggalkan shalat Tahajjud dan shalat Duha. Seberapa pun berat dan halangannya.

Beberapa tahun berlalu mengantarnya dewasa. Allah Yang Maha Mendengar permintaan. Allah Yang memberi makan yang kelaparan. Allah Yang memenuhi segala harapan. Itulah keyakinan yang tidak pernah goyah sehingga perlahan-lahan Allah menolong hidupnya. Satu demi satu petak sawah yang tergadai, ditebusnya dari hasil keringatnya. Satu dua rupiah dikumpulkan dari mengajar, les mengaji dan usaha jualannya. Sampai kemudian semua petak sawah menjadi milik utuh keluarganya kembali. Terbetiklah untuk menjual sebagiannya untuk ongkos naik haji. Sedangkan sisanya cukuplah sebagai modal hidup sesudahnya.

Rupanya itu bukanlah jalan yang diinginkan Allah untuknya. Allah punya cara lain untuk meluluskan niat mulia orang lemah yang soleh itu. Hatinya tetap berat untuk menjual sawah peninggalan ayahnya. Barangkali juga Allah memang tidak mengizinkan cara itu. Sampai akhirnya keanehan datang menyambangi rumah biliknya. Satu persatu ada burung yang mampir, hinggap dan menetap bersarang di rumahnya. Makin hari makin bertambah sampai kemudian tak terhitung jumlahnya.

Awalnya ia menganggap itu burung biasa yang sekedar mampir. Tetapi melihat jumlah yang mungkin mencapai ribuan memenuhi langit-langit kamar dan seluruh bagian dari rumahnya, semakin membuatnya tidak mengerti. Ada apa ini? Apalagi semakin hari semakin banyak benda putih yang menggantung hampir di setiap sudut kamar rumahnya. Burungnya pun makin bertambah pula. Belakangan ia diberi tahu, bahwa burung-burung itu adalah Walet.

Semakin beribu-ribu penomena Walet itu menghampirinya, ia belum juga mengerti apa hikmah di balik keinginan kawanan Walet bersarang di rumahnya. Tambah hari tambah tak terhingga banyaknya. Subhanallah … barulah ia mengerti setelah para pelamar datang ingin membeli rumah dan Waletnya. Puluhan orang berduit amat berminat memiliki anugerah Allah itu dan berani membayarnya dengan harga yang lebih pantas dari yang lain. Sampai kemudian dilepasnya rumah dan Walet itu menjadi milik orang pembelinya. Begitulah ia merasa kebesaran dan pertolongan Allah semakin merapat. Dalam sekejap kawanan Walet mengangkat derajatnya. Ia sama sekali tidak mengira Allah menjadikannya jutawan oleh sebab air liur Walet yang terkenal itu.

“Pak Ustadz, apa yang kemudian terjadi?”

Saya lihat ia terharu. Obrolannya menjadi lirih. Saya merasakan getaran keharuan yang khidmat. Obrolan yang tadinya lepas dan santai, menjadi penuh nuansa spirit keagungan Illahi. Kata-katanya menjadi cermin rasa syukur sambil berulang kali beristighfhar dari sifat riya dan sum’ah. Ya Allah, orang ini sangat rendah hati. Pantaslah jika mendapat rahmat begitu besar dalam hidupnya. Pengorbanannya selama berbakti kepada ibu, adik dan kaka-kakaknya adalah cermin kebajikan bagi saya.

Begitulah Allah, Zat yang selalu memberi lebih dan yang terbaik untuk hamba pilihannya. Ia tetap saja terkejut dan terkejut lagi dengan rizki yang datang menghampiri. Setelah mengrus keberangkatan menunaikan haji bersama ibunya, rizkinya masih dicukupkan membeli rumah bagus, besar dan nyaman. Lepas mengunjungi rumah Allah Baitul ’Athiiq, rumah biliknya telah Allah tukar dengan rumah gedong. Rumah orang kaya yang kebetulan dijual kepadanya.

”Yang membuat saya tak mengerti, mengapa Walet itu juga ikut ke rumah baru dan bersarang seperti di rumah yang dulu? ya Allah ya Rabb, la hawla wa laa quwwata illaa billaah…”

Ah, saya tentu lebih heran darinya. Kenapa bisa jadi begitu. Memang aneh juga menurutnya kemudian, sebelumnya tak pernah seekor Walet pun singgah di rumah itu. Tapi setelah rumah itu dimilikinya, Walet itu seolah ingin ikut pindah bersamanya. Kamarnya kembali dihuni ribuan Walet. Tapi menurutnya Allah berkehendak lain. Burung itu akhirnya pergi seperti dibuat tak betah. Ia juga merasakan perubahan sikap pemilik asal rumah itu yang kebetulan bersebelahan. Tanpa bermaksud berburuk sangka, nalurinya menginginkan yang terbaik dan tidak ingin ada ketidakharmonisan meskipun ia tahu burung itu memang sengaja diusir. Baginya apa yang Allah berikan sudah lebih dari cukup. Sebelumnya pun ia tak menyangka bisa bertahan menafkahi keluarga ibunya. Ia tak mengira semua petak sawahnya yang tergadai dapat dimilikinya kembali. Setelah itu, ia juga tidak menduga ribuan kawanan Walet menjadikannya jutawan dan mengantarnya meluluskan niat ibunya berhaji. Bahkan mereka bisa berhaji berdua. Setelah itu Allah mengganti rumah biliknya dengan yang lebih baik. Meskipun Walet itu minggat dari rumah barunya, syukurnya masih berlipat-lipat hingga kini.

Saya merasa nyaman mendengarkan ceritanya. Cerita hidupnya yang penuh cita rasa asam-garam, pahit-getir dan manis-madunya kehidupan. Saya berusaha bisa memetik buah dari ceritanya itu. Begitu bernilai hingga tak perlu saya pilah yang mana. Barangkali hanya soal burung Waletnya yang mungkin hanya berlaku untuknya. Tetapi tekadnya memenuhi niat ibunya berhaji tidak ingin saya lewatkan. Sabar, syukur, ikhlas, tawakkal dan istiqomahnya saya bawa pulang. Begitu juga Tahajjud dan Duhanya terasa semakin hidup dengan kisahnya. Amat layak untuk diteladani. Maha Benarlah Allah dalam firman-Nya :

”Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (terjemah QS. Al-Israa [17] : 79).

”Maaf Pak ustadz, kami dapat kabar tanah pemakaman sudah siap. Kami akan segera berangkat”.

”Ya, silahkan saya minta maaf, saya hanya bisa mengantar dengan do’a. Kondisi fisik saya tidak memungkinkan mengantar almarhum ke pemakaman. Semoga semua amal ibadah almarhum diterima dan semua kesalahannya dima’afkan”.

”Aamiin, terima kasih”.

—o0o—

Di tanah kubur kami berdo’a mengantar kepergian bapak. Memintakan ampun atas segala khilafnya dan berharap agar Allah berkenan menerima segala amal kebajikannya.

“Bapak … kami hanya sanggup mengantarmu sampai di sini. Selebihnya adalah antara bapak dan penciptamu. Kami telah luluskan kewajiban kami memandikan, mengkafani, menyalatkan dan menguburkanmu sesuai syari’at-Nya. Hanya do’a yang kami sisakan untukmu setiap waktu. Kami juga berusaha melaksanakan wasiat baikmu jika ada, menyambung sillaturraim kepada siapa dulu bapak bergaul dan selayaknya berbuat sebagai anak yang soleh. Kami ridha atas kamu, Pak. Semoga bapak juga ridha atas kami semua; isteri dan anak-anak menantumu.”

Ya Rabb …, kami berharap kesabaran dalam musibah ini. Semoga kematiannya mengantarkan kami semakin cerdas di medan hidup. Semain khusyu di medan ibadah. Semakin istiqomah dalam iman dan Islam. Semoga Allah berkenan mengumpulkan kami bersamanya di surga kelak.

Allahumma aajirnii fii mushiibatii wakhluf lii khairan minhaa.

Ya Rabb …, di sela kami berduka ada pelajaran yang terselip, seorang ustadz yang memimpin shalat jenazah orang tua kami memberi segudang pelajaran untukku. Darinya saya terhibur lahir dan batin. Ini bukanlah kebetulan, tetapi berjalan sesuai sunnah-Mu. Semoga keberkahan selalu melimpahinya yang telah memberi nasehat mulia.

Depok, Mei 2010.

[email protected]

*Untuk rasa hormat bagi Ustd. Munadi yang sudi berbagi hikmah. Kini beliau menjadi pengurus masjid di Jakarta Utara selama lebih kurang sepuluh tahun. Baarakallaahu fiikum, ustdz.