Kesederhanaan Si Fulan

Hidup sederhana, tidak selamanya identik dengan kemiskinan, tapi juga terkait erat dengan keinginan dan keimanan. Paling tidak, itulah kesimpulan yang kuambil dari obrolanku dengan si Fulan.

Fulan berasal dari keluarga yang kaya. Aku pernah mengibaratkan bahwa jika aku bekerja untuk mencari makan, maka Fulan bekerja hanya untuk mengisi waktu atau sekedar mencari tambahan uang jajan. Pendidikan yang tinggi dan jabatan di perusahaan yang lumayan, tidak membuatnya tinggi hati. Sebaliknya, Fulan selalu terlihat sederhana. Salah satunya dalam hal berpakaian. Fulan selalu memakai seragam kerja meskipun sebagian besar rekan kerjanya banyak yang tak lagi memakainya.

Perusahaan tempatnya bekerja memang memberikan seragam kerja kepada seluruh karyawannya. Kecuali top management, seluruh karyawan mendapatkan seragam yang sama, baik warna maupun modelnya.

Belakangan, beberapa karyawan mulai banyak yang bekerja tanpa menggunakan seragam. Sebagian besar mereka adalah para staf, rekan-rekan Fulan. Macam-macam alasan, warna dan model yang dianggap kurang layak karena disamakan dengan semua karyawan atau kondisi seragam yang mulai lusuh karena sudah dua tahun lebih tak diganti. Seakan menyadari belum bisa memberikan seragam baru, pihak pemilik perusahan tidak menegur stafnya yang tidak memakai seragam.

Kesederhanan Fulan menarik perhatianku. Kucoba untuk mengetahui alasannya bertahan dengan seragam yang dikenakannya. Yang jelas bukan kaena Fulan tak memiliki baju untuk dipakai kerja. Ku tahu pasti, koleksi bajunya di rumah memenuhi lemari. Model dan warnanya bagus-bagus, hampir semuanya bermerk. Sebelum mendapat seragam, Fulan selalu menjaga penampilannya. Dia selalu datang ke tempat kerja dengan pakaian rapi dan bersahaja.

Jawaban Fulan sungguh membuatku terkesan. Mematuhi aturan yang ditetapkan perusahaan, itu jawaban pertamanya. Sebagai staf, semestinya dia bisa memberikan contoh disiplin kepada karyawan lainnya. Lebih nyaman, itu jawaban keduanya. Dalam tugasnya, terkadang Fulan harus menemui operator di lapangan. Dengan memakai seragam, Fulan merasa leluasa berbaur dengan mereka. Sama warna sama rasa , itu alasan ketiganya. Bisa saja Fulan berganti pakaian setiap hari, toh koleksi pakaiannya memungkinkan untuk itu. Tapi Fulan tak ingin terlihat mencolok dengan pakaiannya. Fulan tak ingin mencitpakan kesenjangan antara dirinya sebagai staf dengan karyawan lainnya.

Hanya itu jawaban Fulan? Tidak, itu intinya. Panjang lebar Fulan menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan. Dan semuanya kusimpulkan bahwa gaya hidupnya yang sederhana bukan berkaitan dengan kemiskinan, tapi sebuah keinginan yang dilandasi oleh keimanan. Memakai pakaian bagus tidak selamanya bisa dikatakan riya atau takabur, tapi bisa jadi sebagai wujud rasa syukur. Tapi tentunya dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keperluannya. Bagi Fulan, tak perlu ia memakai pakaian-pakaian bagusnya untuk bekerja. Toh sudah ada seragam yang diberikan. Ia khawatir akan membuat karyawan lainnya merasa rendah diri. Ia takut menjadi takabur dan ingin dipuji orang karena penampilannya.

Tak ada alasan bagi Fulan untuk merasa malu, apalagi jika alasannya hanya karena seragam kerjanya sama model dan warnanya dengan operator dan tukang sapu. Di mata fulan, semuanya sama, apapun tugas dan jabatannya. Tak ada alasan untuk merasa lebih tinggi dari karyawan yang lain. Tugas dan tanggung jawab memang berbeda, tapi di perusahaan ini sama-sama sebagai pekerja. Sama-sama disuruh dan dibayar oleh orang lain.

Saat kutanya pendapatnya mengenai karyawan yang tidak mau menggunakan seragam, Fulan hanya tersenyum saja. Fulan tak memberikan tanggapan apa-apa. Sebagai sahabat, aku paham dengan kebiasaan Fulan. Dia selalu berhati-hati memberikan komentar, terutama jika menyangkut pendapat dan alasan orang lain. Baginya lebih baik diam, biarlah yang bersangkutan yang memberikan jawaban.

**

Pelajaran berharga tentang hidup sederhana kudapat dari Fulan. Kesederhanaan yang kujalani ternyata berbeda dengan kesederhanaan Fulan. Bagiku hidup sederhana adalah sebuah keharusan untuk tetap bisa bertahan. Apa yang bisa kuandalkan dari pekerjaanku yang hanya buruh biasa. Bagi Fulan, hidup sederhana adalah keinginan. Keinginan yang didasari oleh rasa keimanan. Dengan hartanya, dengan ketinggian ilmunya, dengan jabatannya, Fulan bisa saja memilih gaya hidup mewah. Dia bisa, dia mampu, dia pantas untuk itu. Dia orang berada, dia punya semuanya. Tapi bukan itu yang ada dalam pikiran Fulan. Apa yang dimilikinya adalah anugerah sekaligus amanah. Rasa syukur terhadap nikmat yang Allah berikan tidaklah harus dinampakan dalam gaya hidup sehari-harinya. Jauh lebih penting dan semestinya rasa syukur itu diwujudkan dengan berbagi kepada sesama. Atau paling tidak, jangan melakukan hal-hal yang bisa melukai perasaan orang lain. Jangan ciptakan dan jangan nampakan kesenjangan sosial yang akan menimbulkan kecemburuan pada orang lain.

Terima kasih Fulan, pelajaran berharga kudapat darimu. Sungguh kau telah menyadarkanku bahwa hidup sederhana bukanlah sebuah keterpaksaan, tapi juga bukti nyata keimanan.

abisabila.multiply.com