Anakku, di Mana Kamu?

Setahun yang lalu, saya mengikuti sebuah seminar yang tiap tahun rutin diadakan SMA almamater saya dulu. Sampai sekarang, seminar itu masih membekas di benak saya. Bukan…bukan karena seminarnya mengangkat tema tentang Cinta. Bukan pula karena pembicaranya ustaz kocak dari ibukota yang sering tampil di TV.

Cuma seorang ibu yang membuat saya terkesan dan menulis ini. Ya, cuma gara-gara seorang ibu yang di akhir acara mengajukan sebuah pertanyaan yang mampu membuat saya tercenung. Seingat saya ibu itu tak mengajukan pertanyaan dengan jelas, dia malah sedikit bercerita. Tentang anaknya laki-laki yang sangat dibanggakannya, yang mengajarinya beribadah, mengajaknya dekat pada Allah, dan dianggapnya sebagai imam (suami beliau sudah lama meninggal). Si Anak nyaris tanpa cela di mata Sang Ibu sampai suatu ketika Si Anak kuliah di luar kota. Jadwal kuliahnya padat, tapi jadwal di luar kuliah pun tak kalah padat. Si Anak makin intensif kegiatan keislamannya, mulai mengenal dunia dakwah kampus dan larut di dalamnya.

Singkatnya, Si Anak menjadi "Aktivis Dakwah Kampus." Sang Ibu makin bangga pada anaknya, tapi disadarinya ada yang berubah dari diri Si Anak. Telepon darinya yang dulu rutin ia terima, semakin hari semakin jarang, apalagi pulang menengok ibunya. Alasannya : sibuk dengan kegiatan dakwah. Oke, sampai di titik ini Pembaca boleh berpendapat bahwa wajar saja hal seperti itu terjadi, bahwa harusnya Ibu itu bangga dan mengerti dengan amanah berat yang ditanggung anaknya.

Tapi satu hal yang diakui ibu itu adalah : ia merasa kehilangan anak tercintanya. Menusuk? Jelas! Dakwah sebagai aktivitas ibadah kepada Allah bertujuan untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Dan intinya tentu saja memberi sebanyak-banyaknya manfaat untuk ummat. Tapi ada sebuah ironi dalam cerita Sang Ibu tadi. Si Anak, seorang aktivis dakwah kampus yang di kampusnya mungkin begitu banyak berbuat untuk orang lain (teman-teman & masyarakat sekitar kampus) ternyata semakin hari semakin jauh dari jangkauan ibunya tanpa ia sadari.

Saya jadi ingat, sebuah cerpen berjudul "Pelangi Ibu" karangan Afifah Afra yang dimuat di Annida beberapa tahun lalu. Ceritanya tentang seorang ibu yang ditinggal sendirian oleh anak-anaknya (dalam cerita ini, tokoh utamanya adalah Si Anak yang seorang aktivis dakwah kampus). Untuk mengisi waktu & sebagai usaha untuk tak terlalu memikirkan anak-anaknya, Si Ibu memelihara ayam. Singkat cerita, pada suatu momen penting bagi keluarga itu, tiba-tiba semua anaknya tak ada yang bisa datang. Di saat yang bersamaan, kandang ayam milik Si Ibu terbakar, termasuk ayam-ayam kesayangan Si Ibu. Si Ibu shock dan sedih berkepanjangan karena dia menganggap ayam-ayam peliharaannya adalah anak-anaknya yang jarang menengoknya!

Segala kesibukan dan tugas kita memang kadang melalaikan kita pada keluarga, ya orang tua, ya anak-istri/suami, ya saudara. Dakwah tak seharusnya jadi kambing hitam. Kadang-kadang saya berpikir, mungkin ini juga salah satu alasan mengapa orangtua/keluarga kadang tak mendukung aktivitas dakwah kita.

Banyak contoh kasus, seseorang yang baru mengenal dakwah, masih semangat-semangatnya berdakwah, kadang lebih mendengar nasehat ustaz/ustazahnya yang baru dia kenal 1-2 bulan ketimbang nasehat orang tuanya yang merawat dia sejak masih dalam kandungan, bahkan ada yang sampai menentang atau yang lebih fatal lagi, meninggalkan anak & istrinya tanpa memikirkan nafkah untuk mereka dengan dalih untuk berdakwah.

Memang, tak semua orang beruntung tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kondusif dan islami dengan orangtua yang pemahaman agamanya bagus. Tapi, meski orangtua kita salah, bukankah Al Qur’an tetap menyuruh kita untuk berbuat baik pada mereka? Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, di sinilah juga seharusnya prinsip keseimbangan itu kita terapkan. .Wallahu’alam.